Memilih Cinta*5
"Li, ibu mau kepasar besar dulu ya?"
"Kepasar besar?" Ali mengeryitkan alis mendengar ibunya pamit ke pasar besar. Pasar besar itu pasar yang menjual macam-macam baju, alat rumah tangga, alat elektronik selain ikan dan sayur-sayuran atau kebutuhan dapur yang disebut pasar kecil.
"Ibu nggak lama-lama kok, Ali bisa ditinggal sebentarkan?"
"Bisa dong bu, Ali nggak apa-apa kok!" Ali meyakinkan ibunya agar tak perlu khawatir meskipun dua hari ini tubuhnya terasa drop. Bagi Ali cuma panas biasa. Paling karna cuaca yang tak menentu dan kecapean.
"Ibu cuma mau beli keranjang besar saja untuk menampung cucian pelanggan ibu," ujar Ibu lagi. Ali maklum saja ibu ingin membeli keranjang besar karna selama ini ibu tak punya tempat menampung cucian yang bersih dan siap disetrika, kalau sudah disetrikapun ibu cuma menampungnya dikantong plastik hitam besar itupun dari yang punya cucian ketika diambil cucian kotornya.
"Sekalian ibu juga mau lihat-lihat mesin cuci..." ibu melanjutkan ucapannya.
"Ibu mau beli mesin cuci?"
"Enggak, cuma mau lihat saja sekalian mau tahu harganya, mau pegang itu barang ditokonya dan berdoa semoga segera terkumpul uang buat membelinya!"
Ali termenung mendengar jawaban ibunya. Teringat saat kemarin membahas itu. Apakah karna itu ibunya ingin segera mengganti tugas tangannya kemesin cuci? Tidak. Ali tau bukan karna itu. Diam-diam Ali mendengar dari dalam kamar tadi pagi ada pelanggan ibu datang, katanya berhenti menjadi langganan ibu karna sekarang sudah punya mesin cuci. Kemarin itu ada pelanggan lain juga yang berkomentar, kenapa ibu tidak memakai mesin cuci saja supaya pakaian cepat kering dan cepat diantar karna hari itu hujan seharian jadi cucian ibu tidak kering dan ibu terlambat mengantar lalu sang pelanggan mengambil sendiri ketempat ibu karna ada baju seragam yang akan dipakai anaknya. Kalau ibu mencuci dengan menggunakan mesin cucikan ada pengeringnya tinggal kena angin saja sudah kering dan bisa disetrika.
"Sebelum ashar ibu sudah pulang, Li!"
Itulah kalimat terakhir ibu sebelum pergi. Ali gelisah ketika setelah ashar ibunya tak juga kembali. Entah kenapa berbaring ditempat tidur juga rasanya tak enak. Tubuhnya justru terasa semakin lelah karna tak bergerak seperti biasa.
Tok.tok.tok.
Samar Ali mendengar ketukan dipintu. Seketika Ali berharap itu ibunya.
Bunyi ketukan dipintu terdengar lagi. ketika Ali bangun dari berbaringnya dan bangun lalu turun dari tempat tidur menuju pintu kamarnya yang sempit.
"Permisiiiii....!"
Suara pengetuk pintu terdengar samar ketika Ali membuka pintu kamarnya. Bukan ibu. Batin Ali.
Ali menyeret langkahnya menuju pintu depan.
Saat membuka pintu jantung Ali seperti mau copot melihat tamu tak disangka didepannya. Dan gadis yang berdiri didepannya juga sepertinya tak kalah terkejut.
"Nona Arogan?"
Ali mengeluarkan ucapan dengan nada tanya seperti itu karna terkejut ketika membuka pintu melihat Prilly didepannya.
'Angin apa yang membawa dia kemari?'Ali membatin melihat wajah Prilly justru sama terkejut.
"Hero kesiangan? Ini rumah kamu?" Seketika Prilly bertambah berdebar.
Siapanya Ali ibu yang kecelakaan itu? Pantas saja tadi begitu membaca alamat di kartu identitas korban Prilly sepertinya pernah membaca alamat tersebut sebelumnya. Ternyata ia memang pernah membaca alamat di lembaran lamaran dan di fotocopy Ktp Ali yang dilampirkan disurat lamaran pekerjaannya.
Sementara Ali berpikir kalau tujuan nona arogan ini bukan untuk menemuinya, lalu menemui siapa? Ali membatin lagi. Seketika rasa penasaran menggelayuti hatinya. Perasaannya mendadak tak enak melihat wajah Prilly yang tidak lagi sesangar biasanya. Ada ketakutan disitu.
"Nona mencari siapa?"
"Mencariii...keluarga ibu Rivadiah..." ucap Prilly sedikit tergagap.
"Kenapa dengan ibu saya?" Perasaan Ali benar-benar tak enak sekarang. Dan jantung Prilly rasanya benar-benar mau jatuh seketika.
°°°°°
Prilly menatap jalanan didepannya dan memgemudi dalam keadaan hening. Pria disebelahnya tak juga bersuara sejak tadi. Ketika Prilly menceritakan kejadian yang sebenarnya terlihat didepan matanya saat itu Ali hanya terdiam. Hanya kepalanya mendadak lebih sakit seketika karna sudah dua hari ini ia sakit dan tak melanjutkan aktivitas mencari kerjanya...
"Ke...kenapa?" Prilly panik dan refleks memegang tangan Ali yang terhuyung tiba-tiba didepannya. Ketika menyentuh kedua lengan itu Prilly merasa suhu tubuh Ali panas dan menyadari Ali sedang tak enak badan.
Siapapun yang bersalah dalam kecelakaan itu yang pasti ibunya sekarang terbaring dirumah sakit dan Ali ingin segera melihatnya. Pertama mendengar cerita Prilly, jujur saja Ali langsung merasa emosi. Tetapi emosinya teredam dengan sakit kepala yang tiba-tiba datang dan membuat dia harus segera duduk dikursi rotan yang ada diruang tamunya melepaskan tangan Prilly yang refleks menahan tangannya ketika terhuyung. Berkali-kali Ali menarik napas dan mengucapkan istigfar dalam hati.
Sementara Prilly melihatnya dengan tatapan yang bingung. Apa yang harus ia lakukan sekarang?
"Maafkan saya, kamu harus percaya kalau bukan saya yang menabrak ibumu? Ibumu jatuh dari motor dan membentur mobil saya lalu..."
"Dirumah sakit mana?" Ali memotong ucapan Prilly tak sabar ingin segera melihat ibunya.
"Medica Hospital .... "
Medica Hospital? Rumah sakit swasta termahal dikota mereka.
"Kita bisa pergi sekarang?" Prilly bertanya pada Ali yang waktu itu masih diam menenangkan dirinya.
Prilly tak menyangka tanggapan pria didepannya diluar dari perkiraan. Dia tidak marah-marah. Tidak memaki-maki. Tidak ada cacian yang keluar dari bibirnya. Padahal kalau saja Prilly ada diposisi dia pasti cacian sudah keluar dari bibirnya.
Ketika mobilnya tak sengaja ditabrak saat sedang parkir saja sumpah serapah sudah bertaburan dari mulutnya apalagi dia yang sedang menyetir lalu ditabrak orang.
Ali tak punya pilihan lain. Dia harus ikut Prilly. Sebenarnya ada terbersit rasa ingin pergi sendiri saja tak tergantung dengan gadis didepannya itu tetapi Prilly yang tahu dimana keberadaan ibunya.
"Kita sudah sampai!" Prilly membuka suara. Selama dalam perjalanan menuju rumah sakit tak sepatah katapun keluar dari bibir Ali.
Ali syok mendengar ibunya kecelakaan, apalagi mendengar tak juga sadarkan diri.
°°°°°°°
"Bu......"
Ali memandang wajah ibunya tak tega. Luka akibat benturan yang terlihat didahi ibunya yang tertutup perban yang diplester terlihat membengkak. Mata ibunya yang tertutup dengan suara monitor EKG yang terdengar membuat Ali semakin merasa syok.
Ali menggenggam tangan ibunya dan mencium punggung tangan dingin yang tak bergerak itu. Ali tak bisa membayangkan bagaimana tadi ibunya tertabrak dan jatuh membentur mobil? Kasihan ibu.
Dari balik kaca ruang ICU Prilly melihatnya sedih. Ia bisa merasakan syok dan sedihnya Ali karna ia juga pernah merasakan hal yang sama. Bahkan maminya tak selamat. Tak sempat dirawat beberapa jam, Prilly sudah kehilangan mami tercinta. Papi sangat menyesal dengan kejadian itu karna tak bersama dengan mami padahal mami minta temani pergi menemui teman-temannya. Alasan papi beliau akan bosan mendengarkan ibu-ibu arisan. Akhirnya mami pergi sendiri dengan mobilnya. Padahal mami juga baru kali itu minta ditemani papi tapi papi menolak dan akhirnya menyesal.
Prilly membuka tas karna mendengar suara ponselnya berbunyi samar.
Papi calling
"Kau dimana gadis kecil?? Kenapa jam segini belum pulang juga? Tadi Sandra sekretaris kamu bilang, sebelum jam 4 kau sudah keluar!!" Teriakan papi membuat Prilly menjauhkan ponsel yang menempel ditelinganya. Dari jauh saja kedengaran apalagi dari ditempelkan ketelinga. Telinga Prilly terasa berdenging.
"Aku sedang ada urusan penting, pi!"
"Urusan apalagi? Sekarang Joe dan papahnya ada dirumah, kau harus pulang segera!!"
"Mau apalagi sikunyuk itu dirumah sekarang?" Prilly kesal mendengarnya.
"Kunyuk katamu? Dia masih calon menantu idaman papi! Lihatlah, dia sangat sopan dan berwibawa, harusnya kau sayang melepas dia!!"
"Calon menantu idaman kemauan papi, mauku bukan seperti itu calon suamiku!"
"Memangnya seperti apa yang kau mau??"
"Selain sopan dan berwibawa dia juga harus sabar, bisa menjaga diriku juga perasaanku, dan sopannya bukan hanya karna ada maunya!!"
"Maumu saja tapi tidak ada seperti yang kau mau selain Joe!!"
Selain telinga Prilly yang panas, hati Prilly juga panas mendengar papinya terlalu mengagungkan Joe.
"Tentu saja ada, papi, aku sudah punya calon suami yang kurasa lebih pantas bersanding denganku!" Prilly membalas papinya asal.
"Bawa dia kehadapan papi, kalau dia berani hadapi papi!!"
"Dia sedang diluar kota papi!!"
"Bawa dia kesini setelah pulang dari luar kota, titik!!"
"Pap...."
Klik. Sambungan telpon terputus. Prilly menggigit bibirnya prustrasi. Sembarangan ngomong. Mengaku-ngaku punya calon suami idaman.
"Haduhhhh....." Prilly jadi stress dan memukul-mukul kepalanya lalu berbalik dan tubuhnya hampir saja menabrak Ali yang baru saja keluar dari ruang ICU.
"Nggak bisakah nona sedikit hilangkan kebiasaan bersuara keras disini? Ini rumah sakit, nona..."
Prilly terdiam merasa bersalah tapi tak bisa mengucapkan kata maaf.
"Keluarga pasien?"
Seorang pria mendekat dengan membawa berkas ditangannya.
"Iya saya, pak?" Sahut Ali cepat.
"Bagaimana hasil CT. Scan dan rekam otaknya dokter Abi?" Prilly ikut bicara. Tadi dia yang memberikan persetujuan untuk memeriksa secara lengkap pada dokter didepannya itu sebelum menjemput Ali.
"Sudah dilakukan pemeriksaan lengkap termasuk CT Scan kepala, hasilnya menunjukkan adanya perdarahan otak yang minimal namun pembengkakan otak yang hebat di sisi kanan, saya sarankan agar dioperasi segera untuk pengangkatan darah dan memberikan ruang bagi otak yang bengkak," ucap dokter Abi.
Prilly menoleh pada Ali. Ali terlihat memandangi berkas yang Prilly sangat yakini sebenarnya ia bukan memahami data hasil pemeriksaan tetapi memikirkan berapa besar biaya yang akan ia keluarkan jika ibunya harus dioperasi. Ini rumah sakit termahal. Sementara pekerjaan saja dia tidak ada. Apalagi uang banyak.
"Lakukan saja operasinya dokter!" Prilly memutuskan tanpa bertanya pada Ali. Ali menoleh padanya. Tak bisa berkata apapun selain terpaksa setuju.
"Saya yang akan tanggung jawab, jadi kamu jangan khawatir!" Ucap Prilly sepeninggal dokter Abi menhawab tanya Ali yang sebenarnya tak bisa keluar dari mulutnya tetapi hanya terlihat dari wajahnya yang tak bisa menyembunyikan kegelisahan.
"Kenapa nona yang harus bertanggung jawab, bukankah nona tidak bersalah dalam hal ini?" tanya Ali merasa tak nyaman kalau harus berhutang budi pada nona arogan didepannya. Dan sesungguhnya Ali tak menyangka, gadis yang disebutnya nona arogan ini ternyata tidak seburuk pikirannya.
"Ibumu membentur mobil saya, jadi sedikit banyaknya ada kesalahan saya disitu!" Sahut Prilly.
"Nanti saya akan bayar kalau saya punya pekerjaan, nona!" Ucap Ali meskipun ia tak tau kapan dia punya pekerjaan dan sampai kapan ia harus mencicil.
Prilly jadi teringat bahwa ia telah menyebabkan Ali dipecat dan sampai sekarang belum mendapat pekerjaan.
Ponsel Prilly terdengar berbunyi meskipun samar. Prilly membuka tas dan meraih ponsel.
Joe Kunyuk Calling
"Ck," Prilly berdecak dan menolak panggilan Joe."ganggu terus kerjaannya!"
Kau harus punya gandengan sepupu mungil.....
Ucapan Edward tiba-tiba terlintas dikepalanya dan tak sengaja Prilly bertemu pandang dengan Ali setelah ia memasukkan kembali ponsel kedalam tas dan mengangkat wajahnya. Seketika sebuah ide terlintas dikepala Prilly.
"Lamaran kamu ada pada saya, saya punya pekerjaan untukmu!"
"Memamgnya kantor nona punya tempat buat saya? Saya cuma melampirkan fotocopy ijazah SMA, nona!"
"Kamu bisa menyetir?!"
"Apa pekerjaan saya sebagai sopir pribadi?" Ali tak menjawab pertanyaan Prilly tentang apakah dia bisa menyetir atau tidak tetapi langsung saja balik bertanya dengan menebak pekerjaan apa yang akan diberikan padanya. Apalagi sudah dua kali dia bertemu Prilly membawa mobilnya sendiri tanpa sopir.
"Sebagai calon suami!"
"Calon Suami?" Ali melebarkan matanya."saya melamar pekerjaan nona, bukan melamar nona!"
"Ini cuma pura-pura, pekerjaan kamu adalah berakting, berakting menjadi calon suami saya...."
"Memangnya nggak ada yang mau sama nona? Kenapa harus mencari yang pura-pura?" Pertanyaan Ali sebenarnya spontan. Ia tak berpikir kalau itu menyinggung perasaan Prilly. Prillypun mengesampingkan rasa egoisnya karna ia sedang butuh Ali sekarang.
"Saya tidak punya waktu untuk berdebat, saya juga tak punya waktu memintamu berpikir lebih lama, kalau kamu menerima tawaran saya, kamu tak punya hutang apa-apa dan ibumu mendapatkan perawatan terbaik!"
Prilly menatap Ali meyakinkan kalau kerjasama yang ia tawarkan menguntungkan bagi mereka berdua. Percuma saja ia menjadi pebisnis yang pintar dalam bernegosiasi selama ini kalau tidak bisa mendesak dan meyakinkan Ali sekarang.
"Bagaimana, deal?"
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
Banjarmasin, 02 November 2016
Halooooo, akhirnya selesai juga part ini.....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top