23 ~ Yang Terlewatkan
Mungkin kau menjaganya dengan baik.
Mungkin juga kau sudah merawatnya dengan hati-hati.
Mungkin pula kau sudah memeliharanya sepenuh hati.
Namun, ketika akhirnya yang terlewatkan baru tampak,
lalu yang terlewati menyisakan sesal,
jangan berkecil hati, sebab semua sudah ada jalannya.
Biarlah yang lalu tetap berlalu.
Biarlah yang lewat tetap lewat.
(L.K)
🍁🍁🍁
Hiruk pikuk yang bisa menjadi benci ketika melihat semua berbuat sesuatu sementara kita hanya mampu menatap dari kejauhan. Namun, sakit hati paling dalam ketika melihat sebuah kesakitan, tetapi hanya pasrah yang bisa dilakukan.
Menangis untuk melegakan diri, menangis untuk meluapkan emosi, menangis untuk melepaskan tanpa membebani. Setiap air mata itu pasti ada harganya. Bukan sekadar pemanis, bukan juga sekadar pelipur lara.
Saat kesempatan kedua sudah pernah menyapa, berarti Tuhan mempercayakan apa yang sudah diberikan pada umat-Nya. Adakah kesempatan ketiga, keempat, dan kelima? Ada, saat Tuhan sudah memainkan perannya,
Delano dan Ayah Awan duduk di kursi tunggu di depan kamar rawat si bungsu, Biru. Keduanya larut dalam lamunan masing-masing. Seperti kembali ke masa silam saat tiba-tiba Biru ditemukan tumbang tanpa ada seorang pun di sampingnya.
Mereka sengaja memberi kesempatan pada Ibu Dewi untuk menjaganya. Lagi-lagi, hati seorang ibu terasa teriris sembilu. Beliau adalah seorang dokter, tetapi untuk kedua kalinya dia kecolongan.
"Maafin Ibu yang nggak bisa jaga Adek dengan baik. Maafkan Ibu yang lagi-lagi lalai ngawasi Adek. Maafkan Ibu yang belum bisa jadi ibu terbaik buat Adek." Ibu Dewi Jelita tertunduk pasrah dengan air mata yang tidak berhenti mengalir.
Ibu dua anak itu tidak kuasa saat melihat si bungsu harus kembali terbaring di ranjang rumah sakit. Suara bedside monitor dan tangis sang ibu menjadi irama yang membuat Sabiru Anggara membuka matanya.
Sebelah tangan yang terbebas dari genggaman sang ibu bergerak dan mengusap air mata ibunya. "Jangan nangis lagi buat Adek, Bu. Air mata ibu harus disimpan sampai Adek bisa membuat ibu dan ayah menangis karena bahagia," ujar Biru lirih.
Bukannya mereda, tangis Ibu Dewi semakin menjadi. Dua lelaki di luar kamari berhamburan masuk karena khawatir sesuatu telah terjadi. Begitu melihat penghuni kamar itu membuka mata, kedua laki-laki itu mendekat dan berdiri di sisi ranjang.
"Sudah puas bikin Ibu nangis, Dek? Eh, Ayah juga nangis, sih," ucap Bang Lano dan langsung dihadiahi lirikan tajam dari sang ayah karena ucapannya itu.
"Kayak Abang nggak nangis aja. Paling kejer di antara kita bertiga." Ayah Awan membalas dan membuat Bang Lano tertunduk malu.
Suara dering telepon membuat keluarga itu terdiam. Ibu Dewi menjawab singkat panggilan telepon tersebut dan berpamitan karena ada panggilan mendadak untuk operasi.
"Istirahat dulu. Nanti Ibu kembali lagi. Jangan pecicilan dulu, Dek! Buat Ayah sama abang jangan gangguin anaknya Ibu. Jangan berisik, jangan ajakin Adek yang aneh-aneh." Sang ibu memperingatkan ketiga lelaki di ruang rawat tersebut.
Selepas kepergian sang Ibu, Ayah Awan menggantikan posisi dan duduk di kursi sebelah ranjang.
"Cepat atau lambat Adek harus tahu kondisi diri sendiri. Diagnosa awal, Adek serangan jantung karena kondisi yang sama seperti beberapa tahun lalu, adanya plak yang menyumbat arteri. Untuk lebih jelasnya harus ada pemeriksaan lanjutan. Adek mau 'kan?"
"Seperti dulu? Capek, Yah! Kalau misalnya benar ada plak, fungsi ring yang dipasang kemarin apa?"
"Tempatnya beda, Dek. Bukan di tempat yang sama. Kata dokter spesialis kemarin, itu semua pemicunya dari faktor genetik. Penimbunannya sudah lama, tapi lambat dan baru terasa lagi setelah yang dulu. Nanti lebih jelasnya biar Ibu saja yang kasih pengertian. Adek gitu kalau sama Ayah, suka nanya macem-macem."
"Ayah tidur, gih. Pasti semalaman sudah begadang. Mata panda memang imut, tapi kalau ada di mata Ayah jadinya serem," kilah Biru yang tidak ingin memperpanjang debatnya dengan sang ayah.
Ayah Awan sudah beranjak, tetapi tangannya tertahan karena si bungsu menarik pergelangan tangannya.
"Ini boleh dibuka?" tunjuk Biru pada nasal kanul yang melintang di bawah hidungnya. "Hidungnya perih, nggak enak banget. Ini oksigen yang masuk nggak ada akhlak. Keroyokan dan cepet lagi."
"Tunggu Ibu saja, Ayah takut dibantai kalau macem-macem sama Adek."
"Abang ke luar dulu mau beli makan. Nanti sekalian bawain buat Ayah sama Ibu."
"Buat Adek nggak, Bang?"
"Sudah ada ransum khusus pasien," jawab Bang Lano sambil menaik-turunkan alis tebalnya.
"Hambar, Bang!"
"Ho'oh, kek cinta Abang ke doi." Bang Lano berlalu dan mengabaikan si bungsu yang masih merajuk.
Begitu keluar kamar, Bang Lano mengembuskan napasnya. Dadanya terasa menghangat saat melihat binar di wajah Biru sudah kembali. Aterosklerosis, kata itu terus saja berputar di kepalanya. Ini adalah kali kedua sang adik mendapat serangan jantung dampak dari penyakit itu.
Aterosklerosis adalah pengerasan arteri karena timbunan lemak atau plak yang menyumbat arteri. Plak terbentuk dari lemak, kolesterol, kalsium, dan zat-zat lainnya yang ditemukan dalam darah. Tersumbatnya pembuluh darah arteri akibat plak dapat menyebabkan berbagai penyakit, yang paling sering terjadi adalah penyakit jantung koroner, serangan jantung, dan stroke.
Perkembangan Aterosklerosis cenderung lambat dan bertaham. Penyakit ini biasanya mulai muncul pada usia anak-anak. Namun, timbunan plak yang ada masih belum begitu tebal dan pengaruhnya belum begitu terasa.
Pada sebagian orang, penyakit tersebut berkembang pesat pada usia 30-an. Beberapa kasus menunjukkan penyakit itu tidak berbahaya hingga usia mereka mencapai 50 sampai 60 tahun. Untuk sebagian lainnya berkembang lebih cepat karena faktor genetik, gaya hidup, konsumsi alkohol, sleep apnea, kadar lemak trigliserida yang tinggi, dan stres.
"Masnya Pak Biru!"
Suara itu menyadarkan Bang Lano dari lamunannya di sepanjang koridor ruang tunggu rumah sakit. Lelaki itu menoleh dan mencari asal suara. Hingga dia melihat seorang yang dia kenal sebagai anak didik si bungsu.
"Na, pelan-pelan!" Rajasa menahan tangan Arina yang sudah ancang-ancang untuk berjalan cepat ke arah Bang Lano.
"Masnya Pak Biru ngapain? Pak Biru apa kabar? Kemarin sepulang dari rumah kita Pak Biru sakit. Sekarang gimana?"
"Na, ini rumah sakit, jangan berisik. Tanyanya juga satu-satu, Masnya Pak Biru bingung mau jawab yang mana. M-maaf, Mas. Dia memang cerewet." Rajasa melirik sekitar dan membungkukkan badannya untuk meminta maaf pada beberapa perawat yang mengawasi.
"Biru lagi dirawat di sini gara-gara kemarin dia collapse." Bang Lano menjawab setelah mengajak sepasang suami-istri itu untuk mencari tempat duduk.
"Sa-sakit apa? Nggak apa-apa? Kenapa sampai dirawat?" Lagi-lagi si ibu muda ini bertanya tanpa jeda.
"Na ...," tegur Rajasa dengan lembut.
"Ish, bentar. Aku banyak pertanyaan, Ja."
"Iya, paham, tapi pelan-pelan saja."
Bang Lano tersenyum melihat kedua insan di hadapannya. Di satu sisi dia merasa lega karena Arina mendapat perlakuan yang lebih baik setelah kejadian yang sudah berlalu. Di satu sisi Bang Lano terenyuh mengapa mereka harus melewati masa muda dengan masalah yang cukup berat.
"Bukannya Pak Biru mau nikah? Kata Nila dia dengar pas Pak Biru pamit ke Pak Ardan. Itu beneran mau nikah? Apa karena sakit Pak Biru jadi mundur dari SMAPSA?" Otak cerdas Arina berkerja dan mencecar Bang Lano tanpa henti dengan asumsinya.
"Nanti kalian tanyakan sendiri sama Biru. Dia ada di kamar Asoka 10. Sekarang saya pamit mau cari makan dulu buat Ayah."
"Ma-maaf, Mas. Arina memang begitu kalau panik. Dia merasa hutang budi sama Pak Biru, dia ...." Ucapan Rajasa terhenti sebab Arina sudah menarik tangannya. "Na, Na, tunggu bentar. Nggak usah buru-buru," ujar Rajasa sembari berusaha mengimbangi langkah istrinya.
Bang Lano mengangguk dan mempersilakan dua insan tersebut untuk menjenguk adiknya. Si sulung itu hanya menggeleng melihat kelakuan calon ayah dan ibu muda itu.
Arina melihat nomer yang tertera di pintu. Dia terus berjalan hingga di pintu bernomor sembilan dia melihat Ayah Awan sedang bersantai sambil membaca buku.
"Om, boleh Arina jenguk Pak Biru?" Arina sudah mengenal Ayah Awan sejak dia dibawa pulang ke rumah keluarga Anggara kala itu.
Ayah Awan juga yang menjelaskan pada keluarganya tentang masalah yang menimpanya. Berkat nasehat dan masukan dari beliau juga keluarganya bisa menerima meski sakit hati itu masih menyiksa.
"Boleh, tapi Biru baru saja tidur. Ini Om tunggu di luar soalnya dia gampang kebangun kalau dengar suara-suara."
"Na, lihat dari sini saja, ya? Jangan ganggu istirahatnya Pak Biru. Besok kita balik lagi pas sudah lebih baik." Rajasa memegang pundak Arina dan mengarahkannya ke pintu untuk mengintip Pak Biru yang terbaring.
Arina baru melihat sekilas dan langsung berbalik memeluk Rajasa karena tak kuasa menahan tangisnya. Rajasa merengkuh wanitanya dan mencoba untuk menenangkan.
Ayah Awan beranjak lalu mengajak Arina duduk disebelahnya dan ikut menenangkan. "Pak Birunya lagi tidur. Nggak usah nangis, Nak. Dia sudah nggak apa-apa. Sudah, jangan sedih. Kalau ibunya sedih, bayimu juga ikut sedih."
"Pak Biru sakit apa, Om?" tanya Rajasa.
"Aterosklerosis. Pengerasan arteri karena tersumbat timbunan lemak," jawab Ayah Awan datar.
"S-sejak kapan?"
"Sejak dia masih di bangku SMP. Dia nyaris saja selesai, tetapi Allah masih memberinya kesempatan kedua. Kami merasa dia sehat, eh, kemarin malah dapat serangan lagi."
"Serangan? Se-serangan jantung?" Arina tergagap saat bertanya.
"Iya, itu dampaknya." Ayah Awan menghela napas dan mengusap bahu Arina yang berguncang menahan tangis
Rajasa bungkam, dia bingung harus berkata apa. Satu yang ada di pikirannya. Dia ingin segera pulang dan berbagi cerita bersama teman lainnya.
🍁🍁🍁
ANFIGHT BATCH 6
#DAY 23
Bondowoso, 23 Januari 2021
Na_NarayaAlina
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top