Memilih Cinta*11

Terdengar suara sendok yang beradu dengan piring dalam hening. Prilly tak mencoba bicara pada papinya setelah kemarin malam berdebat semalaman setelah kepergian Ali. Prilly memilih menyehatkan diri hari ini dan bersiap ke kantor.

"Papi akan antar kamu!"

"Diantar driver aja, pi!"

"Papi mau mengantar, papi mau ikut meeting membahas data-data yang sudah berhasil diperiksa pacar pilihanmu itu!"

'Aduhh, gawat benar ini kalau papi sampai ikut, bisa-bisa Ali dicaci didepan semua orang!'

"Maaf non, ada den Ali menjemput non!"

Prilly tersedak mendengar Ali menjemput. Ia baru ingat, Ali berjanji akan menjemputnya. Ternyata ucapan-ucapan papi tak sedikitpun mempengaruhinya untuk mengingkari janji. Prilly kira Ali takkan berani menjemputnya hari ini.

"Aku dijemput dia pi, apa papi mau ikut juga?"

"Papi sama driver saja!"

Prilly menahan napasnya. Setidaknya papi tak mencoba melarang. Bisa-bisa akan terjadi perdebatan panjang lagi kalau papi sampai melarang.

"Aku duluan, pi!" Seketika Prilly nampak bersemangat. Papinya cuma memandang dan berdehem menjawab pamitnya.

"Udah baikan?" Ali bertanya memandang Prilly yang mendekatinya diruang tamu.

"Sedikit," Prilly memejamkan mata begitu tangan Ali menyentuh keningnya.

"Papimu mana?" tanya Ali sambil memandang kedalam rumah.

"Kenapa mencari papi?" Prilly balik bertanya.

"Ya, mau pamit..." sahut Ali.

"Nanti juga ketemu dikantor!" Prilly menggigit bibirnya. Entahlah, dia yang takut kalau-kalau Ali dimaki-maki dan dikasari papinya. Kenapa nggak tega rasanya?

Prilly mengangkat wajahnya dan melihat Ali mengangguk hormat pada seseorang yang berdiri beberapa meter dari mereka. Prilly menoleh kebelakang. Nampak terlihat papi menjawab anggukan Ali dengan balas mengangkat dagunya dan berwajah kaku tapi Ali tetap tersenyum.

'Pi, jangan sampai papi terpesona melihat senyum pacar aku...' batin Prilly. Tak dilarang saja itu suatu keajaiban. Prilly tau Ali akan punya cara untuk menaklukkan hati papinya. Ck. Memangnya kenapa Ali harus menaklukkan hati papi? Bukankah dia bisa saja mengakhiri perjanjian mereka kalau dia mau? Tapi Prilly lebih betah pura-pura bersamanya dan tetap lebih memilih bersamanya daripada harus bersama Joe.

"Aku nggak mau dilamar Joe!" ucap Prilly ketika mobil sudah berbaur dengan padatnya jalanan karna semua orang juga menuju tempat aktivitasnya pagi itu.

Ali menoleh Prilly. Sebenarnya iapun tak mau tapi apa boleh buat? Ali hanya diperintah bukan memutuskan. Kalau saja dia pacar sesungguhnya tentu Ali akan berjuang mempertahankan Prilly.

"Papimu hanya ingin melihatmu tak sengsara bersama dengan orang yang berkelas dan sepadan denganmu..." sahut Ali menanggapi dengan suara datar. Bukan mengakui kekalahan karna dia merasa tidak sepadan, tetapi dia sangat memahami orangtua yang selektif pada pilihan anaknya. Prilly itu gadis kaya dengan wajah yang cantik. Kalau salah memilih pasangan mungkin saja pasangannya hanya inginkan kekayaan saja tanpa ada rasa menyayangi yang tulus. Orangtua mana yang tak ingin anaknya bahagia? Tentu semua orangtua inginkan kebahagiaan anaknya.

"Tapi aku lebih sengsara lagi kalau bersama dengan dia!" ucap Prilly seperti mendesah menopang kepalanya dengan siku yang menyangkut dijendela.

"Aku bisa berbuat apa untukmu?" tanya Ali menoleh pada Prilly dan jalanan bergantian.

"Nikahi aku segera!"

Ali menoleh cepat kearah Prilly yang berkata datar sambil menatap jalanan. Menikah dalam keadaan seperti ini tak pernah terpikirkan oleh Ali.

"Kalau kamu mau kita bikin surat perjanjian pernikahan....!"

'Ibu, kenapa ibu tak bangun-bangun, Ali butuh ibu? Apa ibu setuju Ali menikah dalam keadaan seperti ini.' Ali membatin. Apa harus ia menikah dengan perjanjian padahal ia mencari pasangan yang satu untuk selamanya bukan satu untuk sementara?

"Perjanjian pernikahan?" Ulang Ali tak paham jalan pikiran Prilly. Hanya untuk menghindari seorang Joe ia harus rela menikah dengan seseorang yang belum tentu dicintainya dan bahkan tak berkelas pula.

"Iya, aku tak mau hidup bersama Joe, lebih baik aku hidup bersamamu dengan perjanjian daripada harus menikah terpaksa dan hidup bersamanya!"

"Apa bedanya? Bersama akupun kamu terpaksa bukan?"

"Tapi disini aku yang menentukan...kalau bersama Joe, dia akan menuntutku, aku tak bisa membayangkan ia menyentuhku, tangan dan tubuhnya itu sudah menyentuh banyak wanita, aku jijik!!" Seketika bayangan Joe bersama wanita lain membuat Prilly bergidik. Ali hanya menghela napasnya. Sepertinya pikirannya sudah jauh berkelana.
Haruskah menikah hanya karna ingin membantu? Haruskah menikah hanya karna ia butuh perawatan terbaik bagi ibu? Kenapa Prilly harus memilihnya untuk bekerjasama dalam hal ini?

"Bisa kamu membantu aku?" Prilly menatap Ali penuh harap.

"Aku ini orang rendahan, apa kamu nggak takut kalau sampai Joe tau ak..."

"Jangan bilang begitu, maafin aku, aku nggak ada maksud buat nyinggung kamu, aku cuma masih nggak bisa kontrol emosiku bila nggak ada kamu, bukankah kamu berjanji mengajariku menjadi penyabar?" Prilly memotong ucapan Ali.

"Kamu juga harus belajar sabar tanpa ada aku, kalau sabar hanya saat ada orang lain atau karna orang lain berarti kamu belum bisa sabar!"

"Makanya kamu harus tetap ada disisi aku biar aku bisa terus bersabar!"

Ali terdiam sementara mobil yang dibawanya memasuki halaman kantor Prilly dan masuk ke parkiran khusus direksi menahan obrolan mereka. Keluar dari mobil, disamping mereka sudah terlihat lift khusus direksi dan mereka bersiap berdiri didepan lift setelah memencet tombol didepan lift tersebut.

"Macet ya lift-nya?" Prilly memencet tombol berulang-ulang tapi pintu lift tak terbuka juga.

"Berarti harus pakai lift karyawan?" tanya Ali.

"Ck." Prilly mengerucutkan bibirnya.

"Sesekali kamu itu harus lewat lift karyawan sambil berinteraksi sama mereka, pacar!" Ali menarik tangan Prilly yang terpaksa mengikutinya menuju lobby lewat pintu depan kantor.

"Selamat pagi Pak Ali, Bu Ali...." ucapan security didepan pintu masuk membuat jantung Ali yang mengangguk ingin menjawab sapaan security sedikit berdegup. Bu Ali? Ali menoleh pada Prilly yang terlihat juga berekspresi sama lalu sama-sama tersenyum.

"Selamat pagi....." jawab mereka bersamaan lalu melangkah memasuki lobby menuju Lift.

"Pagi Pak Ali, pagi Bu Prilly!"

Dari meja resepsionis sampai masuk kedalam lift, sapaan pagi staff-staff yang baru datang berbarengan dengan mereka dan memasuki Lift terdengar akrab dan senyum yang lepas.

Biasanya kalau Prilly terpaksa naik lift untuk umum dan sendirian masuk lobby dan lewat pintu karyawan, mereka yang berpapasan atau yang belum terlanjur berbarengan memilih membiarkan Prilly duluan. Takut mau menyapa kalau-kalau tak dipedulikan.

Berbeda sekarang saat dia bersama Ali. Semua karyawan dengan tenang menyapanya. Karna Ali sering terkadang lebih suka naik lewat Lift umum daripada Lift direksi yang ada disamping parkiran mobil direksi. Menurut dia saling menyapa dengan karyawan yang lain bisa menimbulkan semangat.

Sebenarnya tak semua karyawan tau siapakah Ali dan sebagai apakah dia disitu. Tetapi tentu gosip cepat menyebar meskipun tak diumumkan ada calon suami ibu mereka yang membantu menyelesaikan pekerjaan akhir-akhir ini.

Ali dan Prilly masuk ketika Lift terbuka. Tak ada yang berani masuk ketika mereka sudah ada didalamnya.

"Masuk aja, bareng ayoo..." Ali menyuruh beberapa staff masuk sambil menahan tombol pintu agar tetap terbuka sebelum akhirnya Prilly mengangguk dan mundur karna Ali menarik dan merapatkan tubuh mereka agar yang lain bisa ikut masuk.

"Maaf bu..." ucap salah satu staff yang tak enak jika terlalu dekat.

"Nggak papa, masuk aja kalau memang masih muat!" sahut Prilly melempar senyumnya.

Setelah beberapa staff masuk dan lift bisa mengangkut mereka naik, Lift pun tertutup menyisakan beberapa staff yang masih ada didepan Lift menunggu Lift naik dan lift sebelahnya terbuka.

"Calonnya ibu humble banget!"

"Ibu jadi ketularan humble deh!"

"Seneng liatnya...semoga ibu selalu sama-sama terus sama calonnya itu, biar cepet resmi deh biar wajah ibu selalu manis kayak gitu...!"

"Lebih berkelas kalau ibu bisa nyedekahin senyumnya tiap di sapa!"

Beragam komentar lolos dari bibir staff yang masih tersisa.

"Ehem, selamat pagi, jangan suka bergosip kerja yang betul....!!"

Deheman Pak Subrata membuat resepsionis dan staff yang baru datang lalu antri di depan Lift setelah Ali dan Prilly masuk membuat mereka beringsut memberi jalan dengan wajah takut.

"Pa...pagi Pak..." semua menyahut dengan wajah tegang.
Pintu lift sebelah lift yang tadi dinaiki Ali dan Prilly terbuka dan Pak Subrata masuk tanpa ada yang berani ikut masuk dan pintu lift pun tertutup.

"Ada bigboss, mati gue kalau bu Lany diomelin gue bisa kena getahnya!" Celetuk salah seorang staff, pasti dia dari divisi keuangan.

"Iya ada meeting penting ya hari ini pasca kejadian Pak Boni!"

"Boni sama Rainy pembawa petaka, selingkuh dikantor, malu-maluin aja!"

"Semua jadi dapat evaluasi deh, apalagi calonnya ibu itu agak detail periksa laporan, kata Pak Darius semua habis dikupas sama dia!"

Ramai sekali kantor dipagi hari. Pemandangan pagi yang tak biasa, para direksi semuanya lewat didepan mereka dan tentu saja ini kejadian yang jarang terjadi. Sebentar lagi tekhnisi pasti akan dipanggil dan ditegur, kenapa lift direksi sampai ngadat tak bisa digunakan hingga mereka harus ke Lift umum.

°°°°°°°°

"Semua banyak penyimpangan dan kalian head divisi-nya malah tidak tau kalau tidak di cek dan dievaluasi mendadak, apa kerjaan kalian semua selama ini?? Semua nggak ada yang benar!!"

Gelegar geledek mungkin kalah keras dari suara Pak Subrata saat ini.

"Saya bayar kalian disini bukan untuk lalai dalam tugas kalian!" Sentak Pak Subrata lagi. Matanya sudah berkilat. Hening. Sunyi. Semua sepertinya tak bisa membela diri karna beberapa diantara mereka memang telah lalai. Rasanya bertahun tahun bekerja mengabdikan diri diperusahaan ini nilai mereka sekarang berada dititik terendah.

"Kelalaian ini karna sistem yang tidak terprogram dengan baik Pak, hingga menimbulkan kesempatan lolos dari cek, rata-rata disini terjadi karna faktor ketidak sengajaan dari head divisinya, bawahannya mencoba lalu lolos setelah itu mengulang lagi karna berharap lolos lagi!" sahutan Ali membuat Prilly menahan napasnya. Aduhh, kenapa Ali menyahut? Diem aja pacar, nanti kamu dimangsa bapaknya srigala!

"Ya berarti tetap saja salah head divisinya kenapa bisa kelolosan, artinya nggak becus, nggak ada yang benar...!!" balas Pak Subrata lagi tak mau kalah.

'Hmmm kan bener, udah deh pacar diem aja,' bisik hati Prilly lagi.

"Jangan langsung nge-judge nggak ada yang benar Pak, karna menurut saya jam mati saja dia bisa benar dua kali, apalagi mereka yang masih hidup!"

Ya, jam mati saja bisa benar dua kali. Jika jarumnya tak bergerak diangka tiga maka dalam sehari dia dua kali benar, Jika waktu menunjukkan pukul 3 siang dan juga jika waktu berada di pukul 3 dini hari.

Prilly mengusap lengannya yang tiba-tiba dingin. Ali membuat dia takut. Prilly bisa Mati tak tega kalau setelah ini papinya akan berteriak mengusir Ali dari ruang meeting gara-gara Ali berkomentar sedikit membela pada para head divisi yang sedang dipojokkan papinya.

Mengajak Ali meeting saja pagi ini menjadi perdebatan antara mereka tadi diruangan Prilly.

"Dia nggak tau apa-apa, buat apa ikut paling nanti juga bingung sendiri sama omongan kelas berat head divisi!"

"Papi jangan meremehkan dia, yang menemukan kasus ini dia, dia yang evaluasi semuanya, dia yang koreksi semuanya...."

"Lalu apa yang kau kerjakan gadis kecil kalau semuanya dia yang mengerjakan?"

"Ya memahami hasil kerjaan dia, pi!"

"Maaf kalau saya harus ikut bicara, saya tidak tau apa-apa sebelum saya mempelajari sejarah perusahaan ini tetapi setelah saya mempelajarinya saya yakin saya bisa diandalkan jika diberi kesempatan karna saya mau banyak belajar," Ali akhirnya angkat bicara setelah dihadapannya anak dan ayahnya memperdebatkan tentang kelayakannya ikut serta dalam meeting penting khusus head divisi atau kepala bagian.

"saya memang bukan lulusan dari mana-mana karna saya belajar dari buku yang seharusnya saya pelajari dikampus saya, saya berkeyakinan meskipun saya tak punya gelar saya bisa disejajarkan dengan mereka yang punya gelar dan lulusan dari kampus ternama..." ucap Ali lagi meyakinkan. Bukan Ali merasa dirinya hebat. Tapi sekarang ia harus menunjukkan dirinya pada orang yang terkesan meremehkannya. Bukan karna merasa rendah diri dia menunjukkan kelebihan tetapi justru karna termotivasi untuk menjadi lebih baik yang membuatnya merasa harus berbuat sesuatu.

"Oke, saya tunggu dilantai 7!"

Pak subrata meninggalkan mereka.
Yeay, papi bagaimana pacarku kerenkan? Prilly bersorak dalam hati.

"Meeting hari ini selesai, bertemu lagi besok dengan keputusan tentang kelanjutan karir kalian, semuanya keluar kecuali kau!" Kalimat Pak Subrata yang diakhiri dengan tunjukan tangannya pada Ali membuat lamunan Prilly tentang perdebatan tadi pagi pupus sudah.

Prilly rasanya dag dig dug sendiri dibuatnya. Pasti papinya akan menegur Ali habis-habisan, tumben sekali tidak dihadapan orang-orang didepan mereka ini. Ke lima orang Head divisi segera berdiri dan pamit berlalu.

"Apa maksudmu membela mereka yang salah apalagi didepan hidung mereka?"

"Bukan membela yang salah pak, saya cuma ingin menghargai mereka yang sudah sekian lama mengabdi disini, jangan hanya karna satu kesalahan lalu pekerjaan mereka selama ini dianggap tak pernah benar padahal sedikit banyaknya karna mereka perusahaan ini berjalan secara sistematis..."

"Prilly?"

"Aku rasa dia ada benarnya, papi, sedikit banyaknya mereka yang berjasa untuk memajukan perusahaan kita bersama aku sekarang, kalau tidak ada mereka aku dulu juga bingung mau ngapain?!"

"Ya cocok!! yang penting antara dua orang yang mengaku pacar ini tidak saling bertentangan!!"

Aih. Papi ini apa maksudnya? Prilly terperangah heran. Apalagi Pak Subrata setelahnya keluar tanpa berkata apa-apa lagi.

"Kenapa sih papi? Ngomongnya nggak jelas banget!" Prilly berbicara sendiri saat keluar dari ruangan diiringi Ali dan menunggu lift. Ali hanya tersenyum saja. 'Memang ajaib calon mertua gue.' Aih camer, Ali menggelengkan kepala tersenyum geli.

"Apa sih senyum-senyum?" Prilly melotot pada Ali saat Lift terbuka dan mereka memasukinya.

"Enggak!" Ali menggeleng menahan senyum melihat mata Prilly yang membulat jengkel.

"Idihhh menyebalkan, papi omongannya nggak jelas, pacar sikapnya nggak jelas, emang nggak ada yang jelas kayaknya dalam hidup gue!" Prilly mencak-mencak sendiri.

Ali tak tahan melihat Prilly mengomel dengan wajah yang lucu dan ucapannya yang menggelitik hingga tangannya meraih dan menjepit kepala Prilly dengan tangan yang menekuk melingkari leher nona arogan itu.

"Auuww ishhh!!" Prilly memukul Ali karna seperti dicekik dengan kepala menempel diketiak hero kesiangan itu.

"Sabar sih pacar, kamu itu memang nggak bisa sabar ya, ngomelllll melulu..." Ali tak melepas rangkulan tapi justru meraih tangan yang memukulnya lalu menowel hidung membuat hazel Prilly semakin membulat menatap bulu mata lentik didepannya dan seiring suara Ali berakhir, lift terhenti dan pintu terbuka....

"Ck. Daripada ada kasus mesum berikutnya dikantor ini lebih baik kalian berdua segera saja cari penghulu, anak muda!!"

°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
Banjarmasin, 8 November 2016

Terima Kasih ya udah pada komentar, maaf nggak sempat jawab semua tapi dibaca semua kok.....

hp aku yg satunya masih belum selesai diperbaiki jadi klau dirumah hp ini lebih sering dipegang anak sedangkn laptop aku tinggal dikantor jadi ya gantian sm anak pake ini hp ... #curhatlagi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top