08 ~ Mencoba Lebih Sabar

Sabar!
Satu kata, dengan sepuluh niat,
seratus usaha, dan seribu tetes keringat.
Begitu disentil sedikit, langsung ambyar!

(L.K)

🍁🍁🍁

Sebuah tim dibuat untuk saling bekerja sama dan melengkapi. Semua sudah memiliki porsinya masing-masing. Begitu juga dengan tim panitia Dies Natalis SMAPSA.

Sorak sorai memenuhi ruang basecamp. Beberapa anggota saling ber-tos ria dan yang lainnya saling berjabat tangan dan saling mengucapkan terima kasih atas kerja keras dalam rangka suksesnya acara tahunan di SMAPSA.

"Alhamdulillah, kalian hebat. Terima kasih atas partisipasinya," ujar Biru sambil menerima beberapa jabat tangan dari anak didiknya.

"Terima kasih karena Pak Biru sudah datang di saat yang tepat." Yuda menjabat tangan si guru BK dengan erat.

"Saya hanya menjalankan amanah dari Pak Ardan. Semua berkat beliau, bukan saya."

"Yang penting acaranya udah beres, kalau bisa pas pembubaran panitia ngadain acara sendiri dimana?" tawar Rista pada beberapa anggota panitia yang masih menetap.

"Boleh, dah! Seru juga, tuh," jawab Nila.

"Pak Biru nanti ikutan, ya! Bapak juga berperan untuk kesuksesan acara hari ini." Arina menawarkan dan Biru mengangguk tanda setuju.

"Rin, kamu lihat gantungan hp-ku, nggak?" Rista si sekretaris Osis tampak membongkar isi tasnya.

"Lah, biasanya juga gantung di situ, hp-nya ada?"

Rista mengangguk dan memeriksa kolong kursi dan beberapa tempat lainnya. Biru mencuri dengar percakapan kedua siswanya. Sampai suara teriakan Rista membuat beberapa kepala menoleh.

"Ada yang lihat gantungan hp-ku nggak?" teriak Rista.

"Eh, kaus kakiku juga nggak ada sebelah!" Anak dengan rambut potongan cepak membuka suara.

Ruangan basecamp menjadi ramai seketika karena beberapa benda milik anggota panitia hilang tiba-tiba. Beberapa barang mungkin kecil yang tidak biasanya menjadi sasaran maling ternyata bisa raib begitu saja.

Biru mengernyitkan keningnya dan mulai menarik benang merah dari kejadian ini dan juga penjelasan salah satu guru tentang insiden hilangnya barang-barang milik penghuni kelas XI Bahasa 1.

"Biasanya yang hilang itu barang berharga kayak hp, uang, atau perhiasan. Ini kok malah printilan kecil yang hilang dan kalau diuangkan juga nggak seberapa nominalnya," gumam Arina yang didengar oleh Biru.

"Coba dicari sekali lagi, mungkin barangnya terselip atau keikut dan terbawa teman kalian." Biru mencoba menenangkan sebagian siswa.

Total ada sekitar tujuh barang yang hilang. Sebelah kaus kaki cowok, gantungan hp milik Rista, pulpen, ikat rambut, blocknote, minyak angin, dan sepasang anting karakter.

Biru mengamati seluruh perilaku panitia yang tersisa. Manik mata gelapnya menatap Nila yang juga ikut membantu mencari barang milik temannya itu. Nila tanpa sengaja bertatapan dengan Biru dan langsung menghindar.

Setelahnya kentara sekali perilaku Nila menjadi canggung dan salah tingkah.

"Guys, aku pamit duluan! Ayahku sudah ada di gerbang depan." Nila mengambil tasnya kemudian berlari seperti terburu-buru.

Biru membelah kerumunan dan memanggil Nila, "Pak Biru temani, sekalian mau nambah beli minum untuk anak kebersihan yang masih beres-beres."

Nila tampaknya sangat terburu-buru, tetapi Biru berusaha mengimbangi larinya.

"Apa yang kamu sembunyikan? Kamu tahu siapa yang mengambil barang-barang mereka 'kan? Nila bisa jujur sama Pak Biru."

"Ng-nggak, Nila nggak tau apa-apa!"

"Gantungan hp bulu-bulu warna hijau botol, itu punya Rista 'kan? Pak Biru tadi sempat lihat itu ada di saku seragammu, Nil!"

"Nggak ada, itu punya Nila, kok! Kebetulan mirip sama punya Rista. Nila pamit, Pak." Gadis berpamitan dan bersiap menyebrangi jalan untuk menghampiri sang ayah.

"Kalau butuh bantuan, kamu tahu bisa menemui Pak Biru di mana? Pak Biru siap bantu asal kamu mau terbuka. Kita selesaikan masalah kamu sama-sama, Nila!" ujar Biru sebelum Nila berhasil menyeberangi jalan.

Ayah Nila tampak mengangguk dan tersenyum setelah Nila berhasil menyeberangi jalan dan mengatakan bahwa Biru adalah guru baru di sekolahnya.

Hari sudah berganti, hiruk pikuk selama Dies Natalis sudah mulai pudar dan kembali pada rutinitas biasanya. Kegiatan belajar-mengajar juga sudah mulai berjalan seperti biasa.

Di ruang konseling, Biru masih memikirkan tentang masalah Nila. Lelaki itu mencari beberapa referensi untuk masalah Nila. Jika prediksinya benar, mungkin Nila memiliki kelainan, kleptomania.

Namun, terlalu dini jika langsung memvonisnya. Maka dari itu, Biru bertanya pada dosen pengajarnya dan beberapa teman yang dinilai lebih ahli dalam masalah seperti ini.

"Pak Biru mungkin mau ngisi di kelasnya Pak Ardan? Soalnya guru piket sudah nyerah ngasih tugas di kelas itu. Ujung-ujungnya cuma jadi penghias papan tulis dan nggak dikerjakan sama anak-anak, Pak," ujar Pak Jo guru Sejarah di SMAPSA yang menghampiri Biru di ruang konseling.

"Boleh, jam ke berapa, Pak? Kalau misalnya diisi motivasi untuk anak-anak apa boleh, Pak?

"Nanti setelah istirahat kedua, Pak. Sangat boleh, Pak. Anak-anak sangat perlu itu. Soalnya di zaman sekarang ini semua serba salah. Mereka seperti kurang peka, jangankan pada guru, pada teman sekelasnya saja seperti masa bodoh,"

Biru lantas mengangguk dan mulai mempersiapkan apa yang sekiranya bisa membangun motivasi dan membuat anak didiknya bisa lebih peka dan perasa.

Begitu jam istirahat kedua berakhir, Biru dengan segala persiapannya menuju kelas yang katanya paling angker karena penghuninya yang selalu saja panen masalah.

"Dito, tunggu!" panggil Biru saat melihat siswanya itu berjalan memasuki kelas.

"Saya sudah berhenti, Pak. Ngapain dipanggil lagi?"

"Bagi nomer hp-nya. Nanti Pak Biru kabari soal kerjaan kamu yang baru."

"Nggak usah, Pak, saya bisa kerja lainnya."

Biru lantas menyerahkan ponselnya dan meminta Dito mengetik sendiri nomor ponselnya. Setelah selesai barulah keduanya memasuki kelas bersama-sama.

Memasuki kelas angker ternyata memang beda. Biru sudah kenal beberapa wajah yang sudah ditemuinya beberapa kali. Ada Faris, Randi, Dito, Yuda, dan Erza.

"Sudah sehat, Za?"

Erza yang sedang menggoreskan penanya di halaman belakang LKS tersentak dan mendongak untuk melihat siapa yang bertanya.

"Sudah, Pak."

"Alhamdulillah, itu kepala udah bener 'kan? Jangan sampai terulang lagi kejadian kayak kemarin, kepalamu yang bocor Pak Biru yang senam jantung."

Erza mengangguk untuk sekadar menjawab pernyataan sang guru. Biru berlanjut untuk mengisi kelas XI IPS 1 karena sang wali kelas belum juga pulang dari tugas Bimtek di provinsi.

"Pak, jangan lama-lama kasih tausiyahnya, ini jam tidur siang!" Faris memulai aksinya sesaat sebelum Biru mulai bersuara.

"Lima belas menit, nggak lebih. Setelah itu kamu mau tidur silakan yang penting nggak keluar kelas."

"Coba semua guru begini!" ujar Randy.

"Kalau kamu nggak banyak omong, Pak Biru bakal cepat selesai."

Seisi kelas yang semula ramai berubah hening seketika. Bahkan ketika satu orang bersuara, Faris melemparinya dengan kertas dan meminta untuk segera diam. Biru memutarkan setidaknya ada tiga video dengan durasi pendek dengan total tidak sampai lima menit.

Satu video tentang penulis bernama Irfan Hafiz yang berhasil menulis dan menerbitkan tiga buku dengan satu jari telunjuk, satu-satunya yang bisa bergerak dari seluruh tubuhnya. Dia bahkan bertahan 19 tahun lebih lama dari vonis yang mengatakan hidupnya tidak akan lebih dari 18 tahun.

Video kedua tentang Nick Vujicic yang menjadi motivator kelas dunia dengan keterbatasan fisik, tetapi memiliki hidup tanpa batas. Begitu juga dengan video ketiga yang berasal dari negeri sendiri.

"Kalian sudah melihat, ini adalah kisah hidup dengan keterbatasan fisik, tetapi apa yang mereka lakukan nyata. Mereka bermimpi, berusaha mencapainya dengan sepenuh hati, kemudian bahagia dengan caranya sendiri. Lantas, apa yang sudah kalian lakukan? Bukan untuk orang lain, tetapi untuk diri sendiri."

"Makan, tidur, nge-game, sekolah, bayar uang sekolah, bolos, banyak dah, Pak!" Randy bersuara saat yang lain tengah merenung.

"Apa hanya itu? Lalu, apa tidak ada sedikit saja rasa peka dan tersentuh?"

"Berat, Pak! Mending sekalian dibilang mati rasa nggak apa-apa!"

"Apanya yang berat, Ran?" tanya Biru yang mulai hilang kesabaran sebab Randy seperti tidak tersentuh dengan yang ditampilkan sebelumnya.

"Beratnya itu pas peduli dikira kepo urusan orang, pengin curhat dibilang baper, niat bantuin dibilang cari muka, pas diem malah dikira mendem! Susah, Pak!"

Biru menghela napas dan mengusap wajahnya kasar. Nih, Bocah?! Ya Tuhan, apa salah dan dosa hamba? Kenapa murid jaman sekarang los begini tanpa tedeng aling-aling? batin si Guru BK.

🍁🍁🍁

Mohon maaf atas keterlambatan ini.
Selamat menikmati, dan semoga bisa up sesuai jadwal seperti biasanya.
Tetap sehat, tetap taati protokol kesehatan, tetap jaga kewarasan.

ANFIGHT BATCH 6
#DAY 8

Bondowoso, 08 Januari 2021
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top