6. Ujian
Tak semua tawa diawali oleh kelucuan, tak sedikit, sebuah tawa bahkan mengundang musibah.
Meme bersedekap memangku dagu; tangan kanannya sudah lama menempel di sana. Dia masih mencureng. Lingkaran hitam sedikit tergambar di samping matanya. Badannya juga semakin kurus—turun dua kilogram. Meme benar-benar stres. Kilatan putih lampu-lampu jalan yang berseliweran tak mampu menghiburnya, termasuk sang mamah yang ada di samping—sedang mengemudi.
Meme dan sang mamah melaju pulang setelah dinner di restoran all-you-can-eat—mereka pulang pukul sembilan. Kata sang mamah, malam ini harus menjadi masa tenang untuk Meme sebelum mengerjakan ujian nasional besok pagi pukul sembilan. Sekarang sudah hari Minggu. Kemarin, selepas pulang dari rumah pakde pada hari Sabtu, Meme langsung pamit. Ia tak bisa diajak berdiskusi. Grandpa juga menyarankan agar Meme diberi waktu untuk merenung, memikirkan semuanya, termasuk confessing Mi.
Meme belum berpacaran dengan Mi.
Dia tahu, sebentar lagi keduanya lulus dari SMP Bang Papgi; peraturan tak boleh pacaran akan tak berlaku. Namun, ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkannya. Hari Senin masih harus berperang melawan ujian nasional. Apalagi, kepala Meme masih berdenyut keras dibuat kehadiran sang peri. Meme tak bisa menjadi dirinya sendiri.
Apa-apaan pesan yang si peri itu sampaikan? Tawa tak disebabkan kelucuan? Malah tawa bisa mengundang musibah? Mana mungkin? Ngaco, kayak Joko Sembung main gitar! Gak nyambung jreng!
"Meme, kamu lagi tertekan?" Mamah tiba-tiba bertanya. "Ujian nasionalnya sesulit itu ya? Kamu kayak lagi mikir keras banget dari tadi. Lagi pusing belajar ya?"
"Nggak Mah, maksudku, lumayan ... gampang. Tapi Meme nggak boleh ngentengin, Mah. Kalau lengah, nanti malah keperosok!" Wah, mamah ngapain tiba-tiba tanya gitu ya? Emangnya wajahku kentara kayak orang stress ya?
Meme mengecek kaca yang ada di atas dasbor mobil. Tunggu, kalian harus tahu, Meme dan mamahnya masih di perjalanan pulang, mengendarai mobil. Mercedez Benz yang sudah dicat kuning, beserta segala pernak-pernik, termasuk jok, adalah kendaraan yang sedang mereka naiki. Kuning menjadikan suasana ceria—seharusnya, tapi tidak dengan Meme.
Mamah tidak boleh sampe tahu. "Enggak kok, Mah. Meme tadi diem aja mikir tebak-tebakan buat Mamah!"
"Ah, boleh itu!"
Meme menarik napas, mengingat-ingat lawakan kesukaan sang mamah. Kau tahu, mamah Meme punya selera humor yang mudah ditaklukkan oleh Meme. Ini karena selera humor mamah: Meme itu sendiri. Dia sangat menyayangi Meme. Apa pun tentang Meme, entah itu cuma wajah cemberut, maupun kentut, semuanya mampu membuat mamah tertawa.
Mamah mulai membuka mata lebar-lebar. Jari lentiknya dengan kuku bercat merah menggenggam setir mobil lebih kencang. Wanita itu sudah siap. Kau bahkan bisa melihat dadanya naik turun semakin cepat. Setelan putihnya bergerak sedikit sebab tarikan napas, juga kalung mutiara yang ia kenakan. Mamah menyibakkan rambut hitamnya yang bergelombang ke pundak kanan, berharap bisa mendengar Meme—yang ada di sebelah kiri—dengan lebih jelas.
"Ayo, Meme. Mamah sudah nggak sabar menunggu."
"Ehm, enaknya lawakan yang mana ya? Oh! Gimana kalau yang ini!" gumam Meme , "Mamah udah pernah denger lawakan ikan?"
"Beberapa sih udah? Btw, kenapa harus tentang ikan?"
"Kan tadi kita habis makan all-you-can-eat olahan seafood!"
"Oh iya benar!"
Tawa pecah di antara keduanya. Lawakan bahkan belum dimulai padahal. Mereka berdua sangat hangat, membuat banyak keluarga yang iri melihat hubungan ibu-anak seperti mereka.
"Meme mulai yang pertama ya, Mah!" Meme menghadap sang mamah, menunjuk—seolah-olah mengajak menebak jawaban. "Mamah siap ya?"
"Lesgo!"
"Ikan kan hidupnya setiap hari berenang. Dari pagi sampai pagi berenaaaaaang teruss. Tapi ada lho Mah ikan yang suka berhenti. Ikan apa Mah namanya?"
"Wah, ikan apa ya? Kok bisa beda gini nih si ikan?" Sang Mamah menggaruk kepala—kebingungan. "Ikan kutilang?"
"Yee, itu kan kalau burung apa yang sering disetop pak polisi! Burung kutilang!"
"Hahaha, iyaa! Mamah taunya itu doang!"
Meme dan mamahnya tertawa renyah. Sang mamah belum menutup mulut; ia menunggu jawaban dari Meme, pasti membuatnya tertawa terpingkal-pingkal.
"Jawabannyaaa ... ikan ...." Meme membuat jeda. "Ikan paus!"
"HAHAHAHAHAHAH!!! Bisa aja kamu, Meme!" Sang mamah tertawa terpingkal-pingkal. Itu padahal tebak-tebakan lawas yang banyak orang sudah tahu jawabannya. Tapi kalau Meme yang membawakannya, sangat berbeda! Intonasi! Bahasa tubuh! Ekspresi wajah! Semuanya sempurna! Muah! Apalagi humor sang mamah adalah Meme, jadi tambah pecah lawakannya.
"Tapi Mah! Sebenarnya paus itu bukan ikan sih, dia mamalia. Yaudahlahya, ikutin aja!" tutur Meme.
Keduanya menyambung tawa. Air mata sampai keluar dari ujung pelupuk sang mamah. Sang mamah sudah sangat terhibur. Namun, Meme hendak memberikan lawakan yang kedua. Dia terhenti sejenak; si peri yang ada di pundak kanannya tiba-tiba menjewer, mengatakan, "Sudah cukup!" Namun, Meme tak menggubrisnya.
"Mah, next question yes?" sambung Meme.
"Iyesss!"
"Langsung aja ya, Mah!" Meme bersiap. "Mamah, tahu ikan-ikan apa yang matanya ada banyak?"
"Wah, yang ini mamah tahu jawabannya!" Mamah mengacungkan jari. "Jawabannya ... ikan teri sekilo!"
Jawaban Mamah benar, tapi Meme bersiap mengelak. "Salah! Jawabannya ikan teri dua kilo!"
"HAHAHAHAHAHAHAHA!!!"
Tawa meledak sekali lagi di antara keduanya. Bagaimana tidak, mamah tidak pernah menduga twist yang diberikan oleh Meme. Jawabannya benar ikan teri sekilo, tapi Meme mengeles dengan memberikan jawaban ikan teri dua kilo. Kalian paham kan, ikan teri dua kilo pasti lebih banyak daripada sekilo! Hahaha! Ada-ada saja si Meme ini!
Suasa mobil lebih mencair. Meme tak lagi mencureng; ia melupakan masalahnya sejenak. Ya, seperti dugaan, si peri sekarang menyentil kuping Meme untuk menghentikan lawakan Meme. Ini semua sudah cukup. Tertawa lebih banyak daripada ini sangat berbahaya! Meme bahkan membuat tawa sebagai jalan keluar. Iya, itu tak salah, tapi itu tak benar. Meme harus tahu.
Si peri bersedekap; wajahnya ia tekuk—marah sekaligus kecewa. Ia mendekat ke kuping Meme lalu membisikkan sebuah nasihat, perkataan yang sebelumnya membuat Meme terdiam selama perjalanan pulang.
Tak semua tawa diawali oleh kelucuan, tak sedikit, sebuah tawa bahkan mengundang musibah.
Meme berdecih. Ia tak mau menuruti si peri kali ini. Sekarang adalah momen kebersamaannya bersama sang mamah. Ia tak mau diganggu. Meme ingin bisa tertawa bersama sang mamah, wanita yang menyayanginya.
"Mah, Meme masih ada satu tebakan lagi. Yang ini pasti Mamah nggak tahu." Meme kembali memasang wajah ceria.
"Wah, apatuh apatuh?"
"Dengerin ya, Mah!" tutur Meme, "ikan, ikan apa yang kalau ditangkep kagak pernah kena."
"Ikan gesit!"
"Ih salah!" jawab Meme, "yang bener, Ih kan gak kena!"
"HAHAHAHAHAHAHAHA!!!" tawa lagi-lagi pecah, tapi sang mamah kali ini tak hanya tertawa. "Oh, gak kena ya?! Ini nih kena! Kena nih!" Mamah menggelitiki perut dan pinggang Meme. Mamah mengeluarkan kejahilannya. Meme pun tertawa terbahak-bahak. Meme ingin momen ini bisa bertahan selamanya, tak perlu menuruti si peri. Tapi seharusnya dia mendengar si peri; peringatannya adalah benar.
Tin! Tiiiinnnn!
Dari arah berlawanan tiba-tiba melintas sebuah truk kelabu. Mamah dan Meme terperangah; teriakan spontan mereka keluarkan. Mereka tak menduganya. Ini adalah jalan satu arah! Mana mungkin ada truk dari arah berlawanan ... kecuali ... sang sopir mengantuk!
"MAMAAAAAH!!!" Meme berteriak.
Sang mamah bergegas menginjak pedal rem; tangannya memutar kemudi cepat-cepat. Ia bantingkan arah mobil kuningnya ke kiri bahu jalan, berlomba dengan waktu, tapi terlambat.
Bagian belakang mobil tertabrak membuat mobil terpelanting ke bawah, lalu kembali lagi menghadap atas. Mobil memutar hebat hingga membuat garis hitam tebal di jalan. Suara decitan terdengar di tengah kegelapan malam. Mobil-mobil di sekitar mengerem, berharap ikut tak terkena tabrakan meski nyatanya ada juga yang ikut terpelanting. Oh, celaka!
... Bahkan ada tawa yang menyebabkan musibah.
Itu benar. Si peri benar, hingga sebuah headline berita menampilkan ....
"Sebuah kecelakaan di kilometer dua puluh delapan menelan dua korban jiwa yang ada dalam mobil yang sama."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top