17 ~ Temu yang Berakhir

Ada masanya yang sudah bersama harus berpisah.
Tiba waktunya segala yang dimulai harus berakhir.
Janganlah saling menyalahkan!
Sebab apa yang ada dalam genggaman tak mesti tercipta untuk kita.

(L.K)

🍁🍁🍁

Menjadi guru BK selalu saja panen masalah. Ketika masalah menyapa, semua seolah bertubi-tubi tidak ada habisnya. Jika pahala salat bisa banyak diraih karena dilakukan berjamaah, lain halnya dengan masalah.

Ketika masalah datangnya berjamaah, tidak bisa dibayangkan lagi bagaimana kepala Biru memikirkannya. Belum lagi sang rekan kerja masih dirundung duka. Ingin sekali Biru menarik dan membawa Pak Ardan ke sekolah supaya bisa membantunya.

Buntut dari tertangkapnya Nila, maka terbongkarlah semua kasus kehilangan yang selama ini menimpa beberapa temannya. Sebenarnya, sejak kejadian Dies Natalis SMAPSA, Biru sudah memprediksi bahkan lelaki itu sudah memberitahukan pada Pak Rudi perihal perilaku Nila yang dinilai memerlukan tindakan khusus.

"Tindakan kamu ini berbahaya, Nil. Pak Biru nggak bisa bantu kamu karena hanya kamu yang bisa menolong diri kamu sendiri. Ada yang salah sama diri kamu, kamu tahu itu?"

Nila mengangguk dan semakin menunduk karena menyadari kesalahannya. Gadis dengan iris mata hitam itu enggan menatap sang guru. Ada rasa malu dan sesal yang dia rasakan.

"Kalau kamu mau berjanji untuk berubah, Pak Biru dan pihak sekolah bisa memfasilitasi supaya kamu bisa lepas dari klepto. Semua tergantung sama kamu, mau berubah atau tidak."

"Saya takut, Pak. Apa saya bisa diterima kembali? Mereka sudah tahu kalau saya suka mencuri."

"Itu bukan kebiasaan, klepto itu semacam penyakit, Nila! Dan setiap sakit pasti ada obatnya. Setidaknya, kamu tidak sendirian. Kami akan membantu kamu untuk bisa lebih baik."

Kleptomania adalah gangguan psikologis yang membuat pengidapnya senang mengambil barang milik orang lain (mencuri). Sebagian besar kasus itu terbentuk di usia remaja, tetapi tidak jarang juga yang muncul di usia dewasa.

Mereka melakuan aksinya tersebut tanpa alasan yang jelas. Bisa di tempat umum, rumah teman, atau lingkungan sekolah. Tindakan yang dilakukan itu bukan didasari rasa dendam, mereka cenderung spontan dan berulang.

Dorongan mencuri begitu besar sehingga pengidap sulit untuk menahan keinginan tersebut. Hasilnya, pengidap kleptomania itu melakukan tindakan dan merasa puas setelahnya. Ada beberapa faktor yang memicu seseorang mengidap kleptomania, faktor keturunan dan perubahan komposisi kimia di dalam otak diduga menjadi pemicu tindak kleptomania.

Misalnya, penurunan kadar serotonin atau hormon yang bertugas mengatur emosi dan ketidakseimbangan sistem opioid otak. Gangguan ini menimbulkan dorongan untuk mencuri, serta terjadi pelepasan dopamin yang membuat pengidap senang dan ketagihan untuk mencuri kembali.

Beberapa tindakan seperti konsumsi obat antidepresan, obat untuk mengatasi kecanduan dan psikoterapi berupa terapi kognitif (CBT) dinilai ampuh untuk menyembuhkan kleptomania.

Selain psikoterapi, pengidap kleptomania juga bisa menjalani terapi perilaku yang dimodifikasi, terapi keluarga, dan terapi psikodinamik. Konseling atau terapi ini dilakukan secara individu atau berkelompok.

Berkat bantuan dari salah satu dosennya selama kuliah psikologi, Biru akhirnya menerapkan beberapa ilmu yang didapatkan dengan baik. Dia melakukan terapi bicara pada Nila selama beberapa kali dalam seminggu.

"Nil, barang-barang yang kamu ambil sudah dikembalikan semua 'kan? Nggak nyesel?"

"Nggak lah, Pak. Ngapain juga kesel? Nila pengin lebih baik. Takut nanti masuk catatan kriminal kalau diterusin."

Sebuah ketukan menyela pembicaraan Nila dan Biru, seseorang yang mirip dengan Faris memasuki ruangan dan menjabat tangan Biru dengan erat.

"Saya kakaknya Faris, Pak." Uluran tangan itu disambut hangat oleh Pak Biru.

"Nila, kamu bisa kembali ke kelas setelah istirahat."

Begitu Nila keluar, Biru mempersilakan kaka Faris untuk duduk. Keduanya berbasa-basi untuk mengakrabkan suasana.

"Saya ingin berterima kasih pada Pak Biru karena sudah banyak menyadarkan adik saya. Saya ke sini atas permintaan ayah. Mulai besok Faris dipindah ke pondok yang dekat dengan kantor ayah. Alasannya, supaya Faris lebih terkontrol lagi, Pak."

"Kenapa mendadak, Mas? Apa Farisnya setuju? Jangan sampai ada unsur paksaan hingga membuatnya terbebani."

"Alhamdulillah dia sudah setuju. Dia merasa bersalah karena sering menjadi provokator di antara teman-temannya."

"Berarti ini hari terakhir Faris di SMAPSA?"

Kakak Faris mengangguk, hati Biru sedikit sakit seperti dicubit. Dia tidak menyangka jika Faris harus berpisah dengan teman-temannya. Sudah terbayang saat rasa kehilangan menghiasi kelas Pak Ardan.

Faris benar-benar menggunakan hari terakhirnya dengan baik. Dia banyak bercanda sampai di akhir kegiatan pembelajaran, Biru memasuki kelas dan meminta Faris untuk berpamitan.

Seisi kelas, bahkan anggota The Fantastic Four kaget karena permintaan Pak Biru. Mereka tidak menyangka harus ada perpisahan mendadak seperti ini. Faris sangat pandai menyembunyikan rahasia terbesarnya selama beberapa hari ini.

Hari-hari ketiga sahabat itu akan terasa berbeda tanpa kehadiran Faris. Biasanya Faris yang mengkomando dan mengajak untuk melakukan hal gila. Namun, baru beberapa hari saja rasa kesepian sudah menyapa ketiganya.

"Kok kangen sama Faris, ya?" Randy yang duduk di pojokan kelas mendadak menyebut nama sahabatnya yang sudah pindah sekolah.

"Sepi nggak ada itu anak." Dito bersuara dan memilih menelungkupkan kepalanya di atas meja.

"Za, minum apaan, sih?" Perhatian Randy terarah pada Erza yang memasukkan dua butir obat ke mulutnya.

Lelaki yang lebih pendiam setelah kepergian Faris ini bahkan tidak membutukan air untuk menelan dua butir obat tadi. "Obat sakit kepala," sahut Erza datar.

"Emang satu saja nggak cukup?" Pertanyaan Randy dijawab dengan gelengan oleh Erza.

"Kalau nggak ada Faris bukan The Fantastic Four, dong! Lah wong sisa bertiga saja," celetuk Dito.

"Gantilah. Hm ..., we are The Three Mas Kenthir!" teriak Randy dan membuat sebagian teman dikelasnya menoleh lalu terkikik.

"Lambemu, Ran! Kamu saja yang kenthir, aku sama Erza nggak, iya 'kan, Za?" Dito menoleh dan mendapati Erza kembali memasukkan dua butir obat ke dalam mulutnya. "Heh, Za! Ngapain minum obat segitu banyak? Ntar keracunan, loh, lepehin!"

Dito yang merasa khawatir pada temannya ini memegang pipi Erza dan membuka paksa mulutnya. Tepisan dari tangan Erza tidak membuat Dito berhenti. Randy kebingungan melihat kedua sahabatnya bertengkar.

"Lepehin, Za! Ngapain minum obat banyak-banyak?" Dito masih kekeuh dengan memaksa Erza memuntahkan obat terakhir yang diminumnya.

"Aku pengin tidur! Pengin tidur! Nggak mau lihat mereka, nggak mau ketemu mereka, mau tidur, Ran! Tidur!" racau Erza.

Randy tidak juga paham pada situasi kedua temannya ini. Dito yang merasa Erza mulai hilang kendali akhirnya berteriak pada teman-temannya.

"Heh, panggilin guru, kek! Atau siapa, gitu? Aku nggak bisa nahan Erza!" Teriakan Dito membuat salah seorang siswa berlari ke luar kelas.

Kacau, Erza tampak sangat kacau. Bicaranya sudah mulai tidak terkendali. Lelaki itu meracau semakin tak jelas. Dito memilih untuk merengkuh sahabatnya supaya tidak bertindak lebih jauh yang bisa membahayakan dirinya.

Randy akhirnya turut menenangkannya. Racauan Erza mulai memelan, tetapi pandangan matanya kosong. Beberapa siswi memilih untuk menghidar dan menjaga jarak dari ketiga siswa itu.

Jam kosong yang biasanya ramai berubah mencekam. Tepat saat tubuh Erza lemas dan luruh dari rengkuhan Dito, Biru dan Ardan datang dengan terburu-buru.

"Ada apa, Dit? Erza kenapa?" tanya Ardan.

"Dia minum empat butir obat sakit kepala sekaligus, Pak!" jawab Dito sambil menyandarkan kepala Erza di dadanya.

"Delapan! Sebelum Dito lihat,  dia sudah minum empat butir tanpa air, Pak!" Randi melipat dua jarinya dan membuka kedelapan jari-jarinya.

"Goblok! Kenapa nggak dilarang, Paimin!"

"Tak pikir itu permen, Dit." Dito hanya berdecak kesal mendengar jawaban Randy.

"Rumah sakit! Pak Ardan, rumah sakit. Erza overdosis!" ujar Biru setelah melihat napas Erza pendek, tidak merespon rangsangan dengan keringat dingin dan kulit sedikit membiru.

Kepanikan seketika melanda. Beberapa siswa berusaha membantu untuk menggotong tubuh Erza. Ardan lebih dulu berlari dan menunggu di halaman sekolah.

Sekali lagi, SMAPSA gempar karena salah satu siswanya overdosis saat jam sekolah. Berbagai spekulasi muncul ke permukaan. Sebagian meyakini bahwa Erza adalah pemakai. Beberapa yang lain menduga anak itu deperesi.

Belum selesai pembahasan mengenai Erza, salah satu wali kelas membawa kabar di grup SMAPSAFAM tentang wali murid yang mempertanyakan keberadaan putrinya.

SMAPSA Bu Rindi:
Bapak/Ibu, mungkin kemarin atau tadi ada yang  melihat Arina?
Orang tuanya chat pribadi ke saya kalau dari kemarin Arina tidak pulang

SMAPSA Pak Jo:
Terakhir pas jam saya Arina masih ada, Bu.
Apa dia nggak pulang ke rumah setelah jam berakhir?

SMAPSA Bu Rindi:
Sepertinya begitu, Pak.
Orang tuanya kebingungan, tanya sama teman yang lain sama-sama nggak tahu.

Smapsa Mas Dan
Mohon bantuannya untuk di sebar sebagai orang hilang.
Info melalui sosmed lebih cepat menyebar.
Untuk bapak/ibu guru mohon tetap mengawasi sekitar.
Barangkali Arina masih di sekitar kita.

SMAPSA Pak Aris
Siap, 86!

SMAPSA Pak Mad
Siap, 86!

🍁🍁🍁

ANFIGHT BATCH 6
#DAY 17

Bondowoso, 17 Januari 2021
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top