7. Dewasa

Sepasang mata mengerjap, masih berkunang-kunang.

Di mana aku? Itu 'lah pertanyaan yang dilontarkan Meme meski mulutnya terkunci. Dia baru sadarkan diri. Kemeja putih dengan motif polkadot kuning sudah tak dikancingkan, berganti dipenuhi bundaran-bundaran kecil di dada untuk mendeteksi apakah kehidupan masih dimiliki bocah ini. Suara bip-bip menyeruak masuk ke dalam kuping Meme, khususnya yang sebelah kiri—maklum alat itu diletakkan di kiri kasur. Selain suara dari mesin yang bernama EKG (elektrokardiogram), semburan udara dingin di kedua lubang hidung tak kalah mengganggu Meme. Ia bahkan ingin menarik nasal kanul yang bertengger menyemprotkan oksigen. Namun, Meme urung menariknya. Ia sadar, ada sebuah infus yang menusuk tempurung tangan kanan.

"Meme, kamu sudah sadar?" Sebuah suara membuat Meme menoleh ke kanan. Itu adalah suara mamah, hanya saja berbeda, yang ini samar-samar, tidak seenergik biasanya.

"Mamah?"

"Syukurlah kamu sudah siuman."

Meme menghela napas panjang. Kelegaan mengisi sekujur hati Meme. Kau bahkan bisa melihatnya dari muka yang berubah menjadi berwarna—sebelumnya pucat padahal. Sebuah kilasan memori berupa klakson panjang sebuah truk kelabu, lalu diikuti teriakan Mamaaahhh, sedemikian hingga semuanya berputar—dua kali kalau Meme ingat—sampai ada suara berdecit yang tak lama memunculkan sebuah airbag empuk, membenamkan wajahnya, berakhir tak sadarkan diri.

Itu tadi kecelakaan yang sudah menimpa Meme dan mamah.

"Mamah tidak apa-apa?" tanya Meme, membalas pertanyaan.

"Tidak apa-apa kok. Mamah bahkan nggak pingsan sama sekali. Meme yang membuat mamah khawatir. Meme benar-benar pingsan tadi."

"Yaampun, ternyata begitu ceritanya ...."

Keduanya diam sejenak. Mereka mengizinkan suara bip-bip memenuhi ruangan untuk sementara. Mamah masih tersenyum, aneh, seperti sedang memikirkan sesuatu. Meme menyadarinya, tapi ia bingung harus mulai bertanya dari mana.

"Mamah—"

"Maafkan mamah ya, Meme."

Usaha Meme membuka pembicaraan dibatalkan sergahan mamah. Wanita itu sontak mengucap maaf, membuat Meme berhenti melanjutkan perkataan. Meme menutup mulut. Ia memandang wanita di sampingnya lekat-lekat. Oh ya ampun! Kau pasti akan sama tak mampu berbicara seperti Meme. Mamah sangat ... kacau, maksudnya kalem—ini tak biasa, tahu! Lipstik merah yang menyala tak lagi menempel di bibir. Rambut hitam bergelombang selicin iklan Pant*ne digantikan dengan rambut kusut yang tak tersisir. Pucat, adalah kata yang tepat untuk menggambarkan mamah.  Namun, wanita itu tidak pucat seperti lesu, tapi semacam pucat khawatir, sekaligus bercampur rasa bersalah.

"Karena mamah, kita berdua hampir kehilangan nyawa," ucap mamah.

Oh, Mamah bersalah karena gelitikan yang sebelumnya? Setelah lawakan ketiga? Meme terkekeh renyah. "Tidak kok, Mah. Inimah kitanya aja yang apes. Di saat jalanan adem ayem, tiba-tiba ada truk segede gaban mau nyeruduk kita dong! Malah Mamah yang berhasil nyelametin nyawa kita! Bayangin kalau Mamah nggak langsung ngedrift kayak di Fast and Furious, woah, kita sudah tamat, Mah! Kayak remah rempeyek!"

"Ah, gitu ya ...?" Mamah tertawa.

Meme sejenak bisa melihat muka berseri mamah. Pucat yang tadi bisa digantikan dengan sedikit warna. Meme masih bisa melawak di keadaan seperti ini. Tunggu ... kata lawakan membuat Meme mengingat sesuatu. Sebenarnya, aku yang harus disalahkan. Meme bergumam sendiri. Ia sontak melonjak, menggapai pundak kanan, mencari makhluk itu. Meme sadar, si peri sudah memberikan nasihat yang sebenar-benarnya.

Si peri masih berada di pundak kanan Meme.

Dia mendecih, pun menggelengkan kepala. Seakan berkata sudah kubilang kan, tapi dia tak tega. Si peri memberikan senyuman, lalu mengelus pipi empuk Meme yang sebelah kanan.

Meme menunduk—malu. Mulutnya ia tarik, ingin sekali mengatakan maaf, tapi di sampingnya ada mamah, tak mungkin Meme berbicara sendiri, bisa-bisa mamah curiga. Senyuman 'lah satu-satunya isyarat yang Meme harap bisa dimengerti si peri, beruntung dia—sepertinya—mengerti. Senyuman juga tertaut di bibir merah muda si peri.

Tiba-tiba peri itu tertawa! "Katakan apa yang ingin kau katakan."

Leap!

Meme sontak terperanjat. Dia kini sedang berada di depan kelas! Pintu dan jendela berwarna kuning kusam yang ada kaca buram yang bisa digunakan mengintip, dan rak sepatu besi yang selalu ditemui tiap pagi ..., tak salah! Ini memang di depan kelas. Tunggu, apa ini mimpi? Meme melihat sekujur badannya sudah mengenakan seragam putih-biru. Tubuhnya juga sudah bugar, mulus, dan tak ada lecet!

"Apa-apaan ini?!—"

"Katakan semuanya kepadaku, Meme. Tak perlu malu."

Di seberang pintu kelas, sebuah suara yang Meme kenal—si peri—memanggilnya. Meme sontak menatap ke kaca di depannya, yang memantulkan sebuah pantulan gadis.

Itu si peri! Namun, dia ... besar. Bagaimana bisa?

Meme mendekat. Keduanya seperti teman sepantaran yang saling berhadapan, bukannya tuan dengan jin yang selalu mengikuti. Meme bisa melihat si peri setara dengannya meski masih lebih pendek—setelinganya. Wow! Meme terperangah. Si peri bagai boneka. Kali ini dia tak menimbulkan kekesalan di hati Meme, berbeda saat dia seukuran sikat gigi. Eh, ada yang Meme lupakan. Bocah itu terperangah tak hanya disebabkan teleportasi ke alam mimpi dan wujud si peri yang tiba-tiba mengalami ekstensi. Dia tadi terkejut, SI PERI AKHIRNYA TERTAWA!

"Bagaimana bisa?! Kau ...." Meme meracau, memegangi kepala dengan kedua tangan. Si peri hanya tersenyum, menampakkan jajaran gigi putih. Pemandangan itu membuat Meme ikut tersenyum. Sama-sama senang!

Tapi Meme mengurungkan senyumannya.

Suara klakson truk dan mobil yang berguling membuat dia berpikir terlebih dahulu. Apakah aku boleh melawak di saat seperti ini? pikirnya, "aku ... mau minta maaf. Aku sudah tidak menggubrismu, bahkan mau mengusirmu. Maaf ...."

"Tapi kalau sekarang?"

"Hah?"

"Apakah kau mau mengusirku?"

"Tidak." Meme menggeleng, menyesal. "Tetaplah di sini. Aku ... membutuhkanmu."

"Kenapa harus murung, Meme? Kamu sudah dewasa sekarang! Setidaknya sedikit. Tapi bibit kedewasaan sudah tertanam! Perlahan, bibit itu akan tumbuh subur dan menghijaukan hatimu," ujarnya, "kecelakaan barusan membuat bibit itu muncul. Seharusnya bibit trauma sih yang muncul ..., tapi kamu berbeda! Kamu—aku akui—sangat cerdas! Kamu malah mengambil pelajaran dari kecelakaan tadi, bukannya rengekan seperti bayi!

"Meme, kamu sudah dewasa."

Si peri tersenyum, tapi Meme menganga. Meme merasakan sebuah firasat buruk. "Mana mungkin aku bisa senang? Kalau kau mengatakan ini semua, apakah artinya kau ... akan pergi?" ucap Meme, berkaca-kaca, "tak mau! Tetaplah di sini!" Meme menyergah, lalu memegangi ikat gaun hijau di pinggang si peri—mencegah untuk pergi.

Kau tahu ungkapan ketika kau tak butuh, aku akan tinggal, dan sebaliknya? Ini persis dengan keadaan Meme. Dulu Meme ingin sekali mengusir si peri, mengganggu katanya. Namun, sekarang dia malah menahannya. Dia tahu, keberadaan si peri sangat membantunya. "Kau bisa menghentikan lawakanku ketika aku sudah kebablasan!" ungkapnya, "keberadaanmu ... sangat membantuku."

Si peri terdiam, tapi masih tersenyum. Dia memberikan tatapan nanar kepada Meme. "Tugasku sudah selesai, Meme. Ini adalah tanda kedewasaanmu. Meskipun belum benar-benar dewasa, tapi perlahan kau akan matang," ungkapnya, semakin berkaca-kaca, "jika aku tetap bersamamu, kematanganmu malah semakin lama, bahkan gagal."

Meme menunduk. Ia paham maksud si peri—semuanya. Bocah itu dapat membayangkannya dalam logika yang paling logis, merelakan si peri adalah hal yang terbaik. Huft! "Apa boleh buat ...." Meme membuang napas berat. Bibirnya tersenyum ikhlas, tapi matanya menyorot pilu.

"Eh, tapi jangan sedih dulu!" Si Peri memutus kegundahan Meme. "Masih ada seorang perempuan yang bisa menjadi pelindungmu. Dia adalah mamahmu! Kau tahu, dulu saat papahmu meninggal dunia—kau masih di kandungan—Mamahmu berdoa kepada Tuhan untuk diberikan kebahagian. Dia ingin menolong orang-orang yang terpuruk dalam kesedihan. Walla! Tuhan mengehendaki seorang bayi lahir tertawa! Itu kau, Meme! Jadi, mengapa harus sedih saat kutinggal? Kau masih punya perempuan itu!

"Jagalah dia, maka Tuhan akan menjagamu."

Meme berdiri membeku. Matanya melotot; mulutnya menganga. Itu semua benar! Meme menertawakan dirinya sendiri. Kecelakaan membuat dia berpikir pendek—sedikit. Seharusnya dia bisa memikirkan apa yang sudah dikatakan si peri. "Baiklah, aku mengerti!" ucap Meme, tersenyum lebar. Dia mengacungkan jempol tangan kanannya. Meme pun menyambut senyuman si peri dengan sama lebarnya, menampakkan jajaran gigi tertata rapi.

"Meme, aku pergi dulu." Si peri memudar, perlahan menghilang tak berbekas, menyatu dengan udara tipis.

Sudah selesai, Meme telah dewasa.





Meme mengerjap sekali lagi. Sebuah suara berat membangunkannya. Ternyata benar, si peri membuatnya tidur sejenak. Keduanya pun masuk ke alam mimpi 'tuk saling berbicara.

"Kau tidur lagi? Apa ada yang sakit?" Seorang dokter berbaju hijau medis menggoyang lengan kanan Meme. Dokter itu ternyata orang yang membangunkan Meme.

"Tidak, Dok. Aku hanya tidak sengaja tertidur tadi."

"Oalah, hanya ketiduran. Syukurlah!"

Suara dokter yang berat—sebenarnya tak jelas, sudah pasti masker yang menutupi mulut adalah penyebabnya. Pria itu kini mencatat sesuatu di papan jalan yang menjepit beberapa lembar tulisan. Dia menulis laporan. Wajahnya cerah, Meme dan mamah pasti dalam keadaan baik, maka dari itu, dia tersenyum meski laporan yang harus ditulis lebih dari lima lembar.

"Oke, Nak Meme, Bu Meme, kalian akan dipindahkan ke ruang rawat inap. Keadaan kalian membaik, tapi trauma di beberapa bagian: tangan, kaki, dada, leher, dan kepala, membuat aku tak bisa mengizinkan kalian pulang. Jadi, aku harap, kalian tak perlu merisaukan segala urusan duniawi. Pokoknya kalian harus bed-rest total!"

Tapi ujian nasionalnya!

Besok Senin, maksudnya beberapa jam lagi, ujian akan dilaksanakan. "Aku ada ujian nasional, Dok!" putus Meme, tergopoh, "aku harus pergi ke sekolah nanti pukul sembilan!"

"Ah, tentang itu, sebentar lagi pihak sekolah akan datang ke sini," jawab sang dokter, "pilihannya ada dua: ikut ujian susulan minggu depan—dengan soal berbeda (kemungkinan lebih sulit), atau tetap ujian, tapi di rumah sakit. Keputusan ada di tanganmu."

Meme tersenyum. Dia berterima kasih kepada sang dokter. Kali ini bocah itu sudah memiliki jawaban sendiri. Kau tahu, Meme adalah bocah jenius, TAPI tidak hanya itu ....

Meme sudah dewasa. Aku memilih pilihan yang kedua.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top