Memilih Cinta*10

Tarikan napas terdengar diantara kesunyian ruang ICU. Lagi-lagi telpon dari rumah sakit membuat Ali harus melayang menengok ibunya. Ada gerakan dibola mata ibu merespon cahaya. Ali sangat berharap semoga ibu cepat sadar. Ali ingin mencurahkan isi hatinya pada ibu dan mendengar respon ibunya yang selalu menenangkan.

"Justru itu, bagaimana kalau Joe tau Ali bukan kelas kita? Bagaimana kalau dia melecehkan gue karna gue jatuh ketangan pria kelas rendah, mana mungkin gue memilih cinta orang rendahan?!!"

Bukan salah Prilly kalau dia mengeluarkan kalimat seperti itu. Ali membatin. Ia memang menyadari selama ini hanya bayaran. Dan Ali juga sadar diri, dirinya bukan kelas tinggi seperti Prilly. Ali tak pernah bermimpi Prilly memilih cintanya kalau tidak ada take and give.

Bukannya marah pada Prilly dengan apa yang diucapkannya. Ali merasa dia yang salah, harusnya tidak diam-diam mengejutkan dengan kedatangannya. Seharusnya ia sabar ingin bertemu dengan nona arogan itu karna Sandra sudah bilang ada Edward disana. Ali hanya tak sabar ingin melihat wajah menggemaskan dan mata hazel yang membuatnya tak bisa tidur nyenyak itu terkejut dan tersipu mendengar sapaan kangennya.

"Hai pacar, i miss you!"

Harusnya kalimat itu yang ingin dia ucapkan didepan Prilly. Tapi apa daya pendengaran terhadap ucapan gadis itu telah mengusik hatinya. Ucapan Prilly membuat dia menyadari dirinya siapa dan gadis itu siapa?

"Gue harusnya nggak tergantung sama seseorang untuk hidup gue!"
Ali mengusap wajahnya. Sepertinya ia sudah bertekad untuk keluar dari ikatan yang membuat dirinya merasa tak pantas.

"Bu, Ali tinggal dulu ya, nanti kalau sudah lelah tidur, tolong ibu buka mata ibu, Ali rindu mendengar suara ibu yang menenangkan hati Ali!"

Seperti biasa ketika Ali pamit, Ali akan mencium punggung tangan ibunya sebelum meninggalkan ruangan itu. Kali ini terasa lebih lama Ali menunduk menggenggam dan mencium tangan ibunya. Ia benar-benar rindu.

Langkah Ali tertahan ketika berada didepan pintu ruang ICU. Sepertinya sedari tadi Prilly didepan pintu ingin masuk menemuinya tetapi terlihat ragu. Ali menatapnya lalu tersenyum.

"Maaf ya jam segini belum kembali kekantor..." Ali berkata sambil melihat jam tangannya yang sudah menunjuk kearah dua. Waktunya makan siangpun sudah lewat.

"Apa kamu marah?" tanya Prilly dan Ali menggeleng cepat.

'Buat apa marah dengan hal yang benar? Kecuali difitnah baru tak terima. Pada kenyataannya memang gue nggak berkelas.' Pikir Ali.

"Enggak," lirih ucap Ali.

"Maaf..." bisik Prilly dengan perasaan yang benar-benar tak enak.

Ali mengangguk. Prilly tak juga lega mengetahui Ali tak marah seperti yang ia perkirakan. Sebenarnya ia sudah siap dimaki. Ia akan menjelaskan tak bermaksud menyinggung perasaan Ali. Tetapi ternyata Ali pergi meninggalkan kantornya karna mendapat panggilan dari rumah sakit. Prilly merasa tak begitu nyaman karna Ali menjadi lebih pendiam dari biasanya. Kalimatnya yang biasanya menenangkan dan membuat melting kini sepertinya hilang.

"Bagaimana keadaan ibu?" tanya Prilly lagi memecah sunyi.

"Masih begitu..." sahut Ali lagi sekenanya.

Sebenarnya ia hanya sungkan sekarang pada Prilly. Selama ini berarti Prilly menganggap mereka hanya bekerjasama. Ali merasa hanya dia yang terlalu over acting dan baper sendiri.

"Nanti aku minta dokter Abi lebih intensif melakukan pemeriksaan," kata Prilly lagi. Niatnya tulus, hanya ingin membantu karna ia sangat tau harapan Ali terhadap kondisi ibunya.

"Tidak perlu, ibu sudah dirawat dengan baik..." sela Ali tak ingin membuat dirinya bertambah merasa berhutang budi pada gadis itu.

Berkali-kali Prilly menoleh pada Ali yang berjalan bersisian menuju keluar dari rumah sakit tapi Ali hanya melirik sedikit sambil tersenyum tipis. Ali hanya menghindari terlalu tenggelam pada pesona Prilly yang tak sepadan dengannya.

"Nak Ali...."

Didepan rumah sakit menuju pintu keluar tiga orang ibu-ibu membuat langkah mereka terhenti.

"Alhamdulilah ketemu nak Ali!"

"Bu Rita, Bu Ani, Bu Yatna apa kabar?"

"Baik, gimana keadaan ibumu? Ibu baru mendengar ibumu kecelakaan setelah ibu pulang umroh, kamu sudah tidak tinggal dirumah itu lagi jadi ketika ibu-ibu lain mengajak ibu menjenguk ibumu nak Ali selalu tidak ada!" Bu Rita menjabat tangan Ali hangat.

"Masih belum sadar bu, cuma tadi beberapa kali saya dipanggil rumah sakit karna ibu sudah merespon cahaya...."

"Nak Ali, semoga ibumu cepat sadar ya..." ucap ibu Ani yang berada disamping bu Rita.

"Aamiin bu, mohon doanya!"

"Kangen pengajian bersama-sama, kangen sabarnya ibumu bila mendengar komplin dari saya, selain ibumu tak ada pencuci yang paling bersih," kata ibu Yatna menambahkan.

"Ibumu ingin sekali memiliki rumah laundry nak Ali, entah kenapa beberapa hari sebelum kecelakaan itu beliau bilang sudah tak kuat mencuci dengan tangannya!" Bu Ani menerawang terlihat sedih. Ali juga jadi terdiam teringat ibu. Teringat perjuangan beliau selama ini menghidupi mereka berdua dengan hanya menjadi seorang pencuci pakaian.

"Ibu-ibu mau langsung menengok ibunya Ali, biar kami antar supaya ibu bisa langsung masuk kedalam ruangan ICU!"

Mereka bertiga mengangguk tetapi pandangan mata mereka tak lepas dari Prilly yang sedari tadi hanya diam memperhatikan mereka dan sekarang menawarkan diri mengantar mereka keruang ICU. Mereka pikir siapakah gadis ini? Apakah dia yang menyebabkan ibu Ali kecelakaan dan bertanggung jawab pada perawatannya? Karna mereka sangat tahu rumah sakit tempat ibu Ali dirawat adalah rumah sakit swasta termahal dikota mereka.

"Dia teman dekat saya bu, kenalkan dia Prilly!"

"Ohhh teman..."

"Teman tapi mesra..."

"Teman hidup ya...."

Ibu-ibu itu tersenyum simpul sambil menjabat tangan Prilly. Prilly tersenyum semanisnya meskipun hatinya sedikit merasa kehilangan.

'Kenapa disebut teman Li, bukannya aku ini 'pacar'? Kangen disebut 'pacar' sama kamu.' Prilly memandang Ali yang tersenyum sekilas lalu mengalihkan pandangannya menghindari tatapan Prilly.

Ali hanya berusaha untuk menempatkan diri pada posisi yang sebenarnya. Ia tak ingin Prilly merasa terbebani dengan latar belakang kelas mereka yang berbeda. Sekali pura-pura tetap akan pura-pura. Sekali pekerjaan tetaplah menjadi 'calon suami' gadis itu adalah pekerjaan sesuai dengan perjanjian. Profesional. Tanpa jatuh ke dalam cintanya. Meskipun sudah terlanjur merasakan, biarlah akan menjadi resiko yang harus ia tanggung sendiri.

°°°°°°°°

"Ditahun 2015 ada kejanggalan data finance, bulan maret, juli, oktober sepertinya ada pengeluaran tetapi tidak tercantum bukti pembayaran sehingga akhir tahun terjadi selisih lalu ditutup dengan kebutuhan lain-lain perusahaan..."

Kalimat Ali panjang dan lebar menjelaskan hasil evaluasi terhadap laporan finance yang datanya dikumpulkan oleh bu Lanny. Ali masih menjelaskan dan Prilly berusaha mencerna kalimat-kalimat dari bibir Ali, menatap Ali tanpa kedip dan pria didepannya terlihat serius dengan analisa yang telah ia simpulkan.

Prilly merasa kehilangan sikap romantis tanpa batas Ali saat ini. Ali akan manis hanya pada saat didepan umum dan didepan oranglain. Kalau hanya berdua saja atau dibelakang layar Ali tak lagi membuatnya melting.

'Gue yang salah, nggak pernah mau belajar menahan emosi agar tak mengeluarkan kalimat kasar meskipun tak didepan dia!'

"Apa sudah jelas?"

"Ya, nanti akan kita gelar meeting lagi untuk membahasnya satu-satu!" Prilly memijit kepalanya.

"Kamu sakit?"

"Cuma pusing."

"Disini nggak tersedia kotak obat?"

'Obatnya hanya senyum tulus dari kamu, pacar!' Bisik hati Prilly menatap Ali sedih.

'Pingin nyentuh dahi kamu, pacar, tapi ... ' Ali menggelengkan kepalanya. Seketika ia tak ingin larut dalam sikapnya yang mungkin tak diharapkan Prilly. Ali menunduk membolak-balik berkas.
Prilly berdiri susah payah menahan rasa pusing dan nyeri diperutnya yang mendadak menyerang.

Mendekati dispenser Prilly meraih gelas dan entahlah, rasanya tubuhnya limbung dan akhirnya melayang jatuh ke lantai menimbulkan suara yang cukup mengejutkan bagi Ali yang membelakanginya. Ali berdiri dengan dada yang berdegup tak karuan melihat Prilly jatuh pingsan.
Sigap ia mengangkat dan membaringkan tubuh Prilly di Sofa.

"Sandra, kemari!!"
Ali memanggil Sandra melalui telpon yang berada diatas meja dan kembali mendekati Sofa dimana Prilly ia baringkan.

"Kenapa dengan ibu, Pak?"

"Saya nggak tau, tiba-tiba aja dia pingsan, tolong San, kasih minyak kayu putih, buka blazernya!"

Sementara Sandra melakukan apa yang ia minta sambil duduk ditepi Sofa, Ali berjongkok memandangi wajah Prilly. 'Kenapa dia?' Telapak tangan Ali meraba dahi Prilly dan mengusap sambil tetap menatap wajah gadis itu.

"Ibu pasti tadi tidak makan, perutnya kempes banget, apa memang perut ibu setipis ini?"

Ali mengambil minyak kayu putih ditangan Sandra dan menumpahkan kejari-jarinya lalu mendekatkan jarinya kehidung Prilly.

"Tidak makan?"

"Iya, habis disidak sama bigboss, ibu langsung pergi mencari bapak!"

Pacar yang kurang perhatian. Mentang-mentang cuma pura-pura bisa-bisanya tadi tak sedikitpun ia berbasa-basi dengannya. Ali menyesal mendiamkan Prilly. Sebenarnya dia egois. Begitu saja tak peduli hanya karna tersinggung tapi pada kenyataannya benar. Pura-pura tak tersinggung dan berbesar hati mendengar ucapan Prilly padahal ia tak semalaikat itu. Kalau dia tak tersinggung harusnya dia bisa seperti biasa menganggap semua itu tak pernah diucapkan Prilly.

"Tolong minta Ob belikan bubur San untuk ibu!"

"Iya, pak!"

"Bilang jangan pakai lama!"

"Siap...."

Sepeninggal Sandra, Ali berjongkok lagi memandang wajah Prilly lalu menundukkan wajah menyentuh dahi gadis itu dengan ujung bibirnya.

"Maafin aku, pacar!"

Prilly yang sebenarnya sudah mulai siuman dan mengumpulkan kesadaran mengurungkan niat membuka matanya. Entahlah, mendadak sentuhan kenyal didahinya membuat ia sedih. Buliran airmata jatuh dari sudut matanya yang tertutup. Akhirnya ia mengerjapkan mata ketika Ali mengusap airmata dengan ibu jarinya.

Prilly berusaha bangun dari berbaring dan Ali membantu mengangkat punggungnya lalu duduk disamping Prilly, merangkul pundak dan menyandarkan kepala Prilly dibahunya. Prilly nampak lemas.

Tak ada yang membuka suara.
Dan mereka hanya terbelenggu diam beberapa jenak sampai Sandra mengetuk pintu membawakan bubur yang sudah berada dimangkok.

"Ini buburnya, pak!"

"Terima Kasih Sandra, tolong ambilkan air hangat..."

Sandra mengangguk menuju dispenser.

"Makan dulu!"

'Aih. Mau juga dong babang pacar, saya disuapin!' Sandra nyeletuk dalam hati melihat Ali menyuapi Prilly apalagi sambil dirangkul.

°°°°°°°°

Mobil Ali memasuki halaman rumah Prilly yang luas. Sementara mobil Prilly yang dibawa oleh driver kantor membututinya dari belakang. Ali keluar dari mobil dan berlari melalui depan mobil dan membukakan pintu untuk Prilly yang ikut bersamanya.

Rangkulan tangan Ali dibahunya membuat Prilly tenggelam dalam pelukan pria itu. Pintu langsung terbuka begitu mereka sampai didepannya.

"Kenapa nona, tuan?"

"Sakit. Bandel nggak makan seharian!"

Prilly seperti kehabisan tenaga. Lemas. Baru saja Ali mengantarnya kedokter dan mereka sudah menebus resep untuknya.

"Mbak, tolong bantu dia kekamarnya!"

Ali meminta pada Bik Sar tapi Prilly tak melepaskan pelukannya. Akhirnya ia yang mengantar ke kamar diiringi Bik Sar. Memapah orang lemas naik tangga lebar dan melingkar cukup penuh perjuangan juga. Ali sedikit takjub melihat isi kamar Prilly yang luas. Berkali-kali lipat kamarnya yang dulu dan diapartemen sekarang.

"Istirahat ya, pacar!"

Ali berpesan pada Prilly yang duduk ditepi tempat tidurnya. Prilly mengeratkan genggaman seakan tak ingin ditinggal pergi.

"Kalau besok masih sakit, nggak usah kekantor ya!"

Prilly menggeleng.
Ali membaringkannya ditempat tidur dan menutup separuh badannya dengan selimut.

"Kalau besok ingin sehat sekarang kamu istirahat ya!"
Ali membelai rambut dan mengusap-usap kening Prilly dengan ibu jarinya.
"Terima Kasih, ya..."

"Sama-sama..."

Ali berdiri setelah pamit diiringi tarikan tangan Prilly lagi. Ali tersenyum dan menunduk menyentuh pipinya.

"Harus sehat besok ya, aku jemput!"

Rupanya ucapannya cukup menenangkan bagi Prilly hingga ia bisa mengangguk dan melepaskan tangan Ali berat.
Ali meluruskan punggung dan sekali lagi pamit sebelum berbalik.
Sebenarnya berat juga bagi Ali tapi dia harus pulang.
Tubuh Ali tegang seketika saat berbalik akan menuju pintu.

"Siapa kau? Apa yang kau lakukan disini?"

Tegang. Itulah yang Ali rasakan ketika seorang pria setengah baya berdiri dihadapannya dengan suara keras dan sangar.

"Papiii...." suara Prilly terdengar lirih.

"Saya Ali, Pak!" Jawab Ali setelah mengatasi rasa tegang dan keringat dingin yang mendadak memenuhi dahinya.

"Ohh, kau ternyata..." Pak Subrata memandang seperti menguliti tubuh Ali. Dari ujung rambut ke ujung kaki.

"Joe bilang kau kurang pantas menjadi gandengan anakku!"

"Papiii...." suara Prilly agak meninggi mengimbangi suara papinya.

"Papi ngomong apa sih?" Prilly terlihat ingin beranjak dari berbaringnya.

"Ini fakta, mana mungkin kau mau bersanding dengan pria seperti dia, dibandingkan Joe dia tidak ada apa-apanya!" ucapan orangtua didepannya itu membuat Ali menyadari darimana Prilly mendapatkan sikap keras dan kasarnya.

"Maaf Pak, sebenarnya saya tak mau sombong didepan bapak, tapi saya pikir bapak perlu tau satu hal, meskipun bapak menyerahkan putri bapak tanpa embel-embel harta didalamnya, saya sanggup menafkahi dia dengan usaha saya sendiri!" Ali merasa tertantang untuk mengeluarkan ucapan itu pada orang yang selalu menganggap harta menjadi satu tujuan dalam hidup padahal harta itu hanya kenikmatan dunia.

"Kalau begitu buktikan ucapanmu anak muda, kalau kau tidak ingin dia menjadi milik yang lebih pantas!"

°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
Banjarmasin, 7 November 2016

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top