Memilih Cinta*15
Ternyata susah untuk bersandiwara jika sudah melibatkan perasaan didalamnya. Inginnya diluar kamar tetap kelihatan mesra. Didalam kamar baru aksi saling berjauhan. Tetapi sepertinya Ali dan Prilly terbawa perasaan sampai keluar kamar.
Begitu Prilly keluar dari kamar mandi Ali sudah tidak ada didalam kamar. Tiba-tiba Prilly takut Ali meninggalkan rumah. Baru juga sehari menikah masa sudah berpisah? Prilly pikir pasti Ali tersinggung. Sudah tadi Prilly nggak sengaja terinjak, harusnya dia minta maaf malah tersinggung hanya gara-gara Ali tidur dibawah. Prilly baru saja dapat berpikir tenang ketika didalam kamar mandi. Seharusnya ia merasa bersalah kenapa malah membuat Ali seolah bersalah? Prilly terduduk ditepi tempat tidur menatap karpet disamping tempat tidurnya.
"Pasti sakit tidur dibawah, terinjak pula, kasian dia, jahat banget sih gue."
Prilly keluar dari kamar dan menengok kebawah. Nggak ada siapa-siapa. Prilly menuruni tangga dan melangkah menuju dapur.
"Bik, lihat Ali nggak?" tanya Prilly begitu menemukan Bik Sar didapur.
"Dikamar tamu non, tadi mandi disitu...." sahut Bik Sar menoleh pada Prilly dan menjawab tanyanya.
"Lho?" Prilly terlihat mengerutkan alis dan Bik Sar juga ikut-ikutan mengerutkan alis bingung kenapa Prilly tak tahu?
"Sholat non kayaknya, tadi nanyain arah kiblat..."
"Ohh..."
"Non masih dikamar mandi katanya waktu bibik nanya, takut subuhnya kelewat sementara den Ali-nya belum mandi..."
"Ohh..." Prilly mengangguk-angguk.
"Emang dia nggak bilang non?"
"Emhh anu, tadi dia teriak sih dari depan kamar mandi pamit keluar tapi aku nggak denger mau kemananya..." ucap Prilly sedikit berbohong. Mana mungkin ia bercerita pada Bik Sar persolan didalam kamarnya.
"Ohh," gantian Bik Sar yang mengucapkan oh tapi dengan wajah tak percaya. Kenapa nggak ikut mandi saja berduaan dalam kamar mandi? pikir bik Sar. Bik Sar kepoan juga ternyata.
"Ya udah bi, aku panggil dia dulu, tolong siapin sarapan..." ucap Prilly lagi sambil berlalu meninggalkan Bik Sar yang masih didepan kompor.
"Iya, udah siap, non!" sahut Bik Sar menoleh kearah Prilly lagi dan hanya melihat punggungnya yang berlalu.
Prilly melangkah menuju kamar tamu yang ada disamping ruang keluarga. Mengetuk pintu tetapi tak ada tanda-tanda ada yang membukakan. Prilly menekan handle pintu yang ternyata tak dikunci.
Ali terlihat tidur telentang dengan sarung dan baju koko masih melekat dibadannya. Sebelah lengan menutup sebagian wajah sebelahnya lagi menutup perutnya. Pasti tadi malam tak bisa tidur padahal tentunya capek sekali seharian banyak berdiri sama seperti dirinya.
Prilly duduk ditepi tempat tidur dan mengangkat tangan ingin menyentuh lengan Ali yang berada diperutnya. Maksudnya ingin membangunkan karna akan mengajaknya sarapan.
"Jangan pernah sentuh aku ya, perjanjian kita sekarang berlaku untuk diluar kamar, sementara didalam kamar kamu nggak perlu baik sama aku, selamanya!!"
Prilly mengurungkan niatnya menyentuh Ali teringat ucapannya sendiri yang sangat keras didepan Ali. Kebiasaannya yang suka meledak-ledak tanpa kendali membuat ia menyesal sendiri pada akhirnya. Ucapannya benar-benar belum sepenuhnya terkontrol.
Tangan Prilly yang melayang diudara tak jadi menyentuh lengan suaminya beralih menutup wajahnya sendiri dengan siku menyangga dipahanya.
'Kapan aku bisa jadi orang yang penyabar seperti yang aku janjikan, dia udah ngajarin dengan contoh sama aku, akunya aja yang bandel nggak pernah bisa sabar, lama-lama dia yang nggak sabar ngadepin sikap aku yang kayak gini melulu!'
Seketika bayangan kejadian direstoran yang membuat Ali tak bisa mengontrol kesabaran karna ulahnya yang tak bisa mengendalikan emosi membuat Prilly takut. Jauh dilubuk hati yang paling dalam Prilly takut ditinggalkan.
Prilly tersentak ketika merasa tubuh Ali bergerak. Ali terjaga dan mengangkat lengan dari wajahnya ketika mendengar desahan tertahan Prilly karna menahan sesak didadanya lalu beranjak duduk dengan segera. Ali takut Prilly akan tersinggung lagi karna melihat dia tertidur dikamar tamu setelah menyelesaikan sholat subuhnya. Sebenarnya setelah sholat subuh sebaiknya tidak tidur kembali tapi Ali merasa tubuhnya sangat lelah. Seharian menjadi raja sehari dan semalaman tidur dilantai dan terinjak pula membuat badannya terasa pegal.
"Maaf ya jangan tersinggung lagi melihat aku tidur disini, tadi aku..."
"Enggak, aku yang terlalu perasa, belum apa-apa udah bentak kamu tadi, maaf," Prilly memotong ucapan Ali cepat sebelum Ali menyelesaikan kalimat yang sudah bisa diduga apa kelanjutannya.
"Aku yang salah kok, harusnya cukup geser kamu aja aku udah bisa tidur disamping kamu tapi aku malah milih tidur dibawah sampai terinjak, aku penyebab semua kekacauan ini, aku minta maaf..."
Prilly menggelengkan kepala mendengar ucapan Ali. Dalam keadaan seperti itu justru dia mau mengalah dan mengakui seakan-akan semua salah dia. Padahal disini Prilly merasa dia yang tak bisa mengendalikan emosi karna berprasangka buruk pada Ali.
Ali menurunkan kakinya kelantai dan sekarang mereka duduk berdampingan ditepi tempat tidur. Diakui Ali ia yang ikut andil membuat Prilly lepas kontrol. Cuma karna dia merasa tak dianggap gara-gara Prilly tak memberi tempat ia memutuskan tidur dibawah. Padahal Prilly tak sengaja karna dia tentu sama lelah dengan dirinya hingga langsung tertidur tanpa bicara apapun pada Ali dan karna Prilly tidurnya ditengah-tengah jadinya seakan tak memberi tempat.
Mereka terdiam dengan pikiran masing-masing yang sama merasa bersalah. Cukup lama sampai Ali bergerak membuka baju koko dan mengganti dengan kaos yang sempat dipakainya sebelum berganti dengan baju yang dikenakannya untuk sholat subuh itu.
Kriuk...
Bunyi perut Ali menyadarkan Prilly apa tujuannya mencari Ali.
"Bik Sar sudah menyiapkan sarapan," ujar Prilly ketika Ali memegang perutnya.
Prilly berdiri dan sebelum Ali melangkah ia menyentuh lengan pria yang sekarang sudah resmi menjadi suaminya itu.
"Tadi waktu keinjak sakitnya dimana?" Prilly menatap Ali dengan wajah merasa bersalah. Ali menggeleng tetapi tangannya refleks menyentuh perutnya lagi. Entah karna lapar atau karna sakitnya didaerah situ.
"Disini?" Prilly menyentuh punggung tangan Ali diatas perutnya itu dengan telapak tangannya.
"Nggak papa..." Ali menggeser telapak tangannya merubah letak tangannya berada diatas punggung tangan Prilly yang kini menempel diperutnya yang tertutup kaos lalu menepuknya seakan meyakinkan ia tidak apa-apa dan sudah memaafkan.
"Bener?" Prilly menatap tak yakin.
"Iya..." Ali mengangguk sambil tersenyum menepuk punggung tangan Prilly lagi. Dada Ali seketika mendadak hangat karna perhatian Prilly dan kesadarannya mengakui kesalahannya sendiri.
Sebelum memutuskan keluar dari kamar dan memutuskan mencari kamar lain untuk mandi dan sholat subuh Ali berpikir keras kalau yang baru saja terjadi cuma kesalahpahaman saja.
"Maaf ya..."
Senyum Ali tentu sangat menenangkan bagi Prilly. Prilly menarik tangannya dari perut Ali dan begitu tangan Ali sudah berada disamping tubuhnya, Prilly menyusupkan tangannya disela lengan Ali dan melingkarkan kedua tangannya kepinggang suaminya itu lalu menempelkan sebelah pipinya kedada Ali.
Jantung Ali hampir jatuh dan mendadak berdenyut cepat sebelum membalas pelukan Prilly. Pelukan penyesalan karna sudah mengeluarkan emosi yang tak terkendali.
"Aku janji akan bisa mengontrol emosi aku didalam ataupun diluar kamar!" ucap Prilly sungguh-sungguh.
"Aamiin, semoga bisa ngendaliin, aku bantu doa ya..." Ali menunduk hingga hidungnya tersentuh puncak kepala Prilly.
"Ajarin." Prilly menengadah menatap Ali.
"Tergantung kamu, diajarin gimana juga kalau kamu nggak mau berusaha..."
"Iya, aku akan berusaha."
"Janji?"
"Janji!"
Kriukk...
Kali ini cacing diperut Prilly yang berbunyi tak bisa diajak kompromi. Padahal rasanya mereka ingin berada dalam suasana seperti itu lebih lama.
"Sarapan sekarang?" Ali berbisik sambil mengusap punggung Prilly dan mengurai pelukan hangat mereka dengan perasaan terpaksa lalu menatap Prilly yang masih menengadah balas menatapnya.
"Iya, sekalian kamu minum obat jantung!" sahut tersenyum sambil menyentuh dada Ali lagi.
"Kenapa?" tanya Ali keheranan.
"Habis detakan jantung kamu sepertinya nggak normal!" Prilly menepuk-nepuk dada Ali.
Ali tertawa dan baru kali ini hangat menjerat wajahnya. Aih ketahuan deg-degkannya padahal yang menggoda lebih-lebih lagi. Jantungnya sepertinya perlu alat pacu jantung karna terasa hampir berhenti dengan aksinya mendadak memeluk.
"Mau sarapan sekarang tidak?" Ali mengalihkan godaan Prilly dengan mengingatkan kalau mereka harus sarapan sekarang untuk mengatasi perut yang sudah sama berbunyi sedari tadi.
"Iya sarapan sekarang, mau kapan lagi, lapar tauu.."
"Juga, kan perut aku duluan yang bunyi...!"
Akhirnya mereka sama-sama melangkah keluar dari kamar itu dengan perasaan lega karna sudah saling memaafkan dengan kejadian yang seharusnya tak terjadi jika ada saling pengertian diantara mereka.
Ali menoleh dan mengulurkan tangan pada Prilly yang melangkah disampingnya lalu Prilly menyambut dan menggenggam jari Ali. Mereka mengayun genggaman itu sampai mereka tiba dimeja makan.
"Alhamdulilah, sepertinya mereka baik-baik saja!" Bisik Bik Sur sambil mengelus dadanya sendiri.
°°°°°°°
"Ibu, Ali bawa menantu pada ibu, dia sekarang sudah resmi menjadi istri Ali, Ali berharap ibu mendengar Ali mohon doa restunya, doakan yang terbaik bagi kami, ibu!"
Ali bersuara dengan lirih seperti biasa menggenggam tangan ibunya. Ada kesedihan tersendiri bagi Ali karna setelah ibunya tak sadarkan diri sudah hampir dua bulan begitu banyak kejadian yang tak terduga terjadi dengan dirinya tanpa bisa mengkomunikasikannya dengan ibu tercinta.
"Ibu, semoga ibu cepat sadar supaya bisa merasakan kebahagiaan kami berdua..." Ucap Prilly menambahkan dan menumpuk tangannya diatas tangan Ali yang menggenggam tangan ibunya.
Kebahagiaan? Benarkah? Kalau harus disuruh memilih, kebahagiaan bukan karna adanya perjanjian ini yang hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kebutuhan ibu dan kebutuhan Prilly juga kebutuhan Ali akan pekerjaan.
'Ali bahagia karna dia bu, tetapi Ali hanya alat untuk menyelesaikan persoalannya, Ali menolongnya bukan lagi cuma karna kebutuhan kita tetapi karna Ali menyayanginya, tak ingin melihat dia hidup menderita didekat Ali.' Ali membatin dalam hati, mencoba jujur pada hatinya meskipun belum tentu Prilly merasakan hal yang sama.
"Kita pulang sekarang?" tanya Ali pada Prilly yang masih memandang wajah ibu, entah apa yang ada dalam pikirannya Ali tak tahu.
'Anak ibu membuat aku banyak belajar, aku berharap ibu bisa sadar karna aku ingin mengenal ibu lebih dekat agar tau bagaimana cara ibu menaklukkan hatinya yang sedemikian sayang pada ibu...'
Ya, itulah yang ada dalam batin Prilly sekarang ketika memandang wajah ibu. Ada yang mengatakan bahwa jika ingin menaklukkan hati anaknya, dekatilah ibunya, meskipun sebenarnya tanpa Prilly sadari, Ali sudah jatuh dalam pesonanya tanpa ia harus berubah menjadi pribadi yang lain.
°°°°°°°
"Agenda kita apa hari ini sebelum besok masuk kerja?" Prilly bertanya pada Ali begitu mereka berdua sedang sarapan pagi itu.
Sudah seminggu mereka menikah, perjanjian tetap berjalan dan tidurpun sudah berdampingan tapi terhalang sebuah guling tak membuat mereka merasa menjadi jauh. Ali tetap merasa bahagia saat sebelum tidur dan bangun dipagi hari ia bisa memandang istrinya yang cantik. Meski sesekali Prilly terlebih dahulu bangun, ia pasti membangunkan Ali untuk sholat subuh bersama-sama. Ali senang, Prilly mulai tak meninggalkan sholatnya.
"Kemana ya?"
"Kerumah sakit nengok ibu udah, kerumah keluarga udah, main ditaman udah, ngunjungin anak yatim udah, yang belum kita kunjungin restoran yang mempertemukan kita dulu..."
"Kamu mau kesana?"
"Mau."
Berdasarkan obrolan itu mereka sekarang sedang menuju sebuah restoran bersejarah. Meskipun tadinya Ali sedikit menolak dan merasa tak perlu kesana tapi dia luluh juga dengan rayuan Prilly.
"Selamat datang...."
"Terima Kasih."
"Tempatnya mau diboking seperti biasanya?"
"Nggak perlu, istri saya justru kesini ingin menikmati saat disini ramai dengan pengunjung yang lain!"
"Istri?"
Ali tersenyum pada seorang pelayan yang melayani mereka direstoran tempat Ali pernah bekerja dan dipecat karna Prilly. Pelayan itu melebarkan mata ketika Ali mengatakan istri. Sepertinya kaget. Tentu.
"Ya, tolong catat pesanannya ya!" ucap Ali pada pelayan itu yang tak lain adalah Lidya. Yang menyebabkan Ali membela dan membuat ia dipecat.
"Mau makan apa?" tanya Ali pada Prilly sambil menunjukkan menunya.
"Pilihin..." pinta Prilly dengan nada manja. Lidya menarik napasnya. Keajaiban terjadi didepan matanya. Ali tampil mempesona bahkan menggandeng seorang gadis kaya yang pernah membuat dia dipecat.
"Jadi terserah aku?" ulang Ali dengan pertanyaan.
"Iya," sahut Prilly dengan nada menggemaskan sambil menatap dengan wajah meminta.
"Bener nggak komplin?"
"Iya, enggak, pilihin pokoknya..."
"Ya udah, pesannya soto banjar dua mbak, satunya jangan pakai bawang, nggak usah dipisah kasih hati ya tambahin lebih banyak suwiran telur sama ayamnya," kata Ali pada Lidya dan menoleh lagi pada Prilly."kamu mau minum apa?"
"Pilihin lagi..."
"Manja ya kamu."
"Biarin."
"Mbak minta dua jus mangga, sama satu air mineral, itu aja ya, terima kasih!"
"Mbak?" Ali menatap Lidya karna ia tak juga menyahut dan beranjak malah menatap tanpa kedip pada Ali.
"Eh iya, pesanannya saya ulang ya, dua soto banjar dengan hati tanpa bawang, dua jus mangga dan satu air mineral!"
"Kurang lengkap Mbak, makanya jangan ngeliatin muka dia aja jadinya nggak konsen..."
Prilly mulai berkomentar sinis pada Lidya karna sedari tadi dia melihat pandangan yang tak biasa gadis itu pada Ali. Prilly ingat, gadis ini yang dibela Ali saat itu, sepertinya dia ada hati.
'Habisnya natapnya nggak berkedip begitu.' Prilly menggerutu dalam hati.
Ali menoleh pada Prilly dengan wajah mengingatkan. 'Kontrol emosi kamu' kira-kira seperti itu peringatannya. Prilly membuang mukanya. Alamat badmood lagi nih bini. Pikir Ali. Lagian juga rajin banget mau nostalgia ketempat ini. Ali sih sebenarnya hanya susah menolak. Kalau harus datang ketempat dia pernah bekerja ia tak ingin ada persepsi apapun dari teman-temannya disana. Apalagi tak satupun diundang pada saat resepsi pernikahan mereka. Tapi Prilly berjanji takkan cari masalah ditempat itu.
Begitu Ali berdiri pamit ketoilet sekaligus ingin mencuci tangannya diwasthafel, Prilly sempat melihat pelayan itu mengikuti Ali masuk ke lorong menuju toilet. Mau apa dia?
Cukup lama Ali meninggalkannya. Prilly jadi curiga Ali dengan sengaja meninggalkannya untuk bertemu dengan gadis itu. Apa dulu Ali pernah ada hubungan dengan gadis itu?
Prilly hampir saja berdiri ingin menyusul ke toilet ketika Ali sudah terlihat berjalan kearah tempat duduknya dan ia mengurungkan niatnya. Mati-matian Prilly mencoba mengendalikan dirinya yang hampir saja mau meledak apalagi ternyata pelayan itu lagi yang mengantarkan makanan. Rasanya Prilly ingin mencolok matanya.
"Kenapa sih jadi cemberut begitu? Kapan kamu bisa tersenyum, nerima apa adanya yang disuguhkan buat kamu?" Ali mengira wajah Prilly yang ditekuk karna pesanan yang datang tidak sesuai lagi dengan yang diharapkan Prilly. Padahal bukan itu. Prilly sedang tak suka melihat tatapan pelayan itu pada Ali apalagi Ali tadi pasti sempat disambangi olehnya. Apa yang mereka bicarakan? Seketika api cemburu yang tak disadari itu rasanya menyesakkan dada Prilly.
"Iya, memang aku selalu salah-salah melulu didepan kamu nggak ada yang bener!" Prilly bersuara dengan nada bergetar.
Ali menghela napasnya. Kapan bisa berdamai dengan nona arogan ini? Nggak ada baiknya bertengkar didepan rezeki. Harusnya didepan rezeki tuh berdoa agar makanan yang mereka makan menjadi berkah kesehatan dan bersyukur atas nikmat yang Tuhan beri.
°°°°°°°
Didalam mobil menuju pulang kerumah mereka hanya saling diam. Prilly tak bisa mengungkapkan apa yang membuat dia tak bisa tersenyum lagi sejak pulang dari restoran tadi. Masa dia harus bilang nggak suka pada pelayang bernama Lidya itu. Apalagi Ali selaluuu mengumbar senyum manisnya itu padanya. Aihhh, rasanya mau mencakar wajah gadis itu. Prilly menggenggam tangannya kesal.
Ponsel terdengar berbunyi dari dalam tasnya membuat Prilly merogoh tas dan meraih handphonenya.
Joe kunyuk calling
"Ngapain lagi juga dia nelpon? Heran nggak pernah aman hidup gue rasanya!" Prilly bergumam sendiri.
"Ya Joe?"
Ceritanya seharusnya Prilly enggan mengangkat telpon Joe, tetapi karna suasana dia dan Alipun lagi kurang asik makanya Prilly mencoba mengangkat supaya jangan hening seperti tadi.
"Mau ketemu? Kenapa memangnya? Dimana? Siapa aja? Oh ok...."
Prilly menutup telponnya dan mengetuk-ngetuk dagu dengan ponselnya itu. Kelihatannya Prilly sedang bingung. Ali menolehnya. Tiba-tiba tak suka mendengar Joe menelpon Prilly.
'Kenapa lagi? Sepertinya mengajak bertemu pula?' Ali menghela napasnya.
'Dia lagi dia terus. Duri dalam daging banget tu orang kapan sadarnya Prilly udah punya gue sekarang jangan dipikirin lagi cara merebutnya kembali!'Ali membatin geram.
Terlebih lagi Prilly tak bercerita apa-apa setelah Joe menelpon. Begitukah suami istri yang baik. Melakukan apa yang dimau dan apa yang disuka tanpa menjaga perasaan suami? Ali mengepalkan tangannya dan mencengram stir bulat didepannya dengan dada yang sesak.
Mobil memasuki halaman rumah yang membawa keterdiaman mereka. Ali tak bertanya untuk apa Joe menelpon karna Prilly tak juga bercerita. Prilly pun tak bercerita karna menganggap Ali tak peduli.
'Sepertinya gue harus nenangin diri gue dengan pesta...' pikir Prilly.
Prilly berjalan lebih dulu menuju kedalam rumah meninggalkan Ali. Ia langsung saja menuju kekamar dengan ponsel ditelinga.
"Joe, aku ikut, bilang sama yang lain ya," Prilly mendorong pintu kamar dan memasukinya lalu duduk ditepi tempat tidur dan melepas sepatu dengan tali terbuka lalu menghempaskan punggungnya ke ranjang.
"Enggak, aku sendirian aja, nggak usah jemput aku, aku bisa pergi sendiri, kayak nggak punya sopir aja, bye Joe, see you!" Prilly memutus sambungan telpon dan melempar handphone kesisi badannya.
"Jadi kamu anggap aku sopir pribadi?" Ali muncul didepan pintu lalu langsung menodong Prilly dengan pertanyaan sinis.
"Siapa yang nganggap kamu begitu?" Prilly menoleh Ali dengan posisi masih berbaring ditempat tidurnya untuk meluruskan punggung.
"Lalu?"
"Aku sama pak Arsyad bukan sama kamu!" Prilly akhirnya bangkit sambil menyebut nama sopir pribadinya dan duduk ditepi tempat tidur.
"Jadi Aku kamu jadikan pajangan dirumah, sebenarnya kamu masih mencintai Joe tapi kamu peralat aku supaya jadi tamengmu saja, cuma cari status begitu maksudnya?"
Ali terlihat emosi. Kali ini dia nggak bisa mengontrolnya. Prilly sudah keterlaluan. Ingin pergi bertemu dengan pria lain tanpa bicara apa-apa padanya.
"Kamu ngomong apa sih?"
"Meskipun pernikahan ini perjanjian aku ini tetap suamimu dimata hukum dan agama, jangan mentang-mentang kamu kaya dan memiliki segalanya kamu merasa derajat istri lebih tinggi!!"
"Buu...bukan begitu maksudku...." Prilly terperangah takut melihat kemarahan Ali. Apa yang membuatnya marah? Bukannya sedari tadi dia tak peduli?
"Kalau bukan begitu maksudmu kamu tak akan mutusin sesuatu tanpa ijin dari aku, apalagi kamu bertemu dengan pria lain, dan itu mantan, heii, kamu pikir aku tak punya perasaan hah??"
Prilly terperangah mendengar serangan Ali. Seketika bayangan Ali menghapus airmata pelayan itu disamping toilet saat Prilly ingin menyusulnya mencuci tangan setelah makan langsung berkelebat dan membuat darahnya naik keubun-ubun.
"Kamu bicara seakan-akan aku nggak bisa jaga perasaan kamu, lalu selama ini kamu apa bisa jaga perasaan aku??"
"Kapan aku nggak bisa jaga perasaan kamu?"
"Siapa Lidya itu sebenarnya sampai kamu harus bicara serius disamping toilet dan menghapus airmatanya, kamu pikir aku buta? Kamu pikir aku nggak punya perasaan hah, kamu pikir aku ini cuma boneka??"
"Diaa...."
"Jangan cari-cari alasan karna Joe, selama ini kamu juga nggak mau peduli aku diapakan sama Joe, aku sudah tau kamu nggak nganggap aku, kamu cuma nganggap pernikahan kita ini semu kan, iyakan, Li?!"
Ali menggeleng tanda tak membenarkan ucapan Prilly. Sepertinya ada kesalahpahaman selama ini hingga mereka menganggap masing-masing tak peduli.
"Kalau kamu mencintai yang lain dan merasa pernikahan kita ini mengganggu sudah tinggalkan saja aku!!"
Prilly menghempaskan tubuhnya ditepi tempat tidur dan menutup wajah dengan kedua tangannya. Rasanya sesak yang sejak tadi menumpuk didadanya bukannya tambah menguap tapi ternyata tambah sesak karna harus mengucapkan perpisahan. Airmata yang tadi ditahannya kini tak terbendung membantu mengurai kesesakan yang sungguh menggumpal didadanya.
"Siapa bilang aku mencintai yang lain?"
"Aku, aku yang bilang!!"
"Berarti kamu salah, saat ini aku tidak mencintai yang lain tapiii...tapiii...akuuu...mencintai...mu!"
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
Banjarmasin, 12 November 2016
Republish, 20 April 2020
Tanpa edit dan tanpa revisi.
5hari sampai hari Jumat, 24 April 2020. Untuk menemani selama #dirumahaja akibat pandemi covid19
Bismillah, semoga cerita ini tetap nyampe ke hati....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top