03 ~ Pundung

Jangan mudah marah, biar awet muda.
Tetaplah bersabar, karena sabar itu tidak ada batasnya.
Namun, percayalah bahwa marah itu ada tempatnya.
Begitu juga dengan sabar, yang memang ada tempatnya.
Saat kau tak lagi butuh tempat untuk keduanya,
maka mungkin kau adalah titisan manusia super.

(Sabiru Anggara)

🍁🍁🍁

Hamparan padi yang mulai menguning membuat Biru betah memandanginya. Dia tidak menyangka ternyata di belakang SMAPSA ada sebuah perkampungan yang bersebelahan dengan hamparan sawah serta beberapa pepohonan rindang.

Lelaki itu masih mengikuti langkah kaki Ardan menuju area rumah warga yang menyediakan kamar indekos untuk siswa yang jauh dari rumah mereka. Biru berbalik sebentar dan menatap dinding yang menjadi pagar belakang sekolahnya.

"Mas Dan! Itu tembok belakang sekolah kita?"

"Hm."

"Apa nggak terlalu rendah? Bocah-bocah sekali lompat langsung lolos kalau seperti itu."

"Nanti saya ajak Pak Biru untuk jalan-jalan sambil lihat batas belakang sekolah kita, siapa tahu menemukan hal yang menarik."

Biru tidak menyahuti melainkan mengangguk tanda setuju. Keduanya sampai di rumah yang memiliki halaman cukup luas. Rumah dua lantai itu berbentuk U, sisi kanan bawah dan atas masing-masing memiliki empat pintu.

Sedangkan sisi sebelah kiri bawah lebih terlihat seperti bangunan utama karena hanya lantai dua saja yang memiliki banyak pintu. Pohon berbuah lebih mendominasi di halaman rumah tersebut.

Kedua lelaki itu hanya sebentar dan menemukan kata sepakat soal harga dan kapan akan ditempati. Biru sudah terlalu mantap untuk tinggal di dekat sekolah. Apalagi saat mendengar ucapan sang ibu yang terasa begitu berat untuk melepasnya.

Mereka berjalan dan melompati saluran irigasi kemudian meniti pematang sawah di belakang sekolah yang cukup dilewati motor. Selang beberapa waktu, ternyata bel istirahat sudah berbunyi. Ardan meminta Biru untuk berhenti dan berdiri di belakangnya.

"Heh, jangan hadap sini semua, lihat dulu ada guru lewat apa nggak?" ujar suara dari balik dinding.

"Aman, Ris, aku nggak lihat Pak Ardan berkeliaran. Biasanya pas jam kosong kan si bapak bergerilya cari buruan!"

"Lambemu, Ran! Wes, manjat duluan sana," ujar suara ketiga dari balik dinding.

Ardan yang hafal betul dengan suara anak didiknya tadi sudah menduga paling tidak mereka adalah buronan tetap yang sering kabur saat jam istirahat dan kembali setelah jam istirahat kedua.

Lelaki itu mengeja empat nama yaitu Faris, Randy, Dito, dan Erza, The Fantastic Four dari kelas IPS. Namun, kali ini hanya ada tiga suara saja yang terdengar. Suara berdebam membuat Ardan menunduk dan melihat anak didiknya terduduk dan nyaris terjengkang.

"Sst." Ardan meletakkan jari telunjuk di bibir anak didiknya. "Panggil mereka biar cepat turun!" bisiknya pelan.

"Aman, guys! Cepet turuh, Ris!"

Keduanya lantas menyusul dan langsung tersentak kaget saat melihat ada dua orang bersepatu yang menunggu di sana. Biru mendekat dan memegangi tangan Faris dan Dito sebelum mereka berpikir untuk kabur.

"Apes, cuy! Bapaknya sudah nunggu dan bikin perangkap," ujar Randy sambil tertawa memperlihatkan gigi kelincinya.

"Mau ke mana?"

"Bapak siapa?" Faris mengernyitkan dahinya dan memandang wajah Biru dengan penuh tanya.

"Ini tuh bapak yang tak ceritakan kemarin, yang misahin pas gelut sama anak IPS 2," jelas Dito.

"Nggak usah banyak omong, balik ke sekolah!" titah Ardan penuh penekanan.

Ardan dan Biru kompak menarik ketiga siswa tersebut untuk kembali ke sekolah. Namun, mereka seperti berat untuk menuruti keinginan kedua gurunya itu, sehingga ketiganya masih berupaya untuk melepaskan diri sambil berjalan meniti pematang sawah.

"Laper, mau makan dulu di warung Mbak Rodiyah, sekalian ngompi sama ngerokok bentar, Pak!"

"Ada kantin di dalam."

"Mahal, nggak kenyang, nggak bisa ngerokok, Pak."

"Nyahut aja dibilangin. Setelah ini kamu nggak akan berurusan dengan Pak Ardan, tapi urusan kamu dan pelanggaran lainnya saya yang ngatasi."

"Kenal saja belum, masa udah mau ngurus saya? Bapak siapa?"

"Saya guru konseling," ujar Biru.

Biru dan Ardan terpaksa melepas cekalan di tangan anak didiknya supaya mereka bisa melompati saluran irigasi. Malangnya, ketiga anak didiknya itu ternyata kompak melarikan diri begitu kedua gurunya lengang.

Biru dengan sigap melompat dan hendak mengejarnya, tetapi Ardan berteriak dan melarangnya.

"Setelah istirahat jam saya di kelas IPS 1, mereka nggak akan berani bolos kalau sudah ketahuan. Kita urus nanti."

Keduanya kembali ke sekolah. Meski hanya di gang sebelah, tetapi perjalanan kembali ke ruang guru terasa sangat jauh, sebab pintu gerbang depat ternyata di kunci dan mereka harus jalan memutar untuk sampai di kantor.

"Pak Ardan dari mana? Yuda nyariin dari tadi. Mana anaknya kayak yang emosi banget," ujar Bu Rika begitu Ardan dan Biru memasuki ruang guru.

"Yuda emosi? Bukannya dia pendiam?" timpal guru satunya.

Yuda Bagaskara, ketua kelas IPS 1 tampak memasuki ruang guru dan langsung berdiri di hadapan Ardan.

"Saya berhenti jadi ketua kelas, Pak!"

"Lah, kenapa? Belum ada satu semester kok sudah nyerah?"

"Mereka seenaknya, saya menyampaikan tugas yang diberikan guru piket, bukannya dikerjakan mereka malah tidur. Begitu guru piket datang untuk ngambil buku tugas, mereka bilang saya yang belum bilang tugasnya yang mana."

"Kamu sudah catat di papan?"

"Sudah, hanya beberapa saja yang mengerjakan."

"Ya sudah, nanti Bapak yang bantu kamu di kelas."

Ardan memindai seisi ruangan mencari keberadaan Biru. Lelaki itu merasa Biru mengikutinya sedari tadi, tetapi setelah diamati ternyata guru baru itu sudah tidak ada di belakangnya.

Rupanya yang dicari sedang berdiam diri di kantin sekolah dan menikmati segelas es jeruk untuk mengurangi panas yang dirasakannya. Biru mengamati beberapa siswa yang mencuri pandang ke arahnya.

Sebagian menyapa dan yang lain hanya tersenyum, pandangan Biru tertuju pada sepasang siswa-siswi yang berjalan terburu-buru. Siswi dengan rambut yang terikat seperti ekor kuda berjalan cepat guna mengimbangi langkah lebar siswa di depannya.

Keduanya tidak menyadari bahwa Biru diam-diam membuntuti. Mereka berjalan setengah berlari melewati deretan ruang laboratorium dan berbelok menuju belakang gedung.

Si gadis menangis tersedu dengan tangan yang menutupi wajahnya. Sementara si lelaki berkali-kali meninju lengan hingga kepala si gadis malang tersebut.

"Apa yang kamu lakukan?" ujar Biru panik begitu mendapati adegan kekerasan di depan matanya.

Biru segera menarik si gadis dan membawa ke balik punggungnya.

"Dia pacar saya, apa urusan kamu? Kamu nggak berhak ikut campur." Siswa ber-nametag Rajasa Adiguna itu membentak Biru dengan keras.

"Baru pacar saja sudah merasa berhak menyakiti? Orang tuanya saja menjaga dia seperti berlian, kamu malah merusaknya! Ikut saya ke ruang konseling!"

"Ngapain? Saya nggak salah, dia yang salah nggak mau nurut perkataan saya."

"Buat laporan! Ini termasuk tindak kekerasan dan pelecehan pada perempuan." Biru sudah mulai hilang kesabaran.

Anak bungsu dari keluarga Anggara itu memang tidak bisa melihat perempuan disakiti. Dia akan teringat pada sang ibu yang sudah berjuang dan mendidiknya dengan sepenuh hati.

"Persetan dengan laporan, saya yang punya sekolah ini. Ayah saya pemilik yayasan di sini. Suka-suka saya mau apa dengan semua aset, siswa bahkan guru sekalipun."

Biru yang tidak suka lantas mengayunkan tangannya hingga mendarat di pipi sang Rajasa. "Punya mulut itu harus disekolahin, ngomong seenaknya, laporin gih sama ayahmu, saya yang akan menghadapinya. Jangan panggil saya Pak Biru kalau saya tidak bisa membuat ayahmu itu justru berbalik memarahimu."

Rajasa mendengkus kesal dan membuang ludah yang kemerahan karena bibirnya robek.

"Pak, kalau dia lapor ayahnya, saya bisa dikeluarkan dari sekolah," cicit gadis bernama Arina Asyilla Khumairah dengan mata berkaca-kaca.

"Nggak usah khawatir, Bapak yang akan bantu kamu. Apalagi sekadar ngadepin bocah ingusan yang sembunyi di balik harta keluarganya. Kita ke UKS."

Baru beberapa langkah menjauh dari Rajasa, ponsel Biru berdering. Ibu Negara, begitu nama yang tertera.

"Asalamualaikum,"

"Sudah berani mau ninggalin rumah, Sabiru Anggara? Ibu tunggu kamu pulang, segera!"

Biru menelan salivanya begitu mendengar suara sang ibu menggelegar di telinganya.

🍁🍁🍁

ANFIGHT BATCH 6

#DAY 3

Bondowoso, 03 Januari 2021
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top