2. Buah kenangan

Kedua mata Gadis mengerjap, saat mendengar suara pintu kamar terbuka. Ia terbangun, bersamaan dengan Keenan yang menutup pintu kamar mandi. Diliriknya jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Kemudian menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang sembari menunggu Keenan selesai membersihkan diri.

Gadis menegakkan kepala ketika suara pintu kamar mandi terbuka. Ia memandang Keenan yang sudah berganti piama untuk tidur.

"Disleksia," kata Gadis memulai pembicaraan. "Kenzi menderita disleksia."

Keenan menoleh. Ia menatap Gadis dengan tatapan tajam khasnya. Tatapan tajam menyelisik dengan kerutan samar di dahi. Mencoba menutupi keterkejutannya.

"Kemarin, aku membawa Kenzi ke psikolog anak. Selama hampir tiga jam Kenzi diberikan beberapa tes di sana. Dan Kenzi didiagnosis menderita disleksia ringan," cerita Gadis sedih sambil menatap balik Keenan.

"Menurut psikolog, disleksia merupakan gangguan dalam proses belajar yang ditandai dengan kesulitan membaca, menulis, atau mengeja. Penderita disleksia akan kesulitan dalam mengidentifikasi kata-kata yang diucapkan, dan mengubahnya menjadi huruf atau kalimat," terang Gadis yang tak membuat Keenan berkutik sedikit pun dari tempatnya berdiri, "Disleksia tergolong gangguan saraf pada bagian otak yang memproses bahasa, dan dapat dijumpai pada anak-anak atau orang dewasa. Meski penderita disleksia kesulitan dalam belajar, tetapi penyakit ini tidak memengaruhi tingkat kecerdasan seseorang."

"Di keluargaku tidak pernah ada riwayat penyakit disleksia," tutur Keenan yang membuat Gadis tersentak.

Kedua mata Gadis mulai merebak karena tuduhan Keenan, "Di keluargaku juga nggak ada. Apa Abang lupa kalau Kenzi terlahir prematur?"

Keenan terdiam. Ia seakan disekak mati oleh ucapan Gadis beberapa detik lalu. Ia pun mengingat kembali bagaimana proses kelahiran Kenzi kala itu, serta bagaimana keadaan Gadis di saat-saat kritis.

"Jangan menyalahkan siapa pun, Bang. Kenzi adalah hadiah terindah dari Allah untuk kita," sambung Gadis sambil meneteskan air mata. "Disleksia memang tergolong penyakit yang tidak dapat disembuhkan, tetapi deteksi dan penanganan sejak usia dini terbukti efektif untuk meningkatkan kemampuan Kenzi dalam membaca. Kenzi bukan anak bodoh. Skor tes IQ Kenzi tinggi."

"Keira juga terlahir prematur. Sewaktu Kara hamil, dia juga sering sakit-sakitan. Tapi Keira baik-baik saja sampai sekarang," elak Keenan yang belum bisa menerima keadaan Kenzi. "Atau mungkin, kamu tidak tidak tahu kalau di keluarga kamu ada yang mengidap disleksia? 70% penderita disleksia dikarenakan gen keturunan, dan sisanya karena faktor lain."

Gadis menangis dalam diam. Ia memandang Keenan dengan tatapan nanarnya. Hatinya hancur mendengar penuturan Keenan yang sedang menyalahkan dirinya.

"Kalau memang IQ Kenzi tinggi, buktikan!" pekik Keenan. "Jangan sampai Kenzi mempermalukan keluarga kita nanti!"

"Abang!" teriak Gadis tak percaya.

Keenan segera berlalu pergi. Meninggalkan Gadis yang sedang menangis tersedu sedan. Langkah Keenan mendadak kaku setelah menutup pintu kamar dengan keras. Ia memandang kedua anaknya berdiri di samping pintu kamar.

Keira dan Kenzi tampak ketakutan sambil menahan air mata yang akan terjatuh. Mereka saling bergandengan tangan ketika melihat sang ayah tiba-tiba keluar dari kamar setelah memarahi bundanya. Keenan yang bingung harus berbuat apa kepada kedua anaknya langsung bergegas pergi menuruni anak tangga.

Kenzi segera melepas gandengan tangannya kepada Keira. Ia segera masuk ke kamar orang tuanya. Dan berlari menghampiri bundanya.

"Kenzi," panggil Gadis sambil menyeka air matanya dengam serabutan.

"Bunda jangan nangis," ujar Kenzi memeluk sang bunda.

Gadis menggeleng seraya memeluk Kenzi dengam erat, "Maafkan Bunda."

Kenzi hanya terdiam. Perlahan ia ikut menangis meski tak tahu apa yang sedang terjadi kepada ayah dan bundanya. Ia hanya bisa menerka, sang ayah masih marah atas dirinya yang belum bisa menulis nama sendiri.

Di ambang pintu kamar, Keira pun ikut menangis. Berulang kali ia menyeka air matanya. Namun air mata itu tak kunjung mereda. Disleksia. Satu kata yang sangat ingin diketahui artinya oleh Keira. Ia ingin tahu, sakit apa yang diderita oleh adiknya itu.

***

Kenzi terbangun dengan napas terengah-engah. Ia kembali bermimpi tentang masa kecilnya. Diminumnya air putih yang selalu tersedia di meja nakas di samping tempat tidur. Kemudian menghela dan mengembuskan napas dengan perlahan. Mencoba menormalkan napasnya yang masih tersendat-sendat.

Kedua tangan Kenzi meraup wajah ketika mengingat masa kecilnya yang sangat ingin dilupakan. Ia tahu, sakit yang dideritanya tak akan pernah bisa disembuhkan. Namun hal itu tidaklah membuat dirinya menyerah untuk meratapi nasib.

Suara notif pesan berbunyi. Dengan malas Kenzi mengambil smartphone-nya. Senyumnya tersungging ketika melihat foto Keira di salah satu pesan masuk tersebut.

"Kakak," ucap Kenzi dengan kedua matanya yang sudah merebak.

Kenzi menghela napas setelah mengetahui keberadaan kakaknya, Keira, yang selama ini dicari. Ia segera beranjak dari tempat tidur. Melangkah ke kamar mandi untuk berwudu sebelum melaksanakan salat sunah malam seperti biasa. Ia harus bisa menenangkan dirinya. Bercerita kepada Sang Pencipta dan menyerahkan segala yang terjadi kepada-Nya.

°°°

Kenzi meletakkan tas ransel dan menyampirkan jasnya di kursi makan. Tangan kanannya kembali menyimpulkan dasi yang masih berantakan. Seperti biasa, ia menghampiri sang bunda yang sedang memasak untuk membantunya mengikat dasi.

"Pagi, Bunda," ucap Kenzi sebelum mencium salah satu pipi bundanya, Gadis.

Gadis tersenyum, "Pagi, Abang. Sebentar, ya. Abang tunggu di meja makan saja. Nanti pakaiannya bau masakan."

"Iya, Bang. Nanti bau Warteg loh," imbuh si mbok Siti.

"Nggak apa-apa. Lagian baunya enak," sahut Kenzi sambil mencicipi acar timun wortel buatan Mbok Siti.

"Bang Kenzi mau minum apa? Biar Mbok bikinin," tanya Mbok Siti.

"Banana smoothies aja, Mbok. Kasih es sedikit. Terus masukin ke tumbler. Mau Abang bawa ke kantor," pinta Kenzi mengambil pisang dari keranjang buah, lalu memberikannya kepada Mbok Siti.

"Beres, Bang. Sudah, Mbok saja yang bikin," ujar Mbok Siti saat melihat Kenzi mengambil sekotak susu besar dari lemari pendingin.

Kenzi menenggak susu itu setelah membuka segelnya. Membuat bundanya hanya menggelengkan kepala melihat kebiasaan Kenzi.

"Pakai gelas dong, Bang," peringat Gadis tak suka.

"Irit gelas, Bunda," sahut Kenzi berseloroh.

"Abang jorok! Itu nanti susunya jadi bekas Abang tahu," gerutu Kenza, adik bungsu Kenzi yang baru saja duduk di bangku SMA.

"Ya udah, sih. Bekas Abang ganteng ini, nggak bakalan bikin rabies," goda Kenzi seraya menempelkan kotak susu yang dingin di pipi sang adik.

"Abang!" teriak Kanza tak suka.

"Sudah sana, duduk di kursi masing-masing! Bunda siapin sarapannya dulu," perintah Gadis

"Abang, tuh! Kanza nggak mau minum susu bekasnya Abang," protes Kanza sebelum dicium pipinya oleh Kenzi. "Abang, ih!!! Basah."

Kenzi tertawa sebelum kembali ke kursi di meja makan. Ia mengecek beberapa email di smartphone-nya. Dibukanya email dari om-omnya, Esa dan Maliq. Perlahan ia mengeja setiap kata yang tertampang di layar smartphone satu per satu.

"Sini Kanza bantu," kata Kanza sambil menarik kursi di sebelah Kenzi.

Kenzi menoleh, "Abang nggak punya receh."

"Abang kok tahu kalau Kanza mau minta uang receh," ujar Kanza diiringi gelak tawanya.

"Tahulah. Matamu ijo," sahut Kenzi yang langsung mendapat tabokan keras di lengan tangan.

"Ribut apa, sih?" tanya Keenan ingin tahu.

"Ayah mau ke kantor?" tanya Kenzi saat melihat sang Ayah sudah rapi mengenakan setelan jas berwarna cokelat tua.

Keenan mengangguk setelah meminum air putih, "Hari ini ada meeting penting. Jadi tidak bisa digantikan oleh siapa pun."

"Ayah sudah sehat?" tanya Kanza khawatir.

"Alhamdulillah," jawab Keenan.

"Habis meeting langsung pulang, ya, Yah," peringat Gadis sembari meletakkan nasi goreng seafood dan tempe mendoan.

Keenan tersenyum bahagia, "Iya, Sayang."

Kanza dan Kenzi serempak menirukan suara orang tersedak. Membuat rona merah di pipi sang bunda karena malu. Sedang ayah mereka hanya tersenyum karena gemas.

"Sarapan dulu," kata Gadis mengalihkan perhatian suami dan anak-anaknya.

"Iya, Sayang," sahut Keenan, Kenzi dan Kanza serempak, kemudian diiringi gelak tawa ketiganya.

Setiap makan bersama, Kenzi selalu memerhatikan keluarga kecilnya. Meneliti ekspresi ayah, bunda dan adiknya. Dan saat itu juga ia selalu teringat dengan kakak tersayangnya, Keira. Sudah bertahun-tahun ia merindukan sang kakak yang ternyata menetap di negeri tetangga.

"Ayah, Bunda, nanti Kanza pulang sore, ya. Mau street feeding sama Dek Ara." Kanza meminta izin setelah menyelesaikan sarapannya.

"Nggak jadi nemenin Bunda?" tanya Gadis.

"Jadi, dong. Nanti habis street feeding, Kanza nyusul di panti sama Dek Ara. Kan nanti street feeding-nya di kompleks panti, Bunda," terang Kanza yang langsung disambut anggukan kepala dari bundanya.

"Uangnya masih, kan?" tanya Keenan kepada putri kecilnya.

"Masih, kok, Yah. Tapi kalau Ayah mau tambahin lagi juga nggak apa-apa," canda Kanza.

"Boleh. Tapi bantuin Abang kerja di kantor, gimana?" tawar Keenan.

"Terima kasih, Ayah. Kanza bantuin Abang di rumah aja," balas Kanza.

"Apaan. Kapan kamu bantuin Abang?" protes Kenzi sebal.

Kanza terkekeh. Kekehannya terhenti ketika melihat Kenzi memberikan kartu uang elektronik kepadanya. Kedua sisi bibir Kanza tertarik ke atas. Menerima kartu itu dengan bahagia.

"Terima kasih, Abangnya Kanza yang paling ganteng," ucap Kanza sebelum mencium pipi Kenzi.

"Saldonya lima ratus ribu. Buat beli makanan kucing sama obat-obatan. Pokoknya buat kucing! Nanti sore kalau nggak sibuk, Abang ikut street feeding," peringat Kenzi yang membuat Kanza merengut.

"Masa buat kucing semua?" keluh Kanza.

"Buat Kanza nanti ada sendiri. Tunggu Abang gajian, ya," rayu Kenzi.

"Abang dapat gaji, Yah?" tanya Kanza ingin tahu.

"Iya. Kan Abang bekerja di kantor," jawab Keenan sebelum beranjak dari tempat duduknya dan berpamitan dengan Gadis. "Ayo, Abang."

"Uangnya Abang tambah banyak dong?" sela Kanza sebelum berpamitan kepada sang bunda.

Kenzi tersenyum simpul sebelum menghampiri bundanya, "Dasinya benerin, Bunda."

"Dih. CEO apaan! Pakai dasi aja nggak bisa," ledek Kanza.

"Berisik!" seru Kenzi.

Kanza menarik dasi Kenzi, lalu berlari menyusul ayahnya yang sudah berjalan terlebih dahulu. Sedang Kenzi hanya mengembuskan napas kesalnya.

"Abang baik-baik, ya, di kantor," kata Gadis setelah selesai merapikan dasi Kenzi.

Kenzi mengangguk, lantas mencium punggung tangan sang bunda sebelum berangkat, "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam," ucap Gadis sebelum mengikuti langkah Kenzi dan melihat orang-orang tersayangnya pergi.

°°°

Pandangan Kenzi mengedar setelah memarkirkan mobil di dekat taman, tempat di mana Kanza dan Ara melakukan street feeding. Ia mencari-cari keberadaan adik-adiknya di sekitar taman. Langkahnya melebar, mendekati seseorang yang mengenakan jaket putih bertuliskan 'Asmara'.

"Uang Kakak tinggal seratus ribu buat tiga hari ke depan sampai Ayah kasih uang lagi," terang Kanza kepada Ara, adik sepupunya yang masih duduk di bangku SMP.

Kedua mata Ara merebak, "Kasihan, Kak. Dedeknya harus dibawa ke dokter."

Kanza mengelus kepala anak kucing yang sedang digendong Ara. Kucing kecil itu mungkin saja baru berumur kurang lebih tiga bulan. Beberapa hari sekali baik Ara atau Kanza selalu mampir untuk menemui kucing kecil itu di taman sepulang sekolah. Dan hari ini kucing kecil itu berjalan pincang. Sedang Ara dan Kanza tak bisa selalu membawa kucing-kucing itu pulang ke rumah. Kedua orang tua mereka tak mengizinkan lagi menambah kucing di rumah.

"Ya udah, nanti kita bawa ke dokter. Kakak akan membantu Bang Kenzi di kantor biar dapat uang buat bayar klinik," kata Kanza yang membuat Ara mengangguk bahagia.

"Ada apa, Dek?" tanya Kenzi kepada kedua adiknya yang berada di kerumunan anak-anak dan para kucing jalanan yang sedang makan.

"Kucingnya sakit, Bang. Kasihan," ujar Ara dengan raut wajah sedihnya.

Kenzi mengusap rambut Ara dengan penuh sayang. Kalimat itu selalu didengar Kenzi setiap kali Ara ingin sekali membawa pulang kucing-kucing jalanan untuk dirawat. Ara dan kucing, dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Pun dengan adiknya, Kanza. Meski begitu, Kanza lebih rasional karena sadar dengan keterbatasan waktunya. Berbeda dengan Ara. Ara justru ingin membuat rumah besar untuk kucing-kucing jalanan yang sakit. Hal yang tidak pernah dipikirkan siapa pun di keluarga besarnya.

"Abang, Kanza boleh pinjam uang nggak? Buat bawa si Dedek itu ke dokter hewan. Nanti Kanza bantu pekerjaan Abang di kantor. Gimana?" tawar Kanza yang membuat Kenzi tertegun.

"Yakin mau bantuin Abang?" tanya Kenzi serius sambil menatap kedua mata Kanza yang sudah merebak.

Kanza mengangguk, "Kasihan Dedeknya."

"Ara juga mau bantuin Abang baca di kantor. Asal Abang mau bantu Dedek ini sampai sembuh," imbuh Ara memohon.

"Oke. Nanti kita ke dokter hewan. Telepon dokternya dulu. Ada atau enggak. Biar nggak antri lama nanti," jawab Kenzi yang membuat kedua adiknya tersenyum bahagia.

"Terima kasih, Abang," kata Ara dan Kanza serempak.

"Terus nanti kalau udah sembuh dilepas lagi?" tanya Kenzi ingin tahu.

"Mungkin. Tapi kalau udah disteril," sahut Ara mantap.

"Punya uang?" tanya Kenzi kembali.

Ara tersenyum, "Ara mau nabung nanti. Semoga ada rezeki lebih buat Dedek."

Kenzi dan Kanza tersenyum mendengar penuturan Ara. Dan selalu seperti itu ending cerita antara Ara dan kucing-kucing terlantar. Bukan happy ending, karena nantinya akan selalu berlanjut dengan cerita-cerita baru yang lain.

Kepala Kenzi mendongak, setelah membantu Ara mengobat kucing yang sedang sakit mata. Dipandangnya seorang perempuan berhijab yang sedang sibuk dengan pensil dan buku di salah satu kursi taman. Perlahan Kenzi beranjak berdiri. Meninggalkan kedua adiknya bersama dengan anak-anak yang juga sedang membantu street feeding.

"Boleh duduk di sini?" tanya Kenzi ketika sudah berdiri tepat di hadapan perempuan muda itu.

Gadis itu mendongak, lalu mengangguk diiringi senyum simpulnya. Senyum yang mampu membuat Kenzi reflek mengangkat kedua sisi bibirnya ke atas.

"Terima kasih," kata Kenzi sambil melihat pola indah yang berada di buku sketsa gadis itu.

Gadis itu mengangguk. Kemudian melanjutkan lagi menggambar bunga dan daun hingga hampir menutupi seluruh kertas. Kenzi memerhatikan wajah gadis itu. Kulit gadis itu tidak terlalu putih seperti kulitnya. Hidungnya sedikit mancung. Bulu matanya tidak terlalu lentik, tapi cantik dan manis.

"Kenzi," ucap Kenzi sambil mengulurkan tangan untuk berkenalan.

Gadis itu mendongak, lantas tersenyum sebelum bersalaman dengan Kenzi. Setelah itu ia membuka lembar baru di buku sketsanya. Membuat kedua alis Kenzi terangkat karena tak mendapat respon apa pun.

"Nama kamu siapa?" tanya Kenzi penasaran.

Gadis itu menuliskan namanya di buku sketsa. Perlahan Kenzi mengeja nama itu. Namun ia terlihat kesulitan karena ada sebagian huruf yang sepertinya tiba-tiba menghilang. Membuat Kenzi kesulitan untuk mengeja tulisan gadis itu.

"Bisa pelan-pelan nggak nulisnya?" pinta Kenzi yang membuat gadis itu menatapnya heran.

Kenzi tersenyum, "Maaf. Aku disleksia. Disleksia itu suatu gangguan belajar yang ditandai dengan kesulitan membaca, menulis atau mengeja. Kamu nulisnya cepet banget. Aku jadi susah bacanya," terang Kenzi diiringi kekehannya.

"Sidney," eja Kenzi saat gadis itu menuliskan huruf satu per satu di buku sketsa, 'Sydney'. "Nama kamu Sydney?"

Gadis itu mengangguk kembali. Kenzi mulai menerka-nerka tentang keadaan Sydney. Sedari tadi Sydney tak pernah mengeluarkan suaranya sedikit pun. Sydney hanya mengangguk, tersenyum dan terakhir menuliskan nama di kertas.

"Nama kamu kaya salah satu kota besar di Australia," ujar Kenzi yang langsung dibalas anggukan kepala oleh Sydney.

Sydney kembali menulis sesuatu di bawah tulisan namanya. Satu per satu, ia menulis huruf hingga menjadi lima kata yang sedang dieja Kenzi dengan pelan-pelan. Kepalanya mendongak saat selesai menulis apa yang ingin disampaikan kepada Kenzi.

"Jadi Papa Mama kamu bekerja di Sydney?" tanya Kenzi mengulang tulisan Sydney.

Sydney menggeleng, lalu menuliskan sesuatu kembali di kertas, "Papa kerja di Canberra. Tapi mereka tinggal di Sydney."

"LDR dong?" tanya Kenzi ingin tahu, dan langsung dibalas anggukan kepala dari Sydney.

"Mama kuliah di Sydney," eja Kenzi perlahan.

Kepala Sydney mengangguk. Menandakan bahwa ejaan Kenzi pada tulisannya tidaklah salah.

"Kayaknya kita berjodoh," tutur Kenzi yang membuat Sydney menatapnya dengan lekat. "Kamu yang menulis, aku yang bicara. Saling melengkapi, kan?"

Sydney tertawa kecil. Membuat Kenzi menatap Sydney dalam diam. Mengagumi kecantikan Sydney dalam sebuah kekurangan. Seperti dirinya.

"Kamu cantik kalau tertawa begitu," kata Kenzi yang hanya dibalas senyuman manis dari Sydney.

"Kamu lucu," tulis Sydney.

Kenzi tergelak, "Kalau begitu, aku akan selalu melucu di depan kamu. Biar bisa melihat kamu selalu tertawa dan tersenyum."

Kali ini Sydney tersenyum lebar. Keduanya tampak terlihat bahagia. Meski berkomunikasi tak selayaknya orang-orang kebanyakan. Namun hal itu bukanlah menjadi masalah besar bagi Kenzi. Bercengkrama dengan Sydney, membuatnya merasa senasib. Sama-sama memiliki kekurangan.

"Kak Sydney, ayo pulang!" ajak seorang anak lelaki yang sempat membantu street feeding Ara dan Kanza.

Sydney mengangguk. Ia memasukkan pensil dan buku sketsanya ke dalam tote bag. Kemudian tersenyum sambil beranjak dari tempat duduknya. Lalu melambaikan tangan kepada Kenzi untuk berpamitan.

"Sydney, tunggu," cegah Kenzi saat Sydney akan melangkah pergi. "Rumah kamu di mana? Aku masih pengen ngobrol sama kamu."

"Ayo, Kak! Nanti Yusuf nggak ketemu sama Bunda," rengek anak lelaki yang mengajak Sydney pulang.

Sydney mengangguk, lantas melambaikan tangan kembali kepada Kenzi. Meninggalkan Kenzi yang masih ingin mengetahui banyak tentang dirinya. Kenzi memerhatikan Sydney yang menggandeng dua anak lelaki diikuti anak-anak yang lain. Anak-anak itu juga yang sudah mengikuti Ara dan Kanza memberi makan kucing-kucing jalanan tadi.

"Abang suka sama Kak Sydney?" tanya Kanza meledek.

"Kak Sydney memang cantik, baik banget lagi. Emangnya Abang mau punya pacar nggak bisa ngomong?" tanya Ara sambil menggendong kucing kecil berwarna hitam yang akan dibawa ke dokter hewan langganannya.

"Kalian kenal Kak Sydney?" tanya Kenzi balik.

Ara dan Kanza menyahut serempak, "Kenallah."

"Rumahnya di mana?" tanya Kenzi menginterogasi.

Kanza tersenyum jahil, "Abang beneran suka sama Kak Sydney?"

"Berisik, kalian. Ayo pulang!" ajak Kenzi yang tak suka dengan nada jahil adiknya.

"Kita, sih, Yes," kata Ara mengikuti langkah Kenzi ke mobil.

"Apalagi kalau Abang ikhlas biayain perawatan si Dedek cakep ini. Ya, kan, Dek Ara?" goda Kanza.

"Iya. Ayo!" Kenzi segera masuk ke dalam mobil.

"Alhamdulillah," ucap Ara bersyukur karena sang Abang tercintanya kembali menjadi donatur untuk membiayai perawatan kucing jalanan yang sakit.

"Kak Sydney keren. Bisa banget bikin Abang jadi kepo begini," timpal Kanza senang.

"Kalau kalian masih berisik, Abang nggak mau antar kalian ke dokter hewan!" ancam Kenzi ketika membelokkan mobil meninggalkan taman.

"Oke, Abang." Ara dan Kanza serempak menyahut sebelum terdiam.

Kenzi mencoba fokus mengendarai mobil menuju dokter hewan yang sudah dikenalnya. Senyum dan tawa Sydney masih saja menari-nari di otaknya. Suara kekehan adik-adiknya masih saja terdengar. Kanza dan Ara sedang membicarakan Sydney yang sepertinya sudah lama mereka kenal. Membuat Kenzi sangat ingin menimpali percakapan kedua adiknya itu. Namun ia harus menahan diri agar Kanza dan Ara tidak menggodanya lagi.

>>>

Tbc.

Thurs, May 9.

Assalamu'alaikum,
Selamat menunaikan ibadah puasa buat teman-teman yang menjalankannya. Semoga amal ibadah kita selama bulan Ramadan diterima oleh Allah SWT. Aamiin 😇

Cerita Memoirs ini alurnya maju mundur. Karena isinya bercerita tentang kenangan dalam hidup Kenzi atau pun Sydney. Jadi, tolong perhatikan baik-baik tiap tanda pemisah antar kejadian.

*** Ini biasanya dipakai untuk mengulang kejadian atau flashback.

°°° Ini cuma tanda dari saya saja, kalau kejadian dan setting tempatnya sudah berubah.

So, Happy reading. Semoga bisa dinikmati dan tidak membosankan nantinya.

Tabik. 🙏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top