1. Serbuk Kenangan
Lelaki muda itu tampak frustasi. Mencoba memahami sebuah berkas penting yang sedari tadi belum selesai dibacanya. Ia mengacak-acak rambut hitam kecoklatannya dengan kesal. Helaan napas beratnya pun berembus. Ditariknya simpul dasi yang sedari tadi serasa menyekik leher. Kemudian melipat lengan kemeja putihnya sebelum beranjak pergi meninggalkan setumpuk berkas di atas meja kerja.
Langkah lelaki muda itu terhenti, ketika pintu ruangannya terbuka. Kedua sisi bibirnya terangkat, saat melihat senyum manis sang Wakil Presiden Direktur Ally Inc.
"Mau kemana kamu, Bang?" tanya Esa, Wakil Presiden Direktur Ally Inc sekaligus Om dari lelaki muda itu.
"Mau keluar sebentar Om. Otaknya perlu di-charge," kata pemuda yang tak lain adalah CEO baru di Ally Inc, Kenzi.
Esa mengangguk paham, "Ada yang bisa Om bantu?"
"Om Esa sibuk nggak?" tanya Kenzi serius.
"Enggak. Makanya Om mau bantu pekerjaan kamu sekarang," tutur Esa yang langsung disambut senyum sumringah dari Kenzi.
"Kalau nggak sibuk, Om tunggu di sini sebentar, ya. Cuma 15 menit, kok. Abang mau main basket di rooftop. Setelah itu Om bantu baca berkas-berkas. Gimana?"
"Oke. Om tunggu di sini. 15 menit, ya?"
"Siap, Om Esa. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Kenzi segera berlari menuju lift khusus untuk jajaran direksi. Tangan kanannya membuka salah satu kancing kemeja teratas. Kemudian membetulkan ikatan tali sepatu sneaker favoritnya. Sneaker berwarna full white yang selalu menemani langkahnya setiap hari. Terkecuali jika ada rapat penting dengan para petinggi perusahaan.
Senyum Kenzi kembali tersungging saat mengambil bola basket, "Let's play!"
Bermain basket di rooftop merupakan salah satu cara Kenzi untuk mengalirkan energi ke dalam otaknya. Jika diibaratkan dengan smartphone, ia memerlukan aliran listrik agar selalu bisa bekerja dengan baik di kantor yang tak pernah dicita-citakannya. Tapi apa daya Kenzi, jika Semesta telah menakdirkannya untuk berada di tempat warisan leluhur yang sudah turun temurun sejak dulu.
°°°
Kedua mata Kenzi memejam. Menikmati aroma wangi lavender, patchouli, dan bunga mawar dari minyak esensial yang telah dicampur dalam air hangat di bathtub. Aroma itu terasa kuat namun sangat menenangkan. Selain mengisi energi untuk otak, Kenzi juga rutin merelaksasi diri dengan berendam air hangat setiap hari. Meski hanya beberapa menit, namun hal itu cukup untuk membuat diri Kenzi tenang dalam menghadapi segala permasalahan yang datang.
Perlahan kenangan masa kecil Kenzi berkelebat. Entah apa yang harus ia lakukan agar kenangan itu menghilang. Meski telah termaafkan dan berakhir bahagia, namun kenangan-kenangan itu selalu hadir di kala dirinya merasa resah. Seperti sekarang, sebulan bekerja di Ally Inc membuat Kenzi begitu tertekan. Hingga kenangan lama itu tiba-tiba saja kembali muncul.
***
Kenzi terbata-bata saat mengeja deretan huruf yang ditunjuk oleh salah satu teman ayahnya, "Ha, te, Hat."
"Huruf o-nya mana? Kenzi sakuin, nih?" seloroh Harry, salah satu teman dekat Keenan.
Kenzi tersipu malu. Diumurnya yang genap empat tahun, Kenzi selalu menjadi pusat perhatian semua orang. Wajah asia dengan hidung mancung bak arabian dipadu kulit putih yang tampak berkilau, membuat Kenzi tampak berbeda dari saudara-saudaranya. Hal itu tak lepas dari sang bunda yang memiliki darah campuran Hongkong, Inggris dan Indonesia.
"Bacanya gimana?" tanya Harry kembali.
"Hot," terka Kenzi lirih.
"Lanjutannya?"
"We ..., a..., te ..., e ..., er. Water."
"Kan, Kenzi kurangin huruf lagi."
"Ih, enggak Om."
Keenan membantu, "We, e, a, te, ha, e, er. Weather."
"Cuaca? Bukan air?" tanya Kenzi bingung.
"Iya," sahut Harry.
Kenzi tersenyum kikuk, "Susah, Om. Panjang."
"Ya udah, nanti belajar lagi. Jangan dikurangin hurufnya," tutur Harry menasehati.
Kenzi mengangguk sebelum berlalu pergi untuk bermain. Meninggalkan Keenan yang menatapnya heran. Dulu di umur yang sama, Keenan sudah mengeja huruf dengan lancar. Sedang Kenzi untuk mengeja huruf saja begitu kesulitan.
Malam harinya di ruang tamu, Keenan mencoba mengetes kemampuan menulis, mengeja dan membaca Kenzi. Untuk menghitung, Kenzi sudah begitu lancar. Sedang Gadis, ibunda Kenzi, duduk di sofa memerhatikan sang suami yang sedang mengajari putranya. Hal yang sangat jarang Gadis lihat.
"Coba sekarang tulis nama Kenzi di sini," perintah Keenan setelah mengajari huruf alfabet kepada Kenzi.
"Gimana nulisnya?" tanya Kenzi bingung.
"Kan tadi Ayah sudah kasih contoh huruf-hurufnya. Kenzi lupa?!" tanya Keenan yang mulai emosi.
"Ayah, sabar dong," ujar Gadis saat melihat Kenzi tersentak kaget karena suara meninggi dari sang ayah.
"Coba tulis, 'Kenzi'." Keenan kembali memerintahkan Kenzi untuk menulis.
Perlahan tangan Kenzi menganyun. Membuat garis vertikal kecil. Kemudian ia menatap deretan alfabet di atas kertas karton buatan sang bunda. Huruf-huruf itu tiba-tiba saja menjadi berantakan di mata Kenzi. Semuanya terbalik-balik hingga membuatnya pusing.
"Ini huruf K-nya, Dek," tunjuk Keira yang merasa kasihan kepada adiknya, Kenzi.
"Jangan dikasih tahu, Kakak!" seru Keenan tak suka. "Biar Kenzi cari tahu sendiri."
Kenzi pun mencontoh bentuk huruf yang Keira tunjuk. Setelah itu kepalanya menoleh ke arah Keenan yang duduk di sebelahnya.
"Kebalik itu hurufnya," kata Keenan tak sabar.
"Susah, Yah," ujar Kenzi frustasi.
"Nggak ada yang susah kalau Kenzi mau belajar. Kenzi mau jadi anak bodoh?!" tanya Keenan yang langsung disambut gelengan kepala dari Kenzi.
"Ayah sudah," cegah Gadis yang tak ingin emosi Keenan menyulut.
"Jangan manjain Kenzi, Dis! Kalau kamu selalu memanjakan Kenzi, Kenzi bisa jadi anak yang bodoh nanti," sahut Keenan kesal.
"Kenzi masih kecil, Yah. Belum waktunya untuk belajar menulis dan membaca," bela Gadis yang sangat mengetahui tentang bagaimana perkembangan anak-anak sesuai umurnya.
"Seumur Kenzi, aku sudah bisa menulis dan membaca. Dan seharusnya Kenzi juga bisa!"
Keira dan Kenzi terdiam saat melihat ayah bundanya beradu pendapat. Kenzi yang mulai ketakutan, perlahan mundur mendekati sang bunda.
"Besok, kalau Kenzi belum bisa menulis nama sendiri, Ayah nggak mau menemani Kenzi bermain lagi," ancam Keenan yang membuat Gadis marah.
"Abang!" teriak Gadis yang membuat Kenzi dan Keira ketakutan.
"Jangan memanjakan Kenzi lagi!" pekik Keenan sebelum beranjak pergi.
Kenzi terdiam sebelum akhirnya menangis tanpa suara. Gadis pun segera memeluk Kenzi untuk menenangkan.
"Maafkan Ayah, ya. Ayah pasti lagi capek," tutur Gadis menenangkan.
Keira pun mendekati Kenzi, "Nanti Kak Keira ajarin nulisnya."
Kenzi yang masih ketakutan memeluk sang bunda dengan erat. Suara tangisnya mulai terdengar. Ini kali pertama Ayahnya membentak seperti itu. Hal yang tak pernah Kenzi lihat sebelumnya.
***
Perlahan kedua mata Kenzi terbuka. Ia melihat mainan bebek-bebek kecil berwarna kuning yang sudah berada di hadapannya. Diambilnya salah satu bebek itu, lalu memencetnya hingga berbunyi. Berendam bersama bebek-bebek kuning itu adalah dunia Kenzi yang penuh ketenangan. Setelahnya, dunia nyata akan kembali membuat Kenzi terpontang-panting.
"Abang, masih berendam?" Suara Gadis memanggil dari balik pintu kamar mandi.
"Sebentar, Bunda," sahut Kenzi sebelum menyudahi acara berendamnya.
Kenzi segera bergegas memakai bathrobe. Ia tak ingin bundanya menunggu lama. Senyumnya tersungging melihat sang bunda sedang duduk di tepi ranjang.
"Ada apa, Bunda?" tanya Kenzi ingin tahu.
"Abang baik-baik saja, kan?" tanya Gadis yang selalu mengkhawatirkan putranya.
Kenzi tersenyum sebelum mencium pipi bundanya, "Alhamdulillah, Abang baik, kok."
"Nggak ada masalah di kantor?" tanya Gadis kembali.
"Alhamdulillah nggak ada. Masalahnya itu cuma satu, Abang nggak bisa menyelesaikan pekerjaan tepat waktu. Tadi kalau nggak dibantu sama Om Esa dan Dek Ara, Abang pasti belum pulang." Kenzi bercerita sambil mengacak-acak rambutnya yang masih basah.
Kedua mata Gadis merebak mendengar penuturan Kenzi, "Kalau Abang kesulitan, Abang bilang saja sama Ayah. Ayah nggak akan memaksa Abang. Ayah pasti mengerti."
"Bunda." Kenzi menatap kedua mata Gadis yang berkaca-kaca.
"Kata orang, buah itu jatuh nggak akan jauh dari pohonnya. Tetapi nyatanya, Allah juga membuat buah itu jatuh jauh dari pohonnya. Bunda tahu, kenapa?" tanya Kenzi yang akan memaparkan sesuatu dari sudut pandangnya sendiri.
Gadis menggeleng, dan langsung disambut seulas senyum dari Kenzi.
"Karena sebenarnya akar dari pohon itu sudah menjalar kemana-mana, jadi buah yang jatuhnya jauh itu aslinya dekat sama si pohon. Sama kayak Abang. Semua orang sudah mengenal siapa Ayah, dan sekarang waktunya Abang untuk memberitahu pada dunia bahwa Abang adalah anak Ayah. Walau sulit, Abang pasti bisa seperti Ayah," tutur Kenzi yang membuat Gadis menangis terharu.
Kenzi menyeka air mata bundanya, "Abang nggak suka lihat Bunda menangis. Abang cuma mau lihat Bunda tersenyum. Abang akan buktikan sama Bunda dan semua orang, kalau Abang bisa seperti Ayah nanti."
Gadis mengangguk, lantas memeluk Kenzi dengan erat. Ia tak ingin suara tangisnya terdengar oleh siapa pun. Tak terkecuali sang suami, Keenan, yang sedang tertidur.
"Jangan lupa doakan Abang, ya, Bunda. Biar jalannya Abang lancar selalu," pinta Kenzi sambil mengeratkan pelukan kepada bundanya.
>>>
Tbc.
Tues, 30 April. 19
Hola,
Setelah melalui beberapa riset, akhirnya tak tertahankan juga untuk mempublish ini cerita. Maafkan atas kekhilafan saya 🙏
Adakah yang mengetahui apa yang terjadi pada Kenzi?
Buat yang tanya, kok Mas Esa ada di situ? Jawabannya nanti ada di ASAOLOGY novel. Insya Allah soon 😇
Dan semoga kalian semua mau sabar menunggu bagaimana kelanjutan kisah Kenzi ini. Semoga saudaranya yang sedikit jauh, Alrescha, nggak ngamuk nanti. Takut dibanting. 😂
Oia, buat yang udah punya ATTRAVERSIAMO novel, pasti tahu gimana ciri-ciri wajah Kenzi. Hehe. Inget ya, Kenzi itu darah campurannya Hongkong, England, Arab dan Indonesia.
Selamat membayangkan. 😉
Thank you so much more, and see you next time.
🙏
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top