Epilog
Selamat ulang tahun kedelapan belas! Tulisan itu memenuhi aula dengan semburat kuning di segala sisi.
Meme sudah benar-benar dewasa. Dia kini bersiap memasuki perguruan tinggi. Pengumuman sudah keluar. Dia masuk ke program studi kedokteran di universitas ternama. "Ah, syukurlah." Di kamar, Meme menuju ke bangku belajarnya, mengambil dua buku kedokteran tebal yang akan ia masukkan ke koper.
Ulang tahun Meme diadakan sebelum keberangkatannya.
Sebuah kado seukuran kardus TV berbungkus kertas pink, ia singkirkan dari atas meja. "Ah, ini pasti dari Mi." Meme melihat di atasnya ada foto mereka berdua, sedang tersenyum sambil berpose gila. Ada tulisannya juga! Selamat ulang tahun, Pacarku! Nanti ketemu lagi di kampus!
Meme sudah berpacaran dengan Mi. Penobatan mereka berdua sebagai murid teladan SMP Bang Papgi adalah awal hubungan mereka. Mi sudah mengatakan niat jelek yang sebelumnya, tapi Meme memaafkannya—dia sudah dewasa. Keduanya menjadi pasangan super sampai bisa masuk ke program studi yang sama! Tempatnya sama pula! Hebat!
Meme dan Mi juga pasangan yang serasi. Meme menjadi pemuda jangkung yang rajin main basket. Ketika dia berada di samping Mi, Meme menjulang sampai membuat Mi hanya setinggi dagunya. Suara Meme juga semakin berat. Kau bisa mengatakan Meme banyak perubahan, tapi nyatanya tidak. Meme masih sama, dia tetap L U C U!
Meme tersenyum melihat kado sang pacar yang berlebihan. Ia menggeleng seakan berkata baru pacaran saja sudah segede ini hadiahnya, apalagi nanti kalau sudah nikah? Meme takut membuat Mi kerepotan. Dia pun mengambil ponsel untuk menghubungi Mi. "Terima kasih hadiahnya, Sayang. Tapi tidak perlu sebesar ini." Kirim!
Meme menatap ke luar jendela. Dia masih tersenyum. Pemuda itu tak menyangka hari ini terjadi juga. Aku sudah dewasa. Kata dewasa seketika mengingatkannya kepada kejadian tiga tahun lalu: kemunculan peri.
Meme memang sudah dewasa, tapi—jujur—dia masih merasa kesulitan mengatur lawakannya. Kadang kebablasan, kadang juga di bawah standar. Dia masih teringat kepada si peri. Seandainya, aku bisa berdoa seperti ibuku, dan meminta si peri menemaniku, Oh Tuhan, aku mau Engkau mengirimkannya kepadaku.
Meme menghela napas berat. Dia paham, si peri tak mungkin datang menemaninya. Pemuda itu mengambil buku yang sudah ada di depan mata. Ia masukkan kedua buku itu ke dalam koper kuning yang sudah berjajar rapi di samping tempat tidur. "Semuanya sudah siap!"
Meme beranjak, lalu beralih ke depan kaca. Dia menata kemeja kuning dengan dasi kupu-kupu. Celana chinos putihnya juga ia bersihkan dari debu-debu. Rambut cepaknya ia sisir ke belakang, mengilap kencang nan rapi, gel rambut g*tsby sudah ia bubuhkan ke seluruh helai rambut. "Oke, sudah siap! Waktunya berangkat— eh apa-apaan ini! Perutkuuu!!!"
Meme mules, bergegas ke kamar mandi.
Lima belas menit genap ia habiskan di sana. Dia tersenyum, mengelus-elus perut. Ah leganyaaa. Meme tak lagi memiliki beban di perutnya. Karena sudah menghabiskan banyak waktu di toilet, Meme harus merapikan diri—sekali lagi. Ia menatap cermin.
"Tunggu ... ada yang salah ...."
Meme melihat ke dalam kotak obat. Dia melihat ada yang hijau-hijau bergerak di dalam. Pemuda itu membukanya. Eh? Tidak ada yang aneh di dalamnya. Hanya ada hairdryer, sabun cair, face wash Meme, paket skin care mamah, dan sekotak peralatan sikat gigi. Meme pun menutupnya.
Dia berbalik, akan keluar kamar mandi.
"Meme ...."
Suara bisikan tiba-tiba membuat bulu kuduk Meme berdiri. Meme terperanjat, membeku. Dia tak sanggup melangkah, begitu juga menoleh. Oh ayolah, mana ada hantu itu! Sekarang juga baru habis isya, belum lewat jam delapan malam! Meme menarik napas. Dia menguatkan diri. Meme akan berbalik, mengecek apa yang ada di belakangnya.
Meme berbalik, dan dia ... terperangah.
Meme melihat sosok yang membuatnya menangis. Bukan, bukan menangis ketakutan! Meme menangis haru. Di depan matanya, ada sosok yang sudah lama ia nanti-nantikan.
Itu 'lah si peri.
"Halo, Meme! Lama tak ketemu!" Si peri melambaikan tangan, tersenyum lebar.
"Kamu! Bagaimana bisa kamu ke sini!"
"APRIL MOP!"
"Hah?! Bukannya sekarang ...." Perkataan Meme terputus. Dia ingat kalau dia lahir pada tanggal satu April.
Sekarang adalah April Mop.
Meme berkacak pinggang. Dia mengekeh renyah, bercampur tangis-senang dan haru. Dia merasa dibodohi, tapi dia malah suka, setidaknya Meme bisa bertemu dengan si peri.
"Bagaimana kau bisa menemuiku lagi?"
"Kau yang memanggilku kemari, Meme!"
"Hah, aku?"
"Iyaaa! Doamu yang membuat Tuhan mengutusku lagi kepadamu!"
Sontak Meme teringat dengan doa yang lima belas menit sebelumnya ia utarakan. Ituuu, doa saat dia mengambil dua buku tebal. Wow! Meme tak menyangka doanya bekerja juga. "Tunggu, tapi bukannya itu melanggar kontrak tugasmu?"
"Ehm, bisa dikatakan iya, tapi aslinya tidak. Kedatanganku ini murni karena doamu. Tugasku di sini bukan untuk membimbingmu. Sudah beda! Aku di sini hanya untuk menemanimu!"
Oh, pantas, si peri sangat ceria. Dia murah senyum sekali!
"Tapi pakde bilang tugas peri ...."
"Kamu nggak tahu lengkapnya sih! Kan kalau peri pergi, bukan berarti peri nggak bisa dipanggil lagi!"
Meme menepuk kepalanya—membodohkan dirinya. Ia membatasi segala kemungkinan yang bisa terjadi. Doa 'lah yang menyebabkan semua keajaiban di seluruh cerita terjadi. Mengapa dia tidak berdoa saja dari dulu?
"Oke, Meme. Coba lakukan itu!"
"Lakukan apaaa?"
"Coba lihat selera humorku."
"Hah? Kau sudah punya selera humor?"
Si peri mengangguk, tersenyum riang. Dia menunggu Meme menerawang isi pikirannya, tapi pemuda itu malah kebingungan.
"Mengapa tidak bisa?"
Hahaha! "Double April Mop!"
"Oh jadi kau membodohiku ya!"
"Nggak juga kok! Aku punya selera humor, tapi kamu tak bisa melihatnya. Selera humorku adalah selera humormu. Aku ada karena kamu. Jadi, kita adalah satu tubuh yang sama!"
"Ih, ngeri!" Meme menarik bibirnya, berekspresi aneh.
Keduanya tertawa terbahak-bahak. Si peri bahagia bisa mendengar lawakan Meme lagi. Meme pun senang bisa mendapat sang pengawas kembali.
"Aku— tidak, maksudku kami! Kami senang kau datang kembali!"
Meme, Mi, dan peri mendapatkan kebahagiaan. Meski banyak orang yang mengatakan kebahagiaan abadi itu tak nyata, tapi akhir yang bahagia itu nyata! Ini buktinya!Dua perempuan yang sudah mengusik hidup Meme: Mi dan si peri, berubah menjadi sumber kebahagiaannya.
Meme akan menolong banyak orang dengan menjadi dokter. Dia juga akan menolong banyak orang dengan lawakannya. Dokter dan tertawa! Keduanya sangat pas dijadikan kombinasi!
Jadi, apa yang bisa kau ambil dari cerita Meme, Mi, dan peri? Tidak, kau tak harus menyebutkannya satu per satu! Hanya saja, kau harus mengingat ini ....
Lucu bukan tentang seberapa kencang kau tertawa. Lucu adalah tentang seberapa sehat hatimu.
Ketika kau memandang dunia berwarna kuning, penuh keceriaan-yang aslinya berwarna kelabu penuh kesedihan, kau sudah menemukan kelucuan yang sebenarnya.
Tak perlu menunggu kebahagiaan! Tersenyumlah! Tertawalah! Kebahagiaan akan mendatangimu.
Tapi jangan lalai dengan segala bahakan! Itu akan mengeraskan hatimu, lalu membuatmu lupa kepada orang-orang sekitarmu yang tenggelam dalam kesedihan.
Akhir kata, saat kau sedih, berbahagialah! Saat kau bahagia, berbagilah!
Selamat menemukan arti lucu, kamu!
—
Tertanda Meme, Mi, dan peri.
Meme-Mi Peri(h)
S E L E S A I
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top