8. Ulang Tahun Keseratus
Senin, seminggu setelah ujian nasional, sederet kolom angka hitam-putih memenuhi layar ponsel yang ada di genggaman Mi.
Mi bersorak gembira setelah gemetar menunggu angka-angka yang perlahan muncul. Gadis itu sudah menunggu dua jam! Kau tahu, dia sedang melongok nilai-nilai ujian nasional—yang tidak resmi diumumkan—dari murid-murid SMP Bang Papgi. Beruntung sekali Mi punya papa seorang kepala sekolah, dia bisa mencuri akses awal.
Dua ratus delapan puluh dari tiga ratus satu! Ah kenapa sih yang dikoreksi duluan punya anak reguler! umpat Mi.
Well, kau harus tahu, Mi adalah anak kelas percepatan (akselerasi) yang cuma sekolah dua tahun. Mi secara teknis masih kelas delapan. Itu 'lah sebabnya kelas 9A yang menjadi raja angkatan; kelas percepatan lebih dianggap sebagai anak bawang soalnya.
Tunggu, semuanya sudah keluarrr! Mi tercekat. Matanya menatap layar sampai tak berkedip. Bahasa Indonesia seratus ... Bahasa Inggris seratus ... matematika sembilan puluh tujuh koma lima ... IPA sembilan puluh tujuh koma lima ... Total tiga ratus sembilan puluh lima ... "YEYYY!!! AKU PERINGKAT SATU!!!"
Mi bersorak sampai terdengar di seluruh penjuru kantor sang papa. Ia bergegas menjemput papa yang tadi pergi untuk ke toilet. Eh, pintu coklat berdaun kuning keemasan malah diputar, menampakkan papa yang tergopoh-jelas karena teriakan Mi.
"Ada apa, Miii!!!"
"Papaaa! Akuu peringkat satuuuu!!!"
Keduanya berpelukan, lalu melompat-lompat bersama. Papa Mi jelas mengharapkan putrinya bisa menjadi peringkat satu; terkabul! Harga dirinya sebagai orang tua yang berhasil mendidik anak tidak akan sirna. Bangga sih bangga, tapi mereka seharusnya ingat sekarang masih pukul sembilan. Banyak anak masih di sekolah. Eh, tapi nggak apa-apa, kantor kepala sekolah hampir kedap udara. Kantornya seluas setengah ruang kelas dengan dinding ber-wallpaper hijau cozy yang di baliknya sudah dipasang peredam suara. Jadi, aman.
Eh, tunggu. Rasanya ada yang kurang. "Papa, aku tidak melihat nama Meme." Mi menyadarinya.
"Ah, itu ...."
Papa beralih ke bangku kerja yang dilengkapi kursi hitam empuk layaknya seorang bos. Ia membuka laci yang ada di pojok kanan, lalu mengambil sebuah tablet. Ia mengetik beberapa kata di kolom pencarian. "Ini, sudah ketemu." Papa menyodorkan tablet yang ia bawa ke atas meja kaca, tepat di depan Mi yang duduk di sofa hijau panjang.
"Apa ini, Pa?"
"Baca saja ...." Papa bersedekap, menunggu Mi habis membaca.
"Sebuah kecelakaan di kilometer dua puluh delapan menelan dua korban jiwa yang ada dalam mobil yang sama."
Mi terperangah. Dia tak habis pikir apa yang barusan telah ia baca.
"Papa! Berita apa ini? Apakah Meme dan mamahnya ...." Wajah Mi sontak berubah pucat.
"Meme dan mamahnya tidak apa-apa."
"Jadi berita itu?"
"Berita itu benar. Keduanya terlibat kecelakaan saat Minggu malam. Ada dua korban jiwa, tapi mereka bukan Meme dan mamahnya."
Mi mengelus dada, sejenak dia bernapas lega. Gadis itu tadi memikirkan yang macam-macam. Namun, tetap saja. Mi tak bisa tenang.
"Terus bagaimana ujian Meme, Pa?"
"Dia tetap ujian, tapi di rumah sakit. Dia menolak ikut susulan, katanya hasilnya akan sama saja."
"Tapi aku tadi tidak melihat namanya, Pa."
"Tunggu saja sebentar lagi."
Layar ponsel yang menampilkan kolom angka-angka, bergerak lagi. Ada satu input nama yang masuk. Itu 'lah punya Meme. Mi pun buru-buru mengecek ponselnya.
Bahasa Indonesia seratus ... Bahasa Inggris sembilan puluh empat ... matematika seratus ... IPA seratus ... totalnya tiga ratus sembilan puluh empat. "Meme peringkat dua."
Mi tak tersenyum. Hatinya mencelos. Dia memang ingin mengalahkan Meme, tapi mengapa gadis itu tak bisa bersorak? Ada rasa sakit di hatinya. Seperti ... hampa.
"Nah, Mi masih peringkat satu kan? Jadi apa salahnya? Kenapa Mi masih muram?" ujar papa tiba-tiba.
"Ah, tidak, Pa. Mi masih kaget dengan berita kecelakaan Meme."
"Oalah, gitu. Tapi kamu seneng lah seharusnya! Persiapkan dirimu! Kamu nanti bakal menjadi murid teladan saat Purnawidya, sekaligus memperingati hari ulang tahun SMP kita yang keseratus!"
"Ah ... iya, Pa." Tidak, bukan ini yang gue harapkan. Hati gue-entah kenapa-menolaknya. Cara ini ... tak benar.
Oh Tuhan, apakah gue harus memperbaiki ini semua?
Sebulan setelah ujian nasional, pagi ini SMP Bang Papgi merayakan ulang tahun keseratus, sekaligus Purnawidya murid kelas sembilan.
Sekolah dipenuhi murid-murid berjas rapi dan kebaya anggun. Keluarga yang berbondong-bondong mengucapkan selamat juga berseliweran, tak kalah memenuhi sekolah. Gedung serba kuning menambah keceriaan hari ini. Senyuman adalah hal pertama yang kau temui. Namun, kau tak akan menemuinya di gadis itu ....
Mi termenung; mulutnya komat-kamit. Kebaya merah muda dan make-up flawless ala-ala artis Korea tak membuatnya cerah. Dia masih memikirkan Meme. Apa yang harus gue lakukan untuk menebusnya? Mi tak sanggup menjadi siswi teladan. Dia sudah memikirkannya sebulan ini.
Gue nggak boleh menggunakan cara haram untuk menjadi pemenang. Rasanya ... berbeda. Membuat Meme terpuruk dalam overthinking adalah kesalahan besar. Bisa dibilang, kecelakaan yang menimpanya, itu salah gue. Bodohnya gue! Gue pengen menang, tapi gue rasanya ... kalah. Pokoknya, gue sudah mikirin ini mateng-mateng. Meme harus menerima apa yang pantes dia terima.
Mi bangkit dari kursi empuk berumbai putih-hitam dengan pita kuning di belakang. Dia melangkah tegap. Gadis itu mendatangi papanya. Mi mengajukan permohonan kepadanya. "Papa, aku mau ...." Mi berbisik.
"Apa kau yakin, Mi?"
"Iya, Pa. Lagi pula, dia memang pantas mendapatkannya."
Papa terdiam. Dia tersenyum. Ia tak pernah menyangka putrinya rela membisikkan hal yang barusan. "Kau sudah dewasa, Mi."
Keduanya menatap Meme yang bercengkerama dengan dua teman dekatnya. Bocah itu sudah kembali seperti semula, tak tertekan layaknya mayat hidup. Aura ceria menguar dari diri Meme, apalagi jas hitam-putih dengan aksen kuning yang ia kenakan. Kacamata kuningnya menambah kecerahannya.
Bambang dan Norit malah menambah keceriaan Meme. Bambang tak mengenakan jas, batik coklat yang pas di badan—gagah. Keluarganya lebih setuju mengenakkan batik daripada jas, menghormati budaya—katanya. Norit mengenakan gaun-kebaya (model modern) yang berwarna pink yang roknya bermotif batik putih, cukup ketat.
Gue pasti nggak bisa hidup tenang kalau sampai lu meninggal dalam keadaan tertekan karena gue, Meme. Mi menatap nanar ke arah Meme dan kedua temannya. Gue nggak mau jadi orang jahat. Meme, gue pastiin, lu harus ngedapetin apa yang semestinya lu punya.
Lima jam berlalu, hari mulai semakin sore, langit sudah menunjukkan mega oranye. Mi akan melakukan penebusan dosa. Dia sudah menantikannya-harap-harap cemas. Ini 'lah saatnya.
Papa Mi menaiki panggung. Dia mendapat kehormatan untuk memimpin bagian yang paling penting: penganugerahan murid teladan. Semua orang bersorak menyebut nama Mi sebagai sang peraih nilai tertinggi. Namun, masih ada juga yang meneriakkan nama Meme. Bagaimanapun juga, dia adalah seorang maskot kan? Banyak penghargaan ia sumbangkan untuk SMP Bang Papgi.
Teriakan semakin riuh. Meme atau Mi? Kepala sekolah hanya tersenyum, tak gemetar. Dia terkekeh seperti sudah menyiapkan jawaban yang akan membuat semua orang tersenyum.
"Baiklah, akan segera kuumumkan," ucapnya, "murid teladan SMP Bang Papgi yang keseratus adalah ...."
Nama Meme dan Mi semakin riuh disorakkan. Para siswa meneriakkannya bagai yel-yel yang harus dimenangkan.
"Murid teladan jatuh kepada ....
"MEME DAN MI!!!"
HOREEEEE!!!
Seisi aula bersorak keras. Meme terperangah, juga tersenyum. Bambang dan Norit menggoyang-goyangkannya tak karuan. Mi tersenyum anggun bagai mengatakan tentu gue udah tahu. Teman-temannya bertepuk tangan kekinian. "Akhirnya, lu berhasil ye cyiiin!"
Meme dan Mi maju ke depan panggung menerima piala.
Keduanya menatap haru, senyuman lebar sama-sama mereka guratkan. Di atas panggung, mereka mengangkat trofi kuning keemasan setinggi satu meter dengan logo SMP Bang Papgi dan tulisan 100. Mereka mengangkat piala mereka tinggi-tinggi-puas, sampai keduanya lelah untuk tersenyum.
Meme dan Mi bersorak. Selamat! Mereka pantas mendapatkannya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top