True Colour Of Crimson Man [UjiUna]
Yang aku tahu, dan orang lain tidak tahu, mengenai kakakku yang selalu dikatakan seram, berandal, dan tidak kenal waswas— adalah kenyataan bagaimana pemilik mata delima itu tergila-gila pada segala jenis makanan di dalam daftar aplikasi pesan antar.
Mintalah ia mendorong jatuh seorang aparat kepolisian hingga berguling di trotoar, akan dengan senang hati ia lakukan hanya berbayar semangkuk es krim vanilla dengan potongan buah dan banyak puding berwarna.
Murahan, iya.
Lebih dari sering ia menarik uang dari dompetku seakan milik pribadi, membeli udon atau mochi yang akan disantap sembari memainkan gim RPG dengan komputer yang juga kepunyaanku. Sabar selalu menjadi pegangan di dada namun ternyata Kakak yang sangat aku sayangi itu lebih tidak tahu diri dari yang seharusnya.
Sebab ia terlelap di tempat tidurku, karena gitar, asbak, dan kartu remi yang berserakan di barak kasurnya.
"Sialan." Aku mengumpat keras, berharap agar ia terpanggil dari tidur dan bangun dengan perasaan bersalah. Namun yang terjadi adalah dengan dengkuran laknat ia membalik badan tanpa peduli keadaan.
"Sialan," Aku mengumpat lagi.
Ini bukan pertama kali terjadi. Sudah kukatakan, lebih dari sering aku akan merapihkan kasurnya dan tidur di sana. Menyebalkan.
Satu-satunya hal yang membuatku masih bertahan untuk tidak menendangnya keluar rumah, adalah karena aku menyayanginya. Dengan mata merah delima yang kadang memandang langit biru, atau suara rendahnya yang menghujat pemain-pemain lemah di gim. Ia tidak lupa bahwa aku adiknya, bahwa aku menyayanginya, dan dia menyayangiku dengan caranya.
Tidak pernah sekalipun ia membuatku kecewa dan terluka.
"Sarapan," ucapnya mengenakan apron ketika masuk ke kamar dan membangunkanku. "Yuuji, kau akan terlambat dan aku tidak peduli."
"Hmm...." Aku bergumam, mencuri-curi waktu untuk menyusup lebih dalam ke balutan selimut. "Festival sekolah sangat melelahkan..."
"Huh? Kenapa kau yang mengaduh? Tiap tahun itu kalimatku, sementara kau seharusnya tetap bersemangat seperti orang bodoh."
Aku mendengar suara langkah dari kakinya, lalu ia duduk di sisi tempat tidur. "Yuuji."
Aku tahu panggilan itu adalah bentuk lain dari hitung mundur. "Sukuna, hubungi sekolah dan katakan aku sakit."
"Wah kau membolos?"
Selimut ini adalah pengaman terakhir yang menguburku hingga kepala lalu kemudian aku merasakan sisi berat di sana, dan bisikan, "Kalau begitu aku juga."
"Huh?" Mengintip sejenak, aku melihat Sukuna kini meletakkan diri di samping. "Kenapa ikut-ikutan?"
"Karena aku sudah biasa tidak hadir, tambah sehari tidak akan masalah."
"Bukan itu yang kutanya," aku menghela napas melihat tatapan malas di wajah Sukuna yang aku tahu pasti keras kepala.
Dengan kedua tangan, aku menangkup pipinya, menatap dalam ke matanya, lalu berkata, "Pergi."
Namun Sukuna bukan sosok yang mudah takluk. Ia pemberontak, dominan, dengan mudah menimpa tanganku agar terjaga di pipinya, ia memangkas jarak.
"Aku ikut denganmu," katanya dan aku tidak pernah tahu kalau wajahku yang ada padanya bisa semempesona itu. "Jangan berbuat nakal tanpa mengajakku, Yuuji."
Senyum Sukuna terbit lebih tinggi dari biasanya. Ia mendaki ke atas kasur, perlahan ke atas pangkuanku hingga memancing debaran jantung. Lalu, dengan itu, Sukuna menyandarkan kepalanya di bahuku.
"Rasanya sudah lama." Dengan lancar ia mengucap demikian. Mendaratkan kecupan kecil di pipiku yang menerima rasa kejut. Membiarkan seluruh beratnya di atas pangkuan dan aku tidak mengerti harus bagaimana lagi selain ikut memeluknya.
"Yuuji."
"Hm?"
"Macaroon."
Hah! Benar-benar orang ini!
"Kau bertingkah manis dan segala macam, bahkan memasak sarapan dan memberiku ciuman di pipi, hanya untuk itu?"
Sukuna menarik tubuhnya, ia melihat dengan alis menukik sebab geram. Aku tidak ingin kalah, demi uangku yang ia harapkan akan memberikannya kue Prancis. Tidak akan kubiarkan.
Bahkan jika Sukuna tersenyum, lalu berkata, "Kalau ciuman di bibir?"
Hah....?
"Sukuna, dengar..." Dia tidak mendengar, dan aku juga tidak memiliki kesempatan untuk melanjutkan kalimat itu sebab bibirku kini dikunci oleh miliknya.
Teh melati yang ia sesap tadi pagi, rasa manis telur dadar serta selai anggur untuk roti. Aku melihatnya menyeringai ketika pagutan itu terpisah setelah tiga detik penuh tekanan.
Namun aku tidak ingin diremehkan, tidak ingin kalah dari kakak laki-laki yang suka menindas. Maka, aku menarik kembali raganya, memagut kembali bibirnya. Menyapa dengan lidah hingga manik merah Sukuna membola sempurna.
Aku ingin ia tahu bahwa aku juga memiliki kuasa. Ketika kususupi mulutnya dengan lidah dan ia mulai mencengkram pundakku erat. Meminta lepas, namun tidak memiliki kekuatan merelakan ciuman itu terhenti. Lenguh sebaris, lalu rona merah yang dapat kuintip menodai pipinya.
"Ah—"
Segera Sukuna mengelap bibir dengan punggung tangan.
"Sial," kali ini dia yang mengumpat.
"Kau yang bilang tidak boleh berbuat nakal tanpa mengajakmu, ya kan?"
Alisnya menekuk tidak senang, hanya sesaat sebelum kemudian seringai kembali mengembang di bibir yang masih mengkilap.
"Baik," ucapnya, "Kau dapat ciumanmu, aku dapat Macaroon-ku."
Murahan, iya.
"Untung aku menyayangimu, Kakak."
END
#MonthlyFFA
#KadoBuatValky
31 Juli 2021
SeaglassNst
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top