Prolog

Seorang bayi lahir tertawa!

Suster berlari menjinjing dua heels di tangan kiri sembari memegang nurse cap yang compang-camping terkibas angin—saking kencangnya ia berlari. Wanita berambut acak-acakan ini berlari ke sebuah ruangan berbau antiseptik dengan hawa dingin yang meliputi.

"Dokterrr!!!" teriak si suster melengking tak peduli malu, bahkan kedua ketiak yang menampakkan bekas keringat tak lagi ia risaukan.

"Kabar itu benar?" Sang dokter bangkit dari kursi kerja yang empuk. Layar monitor yang sedari tadi ia pelototi untuk menulis laporan, ia lupakan. Telepon yang terus berdering sampai tak ia pedulikan. Bayi tertawa ini membuat seisi RS Keluarga Mitra berguncang.

Si suster mengangguk kencang. Bibir yang berwarna merah pekat dibubuhi lipstik sudah pudar menjadi pink pucat. Selama berlari melalui koridor, ia menabrak banyak om-om CEO berjas hitam-putih. Ia meminta maaf dalam hati, si suster tak sanggup membayangkan ada berapa banyak piring yang terlempar saat para CEO pulang ke rumah. Bekas bibir merah pasti membuat sang istri berubah menjadi monster musang berekor sembilan.

"Kalau begitu, antarkan saya!" Sang dokter mempercepat langkah ke luar ruangan.

Jas putih yang ia kenakan berkibar, lupa ia kancingkan. Perut gempalnya membuat kemeja hijau army bergaris vertikal mengetatkan manik putih yang berusaha saling bertaut. Kulit perutnya terlihat jelas, menampakkan sedikit rambut tubuh. Sudah dibilang berkali-kali oleh si suster, sang dokter seharusnya membeli baju baru. Masa ia tak pernah malu jika dipanggil si dokter gempal oleh seantero RS Keluarga Mitra?

Lupakan dulu masalah kemeja hijau yang kekecilan. Si dokter gempal kini sudah berdiri di depan ruangan kaca yang bisa melihat masuk ke dalam ruangan bayi itu, anak yang terlahir tertawa.

"Hihihi! Hihihi!" Bayi itu terus mengikik tak henti-henti.

Di depan kaca pembatas yang lebar, dokter lain sudah berdiri tegap memandang sembari menganga lebar. Dokter yang datang lebih dulu daripada si dokter gempal sedang melongok, wajahnya menempel mengintip kaca. Dia sangat tua. Semua rambut wajahnya berwarna putih: rambut, jambang, janggut, kumis, dan bulu hidung, semuanya berwarna putih! Jangan tanyakan rambut bagian lain! Kalau dijelaskan, cerita ini nanti jadi cerita dewasa! Sstt!

"Pak Bos! Diagnosis!" seru si dokter gempal menyenggol sang dokter senior sampai terhempas keras. Padahal dia hanya mencoleknya.

Sang dokter senior memang memiliki perawakan yang kurus! Kurusss! Tulang dan sendinya bisa dirasakan jelas jika disentuh, bahkan dadanya seperti tuts piano—saking tak ada lemak yang menutupi tulang rusuk. Tinggi yang menjulang membuat perawakannya semakin kurus sampai seantero RS Keluarga Mitra—juga—menjuluki sang dokter senior dengan sebutan si dokter skinny. Tidak tahu kenapa, memang seisi RS Keluarga Mitra julid sekali sampai-sampai memberikan julukan kepada semua orang. Untung si dokter skinny tidak suka pakai celana jeans. Kalau suka pakai, julukannya jadi skinny jeans.

"Bukan waktunya bercanda, Om!" bentak si dokter skinny memanggil si dokter gempal dengan julukan khasnya, Om.

"Maafkan aku, Pak Bos!" Si dokter gempal menunduk berkali-kali layaknya orang Jepang meminta ampunan. Dia ternyata memiliki julukan khusus untuk si dokter skinny, Pak Bos.

Mereka berdua adalah duet terdahsyat, tercerdas, dan teraduhai. Meski perangainya tak menampilkan gelagat orang jenius—malah orang konyol, keduanya benar-benar mengetahui segala penyakit—literally, lalu menyembuhkannya. Seantero RS Keluarga Mitra sampai menjuluki keduanya dengan duet angka 10. Kau tahu, si skinny dan si gempal ... bagaimana gambarannya? Apalagi, si dokter gempal hanya setinggi pundak si dokter skinny. Sempurna!

"Pak Bos, Om, sebaiknya kita melihat hasil pencitraan otak bayi itu! Hasilnya sudah keluar nih Dok!" ungkap si suster berjingkat-jingkat seperti sedang kepanasan.

"Kenapa kamu nggak bilang, Noniiik?" Si dokter skinny melangkah memasuki ruangan meninggalkan si suster. Alisnya berkedut kencang dibuat emosi sampai menyebut Nonik dengan kencang. Eits, sebenarnya nama si suster bukan Nonik, hanya saja si dokter skinny suka menjuluki sembarang orang semaunya—maklumi kebiasaan warga RS Keluarga Mitra.

Si dokter skinny memasuki lab yang berlampu remang-remang. Gelap, hanya warna hitam dengan belasan layar monitor berlampu biru tua yang menyala. Di sana sudah terpampang jelas di monitor yang menempel tinggi di dinding—layarnya lebar, tak perlu mendongak. Gambar putih tengkorak dengan otak jelas terlihat. Serebrum, serebelum, otak tengah, medulla oblongata ... aduh pelajaran biologi banget! Kita skip aja ya.

Si dokter skinny meraih tetikus, lalu mengeklik beberapa kali. Ia memperbesar gambar otak yang berwarna putih terang di depannya. Dengan mulut menganga dan tanpa berkedip, si dokter skinny terus mengotak-atik gambar untuk mencari bagian pengontrol emosi. Oh iya, tak lupa keduanya sudah mengenakan kacamata lebar saat menginterpretasikan gambar otak ini, maklum sudah tua.

"Normal! Bagaimana mungkin?" ungkap si dokter skinny meremas kepalanya yang sudah botak kecuali di bagian samping.

"Pak Bos kok malah nggak seneng?" tanya si suster menyisir rambut panjangnya yang acak-acakan sebab berlari tadi, mulutnya juga masih mencucuh. "Terus itu tangannya jangan ngeremas rambutnya kenceng-kenceng, nanti rontok lho Pak Bos! Mahal tahu tanam rambut!"

Si dokter skinny menengok si suster yang ada di samping kanan, lalu menyipitkan kedua mata. Dia tahu, si suster hendak menenangkannya dengan siraman humor. Namun, ini bukan saat yang tepat. Si dokter gempal bahkan ikut-ikutan menatap malas si suster. Dia sayangnya tak bisa membenci si suster karena dia punya utang lima juta untuk ikut ikoi-ikoian.

"Normal bagaimana, Pak Bos?" tanya si dokter gempal mengalihkan perhatian dari siraman humor si suster.

"Sistem limbiknya normal!" Si dokter skinny menghunjam telapak tangannya yang sudah keriput. Oh iya, for your information, sistem limbik itu bagian yang mengatur emosi—singkatnya.

Si dokter gempal kini berekspresi sama dengan si dokter skinny. Dia menekuk dahinya kuat-kuat. Alis tebalnya menyatu. Kacamata berbingkai hitam-polkadot sampai basah terkena keringat. Suasana tegang sampai tak sanggup berpikir lurus, bahkan AC sepertinya belum dinyalakan—pantas semua berkeringat deras.

"Pak Bos, Om, aku nyalain dulu ya AC-nya?" tanya si suster bernada manja, duet angka 10 pun hanya mengangguk tak bersuara. Ketika remote AC dipencet, malah ponsel si suster yang berbunyi.

"AIYAIYA, YOU'RE MY LITTLE BUTTERFLY!" (hayo siapa yang bacanya nyanyi!)

Si suster gelagapan mengambil ponsel yang lupa ia senyapkan. Ponsel hitam dengan layar lima inci itu sampai melompat-lompat di tangan si suster yang juga dibasahi keringat. Sang duet angka 10 memelototi si suster tajam-tajam.

"Noniiikkk!!!" seru si dokter skinny memperlihatkan urat-urat tergambar jelas.

"Maaf maaf, Pak Bos! Ini pakde tiba-tiba telepon!" Si suster memencet-mencet layar ponsel cerdas menggunakan jari yang kesetanan, berharap bisa segera mati.

Tatapan si dokter skinny masih belum beralih. Wajahnya semakin merah dibakar emosi, apalagi suara kikikan si bayi tertawa masih terus terdengar sedari tadi, malah semakin keras.

"Cantik, berikan telepon ini kepada Pak Dokter!" Suara pakde si suster keluar kencang dari mikrofon ponsel. Si suster hanya menarik bibir lebar-lebar, ketakutan. Ia menurut. Si suster memberikan ponsel cerdasnya ke si dokter skinny.

Semua orang tahu pakde si suster adalah seorang dukun yang tersohor. Sang pakde telah berhasil menyelesaikan berbagai kasus hebat. Kalian pernah penasaran, mengapa tuyul tidak pernah mencuri uang dari bank? Yap, sang pakde membentengi seluruh bank di Indonesia, hebat bukan? Seorang dokter senior seperti si skinny sampai dibuat menurut oleh sang pakde.

"BIARKAN BAYI ITU!!!" Sang pakde tiba-tiba ngegas. Membuat seluruh ruang kaget sampai mengelus-elus dada, beliau—lagi-lagi—mendapat kabar gaib tentang bayi ini. "Dia adalah bayi yang diberkati! Dia berbeda! Dia akan membuat semua orang tertawa, sama kencangnya dengan dirinya!"

"Tapi pakde—"

"TIDAK ADA TAPI-TAPIAN!" bentak sang pakde memutus bantahan si dokter skinny. "Tak perlu khawatir, dia tak akan mati hanya karena terlahir tertawa. Akan ada seseorang yang menuntunnya. Nanti, saat dia memasuki akil balig, seorang peri akan muncul untuknya."

" .... "

Semua orang yang ada di lab gelap terdiam tegang.

"Dia akan membawa tawa meski harus melalui berbagai tangisan," sambung sang pakde bernada komat-kamit. "Meme akan menjadi Meme."

Sontak tawa bayi yang mengikik tak lagi terdengar. Si bayi berhenti tertawa. Ini pertanda, kisahnya sudah dimulai.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top