Memilih Cinta*12
"Ck. Daripada ada kasus mesum berikutnya dikantor ini lebih baik kalian berdua segera saja cari penghulu, anak muda!!"
Pak Subrata melewati Lift dari lorong jalan sepertinya habis dari toilet setelah berkata yang membuat Ali melepaskan lingkaran tangannya dileher Prilly dan Prilly membuat jarak meskipun sedikit dari badan Ali.
Prilly keluar dari Lift terlebih dahulu dengan wajah memerah menuju ruangannya. Melewati Sandra Prilly hanya berdehem melihat Sandra sedari tadi memperhatikan dari jauh. Pasti ia mendengar celoteh papi yang menggelegar dan masuk keruangannya.
Tiba didalam ruangannya Prilly takut-takut melihat papi sudah duduk bersender dikursi meja kerja Prilly. Terdengar ketukan jari dimeja.
'Aduh, gimana ini, kenapa gue gugup gini sih ah?' Bisik hati Prilly sambil mencoba berdamai dengan detak jantung yang seirama dengan ketukan papinya dimeja.
'Ini pacar tenang banget nggak ada tegangnya sama sekali, mau disidang lagi nih kita, pacar!' batin Prilly masih mencerocos berprasangka. Salah, kalau dia mengira Ali tenang sekarang. Diluarnya saja nampak tenang padahal didalamnya pukulan drummer saat memggebuk drum-nya kalah keras dengan pukulan jantungnya saat ini.
'Ya Allah, mending gue deh yang ngegebuk drum daripada gue yang kaya digebukin gini!' Batin Ali mencoba menatap Pak Subrata yang masih belum menatapnya.
Pak Subrata berdehem sebelum mengangkat wajah menatap kedua orang yang sekarang berdiri didepannya.
"Kenapa berdiri saja, duduk!"
Prilly menarik kursi didepannya dan duduk terlebih dahulu diringi Ali. Tadi tu takut mau duduk tanpa disuruh nanti dimarahi. Kalau Prilly merasa masih bisa menjawab ucapan papinya tapi dia mengkhawatirkan Ali.
"Sudah didiskusikan tanggal berapa jadinya?" tanya Pak Subrata membuat Ali dan Prilly bingung.
"Tanggal apa, pi?" Prilly balik bertanya membuat Pak Subrata berdecak.
"Ck. Ya tanggal pergi ke KUA!!"
Prilly melebarkan mata. Tanggal ke KUA? Prilly meremas ujung rok-nya. Sementara ia melihat ujung ujung jari Ali mengetuk pahanya sendiri.
Pak Subrata berdehem melihat keduanya terdiam.
"Emhhh, anu pii..." Prilly tak jadi melanjutkan kalimatnya karna Ali juga bersuara bersamaan dengan dirinya.
"Kita mau mencari bulan baik dan tanggal baik, Pak!" Sahut Ali cepat. Prilly mengangguk-angguk mengiyakan.
"Kelamaan mikir!! Kantor ini perlu kau, anak muda, tapi saya tidak ijinkan kalau tanpa ikatan yang sah, contoh yang tidak baik kalau didepan umum seperti tak terpisahkan padahal tanpa status!!"
Prilly menggigit bibirnya. Aduh, papi diem-diem update juga ternyata, itukan akting, pi, pura-pura!
"Saya ini terserah dia saja Pak, kapan siap saya lamar!!"
Prilly melotot menoleh kearah Ali. Bukannya tadi belum deal ya? Apakah itu artinya Ali setuju? Atau karna ia hanya terdesak? Tak nyaman papi menyebutkan mereka lengket padahal belum sah atau tanpa status.
"Saya menghargai pilihan anak saya padamu, anak muda, tapi jika ada yang mendahuluimu melamar anak saya, saya terpaksa menerimanya karna saya benar-benar butuh orang yang menjaga anak saya dalam waktu dekat karna saya akan segera pergi untuk waktu yang cukup lama...."
Menerima jika ada yang mendahului melamar? Ali merasa ngilu seketika mendengarnya.
"Memangnya papi mau kemana?"
"Mau pergi jauh....."
"Papi jangan ngomong begitu ihhh!"
Prilly bergirik ngeri. Ada-ada aja papi, ngomong sembarangan.
Drrrrttt...drrrtttt...drrrrtttt...
Suara handphone yang ada diatas meja beserta getarannya yang menggerakkan ponsel tersebut membuat mata mereka bertiga menatap kearah yang sama.
Pak Subrata meraih ponsel, membaca layar dan menyentuhnya.
"Ya Joe, kenapa?"
'Joe?'
Ali dan Prilly berpandangan.
"Jam berapa? Selesai Magrib? Setelah Isya saja!"
"Tunggu sebentar!" Pak Subrata menjauhkan ponselnya. "Malam ini nggak kemana-mana kan gadis kecil?"
Deg. Dada Prilly langsung berdegup tak nyaman. Joe pasti mau kerumah. Pasti bersama orang tuanya. Tidakkkkkkk......Prilly cemas seketika. Prilly tak tau, disampingnya Ali lebih cemas lagi. Dalam bayangannya tentulah Joe datang membawa orangtuanya untuk melamar Prilly. Bahkan Pak Subrata baru saja bilang jika ada yang melamar anaknya dia akan terpaksa menerimanya. Terbayang wajah Prilly pagi tadi meminta bantuan karna ia tak mau hidup bersama Joe. Tentu Prilly sekarang cemas. Ia tak bisa berpikir lebih lama dan sekarang keadaannya terdesak.
"Saya mau mengajak dia menengok ibu saya di rumah sakit malam ini, Pak Subrata, saya akan bilang pada ibu saya kalau Pak Subrata sudah merestui kami jadi kami juga harus mendapatkan restu dari ibu saya meskipun beliau tidak dalam keadaan sadar!"
"Jadi?" Pak Subrata menatap Ali.
"Seminggu lagi, Pak!" Ucap Ali yakin."Ya pacar? Seminggu lagi ya!" Ali menoleh Prilly.
"Seminggu?" Prilly mengulangnya dengan pertanyaan sambil menoleh terkejut. Seminggu? Cepat sekali?
"Deal!" Sahut Pak Subrata menunjuk Ali. Dan Prilly tak punya kesempatan mengatakan setuju atau tidak.
Ali mengusap tengkuknya. Ia tak tau demi apa keputusan ini. Demi ibukah atau demi Prilly kah? Yang pasti dalam keadaan terdesak terpaksa ia harus memutuskan sesuatu. Dan yang ada dalam otaknya itulah yang harus diucapkan. Entahlah, apakah keputusan cepat ini benar atau salah tetapi tentunya setidaknya ia bisa menyelamatkan dan menuruti kemauan Prilly.
Pak Subrata melempar ponselnya keatas meja lalu mengangkat alis dan melengkungkan bibirnya. Menjadi pengusaha yang sukses dan tentu saja pintar harus bisa membuat calon menantu didepannya merasa takut putrinya diambil orang!
°°°°°°°
Didalam ruangan yang selalu ada sepi. Hanya ada suara monitor EKG. Hanya ada tarikan nafas tanpa suara menyapa dan kalimat motivasi yang selalu menguatkan. Ali menatap wajah ibunya.
"Ibu, maafkan Ali lagi...Ali akan segera menikah bu, dengan dia, gadis yang pernah ibu sebutkan berjodoh banget sama Ali karna tak sengaja bertemu terus..." Ali tersenyum sedih mengingat saat itu, saat dimana ibunya menyeletuk mengomentari cerita Ali bertemu lagi dengan nona arogan.
Prilly yang berada disamping Ali mendengar ucapannya jadi tau sekarang kalau ia pernah menjadi bahan obrolan bagi ibu dan anak ini. Prilly mencoba menilai sedekat apa Ali dengan ibunya.
"Semoga ibu merestui, ini demi ibu!" Ali menunduk mengangkat tangan ibunya dan menaruh dihidungnya lama.
Lagi-lagi ngilu menyusup hati Prilly mendengar ucapan Ali. Hanya demi ibu. Tetapi ia bisa apa? Pernikahan ini juga tak seperti yang diharapkannya. Pernikahan dengan surat perjanjian. Pernikahan yang digelar hanya untuk menyelesaikan persoalan masing-masing. Dari calon suami pura-pura sampai menjadi suami sungguhan, ia tak pernah berpikir akan sejauh ini. Kalau Ali cuma demi ibunya, demi perawatan terbaik dan Prilly demi papinya, demi menghindari dikejar seorang pria berkelas tetapi tak memiliki penghargaan terhadap perempuan hanya memiliki penghargaan terhadap kekayaan saja.
Mereka hanya mau menyadari pernikahan yang akan mereka laksanakan ini karna kebutuhan bukan karna harapan.
"Saya mohon do'a restu dari ibu, apapun tujuan pernikahan kami, semoga ini menjadi kebaikan bagi kita semua, bu!" Prilly hanya mampu mengucapkan kalimat itu. Kalimat apalagi yang pantas untuk diucapkan selain berharap agar ini menjadi kebaikan bagi semua orang.
Prilly menggenggam tangan ibu Ali setelah Ali melepasnya. Menundukkan wajah menyentuh punggung tangan itu. Dan terkejut karna tangan ibu Ali bergerak dalam genggamannya dan Ali melihat gerakan itu meski kecil.
"Bu....."
Setelah itu tak ada gerakan lagi. Ali menarik napasnya dan menoleh pada Prilly.
"Kamu sudah yakin, memilih aku menjadi suamimu, meskipun hanya pernikahan dengan perjanjian?" Ali bertanya pada Prilly lirih.
"Seharusnya aku yang bertanya padamu, apa kamu ikhlas melewatkan hidup kamu bersama aku padahal kamu tak berharap!" Sahut Prilly balas menatap.
"Kata ibu Tuhan lebih tau apa yang kita butuhkan, terkadang Tuhan tidak memberi apa yang kita harapkan!"
"Kalau mau ada batas waktu kamu tak harus memperpanjangnya!"
"Aku sudah menyerahkannya pada Allah, rezeki, jodoh, maut Allah yang mengatur, aku sudah menganggap kalau ini jalan hidup yang Allah tentukan buatku!"
"Maafkan aku karna membuatmu terpaksa...."
Ali menggeleng. Tak perlu bicara tentang hal itu karna mereka sudah sepakat. Mereka melakukannya dengan tujuan masing-masing. Sama-sama terpaksa.
"Kita sama terpaksa tapi aku merasa berguna setidaknya dapat berbuat sesuatu bagi dua orang wanita yang ada didekatku sekarang...."
"Aku janji, meskipun ini pernikahan pura-pura, sebagai istrimu aku akan patuh padamu!"
Prilly menatap Ali dan Ali mengangguk. Sebetulnya dalam keadaan seperti itu Ali tetap tak merasa ada hak apa-apa atas diri Prilly. Bukankah hanya pura-pura?
Setelahnya hanya hening yang tersisa. Menyisakan pikiran masing-masing yang berkelana kemana-mana. Berkelana ke saat pertama kali bertemu sampai pada akhirnya akan menikah rasanya benar-benar seperti mimpi. Skenario Allah memang mengejutkan bagi mahluknya yang percaya.
°°°°°°°°
Seminggu itu waktu yang sangat singkat untuk menyiapkan sebuah acara besar dan sakral. Ali dan Prilly harus rela menghabiskan waktu mempersiapkan secara marathon. Kalau resepsi pernikahan tentu saja cukup dengan diserahkan pada Wedding Organizer. Sementara ke KUA dan tetek bengeknya dilakukan secara kilat hingga mendapatkan surat-surat yang lengkap tinggal ditanda tangani.
"Pacar, ini udah jam 12, aku jemput keatas ya?" Suara Ali diujung telpon mengingatkan Prilly. Dari KUA mengecek berkas pernikahan Ali langsung menuju kantor menjemput Prilly.
"Nggak usah pacar, aku aja yang turun!!" Jawab Prilly terkejut melihat jam dipergelangan tangannya.
"Ya ampun, kenapa cepet banget sih udah jam 12 aja, aduhhh..." Prilly membereskan berkasnya. memasukkan handphone kedalam tas dan menggantung tasnya dibahu setengah berlari keluar dari ruangannya.
Bruukkkkkk!
Begitu Prilly membuka pintu ruangan dan akan melesat keluar tubuhnya bertabrakan dengan tubuh seseorang. Tas yang ada dibahunya hampir terjatuh.
"Joe?"
"Buru-buru banget?"
"Ada urusan, cepetan bilang mau ngapain, gue udah ditungguin!"
"Nggak bisa masuk dulu?"
"Nggak bisa, gue udah ditunggu...."
Prilly melihat pergelangan tangannya yang dilingkari arloji. Ck. udah lewat jam 12 nih, Lucky bisa mengomel. Hari ini janji fitting baju, Lucky sudah misuh-misuh karna mendadak banget makanya Prilly harus cepetan kesana. Baju pengantin pesanan Prilly yang dipesan di sebuah Bridal House ternama langganan Lucky yang biasanya memasang New Arrival dengan harga selangit baru datang dan Prilly harus mencoba, kalau dirasa masih ada yang kurang Lucky harus segera mempermak itu baju. Prilly berharap udah sesuai dengan keinginannya, karna begitu melihat dari fotonya ia sudah sangat jatuh cinta dengan gaun pengantin itu. Untung saja masih belum ada yang memesan baju itu, Lucky berusaha bernegosiasi dengan harga tertinggi agar bisa mendapatkannya untuk Prilly.
"Ini penting soalnya!"
"Nggak ada yang lebih penting dari baju pengantin gue!!"
"Tentu saja penting bila lo tau informasi apa yang akan gue sampaikan sama lo!"
Sebenarnya Prilly enggan untuk menanggapi Joe. Tapi demi melihat pandangan Sandra dari tempat duduknya Prilly akhirnya mundur dan Joe bergerak masuk lalu duduk diSofa diiringi pandangan tak suka Prilly. Sandra tak harus tau apa yang akan dikatakan Joe sehingga Prilly merasa harus memberinya kesempatan.
"Cepetan, apa??" desak Prilly agar Joe segera mengatakan maksudnya.
"Calon suami lo hebat juga ya, membeli dan membangun sebuah rumah Laundry secara diam-diam....dari mana dia dapat duit? Kalau lo nggak sedang membayar dia berarti dia korupsi? Dapat uang darimana dia?"
Prilly terdiam. Ali membangun sebuah rumah Laundry tanpa sepengetahuannya? Sebegitu tak pentingnyakah dirinya hingga hal sepenting itu tak di komunikasikan Ali padanya? Kalau Korupsi Prilly rasa tidak. Karna uang yang ada direkening Ali adalah hak dia karna mereka memang sudah memiliki perjanjian Ali mendapatkan bayaran atas pekerjaannya. Ada rasa kecewa mengetahuinya. Ali benar-benar tak menganggapnya apapun kecuali dirinya hanya seorang yang membayarnya untuk menjadi calon suami.
"Sudah?" tanya Prilly akhirnya.
Meskipun ada rasa kecewa tapi Prilly mampu menahan diri didepan Joe untuk tidak terpancing. Apalagi sih maksud dari seorang pria yang ditolak mentah-mentah memberikan informasi buruk tentang pria saingannya kalau tidak karna ingin menggagalkan rencana pernikahan??
Beruntung Prilly sadar pernikahan ini adalah pernikahan dengan perjanjian. Pernikahan yang bukan atas dasar saling mencintai dan memiliki tujuan hidup yang sama. Jadi informasi Joe sama sekali tak bisa mempengaruhi berjalannya rencana yang sudah siap mereka lalui meskipun rasa kecewa diam-dia menyusup kedalam batinnya.
"Kalau sudah gue pergi dulu Joe dan gue rasa lo juga harus ninggalin ruangan gue!!"
"Pril, apa lo nggak bisa merubah keputusan lo? yang lebih pantes jadi suami lo itu gue!!" Joe berdiri mensejajarkan tubuhnya dengan Prilly yang sedari tadi hanya berdiri.
"Lo sudah menghabiskan waktu gue lebih dari 10 menit, Joe!" Prilly menggerakkan tubuh ketika tangan Joe memegang bahunya.
Joe memandang Prilly dengan wajah yang tenang. Tumben.
"Gue ucapin selamat sama lo!"
"Nanti saja dipelaminan..."
Joe meraih tangan Prilly ketika Prilly akan beranjak dan mencoba memeluknya.
"Tolong untuk terakhir kalinya!"
Prilly terdiam membiarkan Joe memeluknya karna percuma berontak. Akan terjadi keributan. Lagipula Joe memintanya dengan lembut bukan dengan kasar jadi Prilly tak bisa membalasnya kasar.
Sementara diluar, Ali mengurungkan niatnya untuk memasuki ruangan ketika dari pintu yang sedikit terbuka Ali melihat Joe memeluk Prilly dan Prilly tidak menolak. Entah apa yang mereka bicarakan sebelumnya Ali tak tahu. Yang jelas seketika saja Ali memahami, pernikahan ini memang bukan karna saling mencintai jadi dia tidak harus merasa Prilly bersalah karna tak bisa menjaga diri dan menjaga perasaannya.
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°° °°°°°°°°°°°°°°°°
Banjarmasin, 9 November 2016
Republish, 20 April 2020
Tanpa edit dan tanpa revisi.
5hari sampai hari Jumat, 24 April 2020. Untuk menemani selama #dirumahaja akibat pandemi covid19
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top