5. Peri

Meme termenung menghadap gerbang sekolah.

Sekarang sudah Sabtu pagi, pukul delapan kurang sepuluh—Meme tipe cowok yang menghargai waktu (idaman banget!). Meme berdiri condong sedikit ke kanan, harap-harap cemas. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku hoodie kuning yang bertuliskan keep smile. Bocah itu menggoyang-goyangkan kakinya yang sebelah kanan. Napasnya ia hela keras-keras.

"Mengapa jadi seperti ini?" gumamnya, "aku malah kelayapan, padahal Senin besok sudah ujian nasional!"

"Kau yang memilihnya." Sebuah suara terbersit di kuping kanan Meme. Tak ada orang di sekitarnya. Jelas ini suara si peri. Kau tahu, warna suaranya hangat dan menenangkan, seperti ibu-ibu guru yang mengajar anak SD! Kalem!

"Apakah aku salah memilih untuk menyingkirkanmu?"

"Tentu," jawab si peri, "aku sudah menyampaikan semuanya kepadamu."

Meme menggigit bibir. Ia menunduk, merasa bersalah. Hatinya tak bisa menolak peri ini ada benarnya juga. Peri misterius itu berperangai arif. Tatapannya menyejukkan. Tindak-tanduknya penuh tata krama, termasuk caranya berbicara. Meme tak menemukan bukti: si peri punya maksud jahat. Ya, siapa tahu peri ini sebangsa sama dedemit yang menyesatkan. Namun, Meme tak menemukan bukti kejahatan! Semua nasihat yang ia berikan—Meme akui—relateable dan rasional.

"Kau menyuruhku untuk berhenti melucu," tutur Meme lemas, "aku mana mungkin bisa melakukannya."

"Aku tak menyuruhmu berhenti! Aku hanya menyuruhmu—"

"Menyuruhku jangan keseringan melucu kan?"

"Benar."

"Itu mah sama saja." Meme tersenyum, tapi auranya kecewa. "Tawa adalah hidupku, termasuk memberikan tawa kepada orang lain. Aku tak peduli, aku disanjung-sanjung oleh banyak orang. Yang aku cari dari melucu adalah ... kebahagiaan semua orang. Dengan tertawa, dunia—yang dikenal sebagai sarangnya cobaan—bisa ditaklukkan lebih mudah. Tawa memberikan harapan kepada orang lain. Seharusnya, kau bisa bayangkan, seberapa besar pahalaku karena membuat orang tertawa!"

"Tapi sering tertawa membuat hatimu keras."

Meme terdiam membeku. Perkataan si peri, itu benar! Dunia terdiri dari keseimbangan. Jika dirusak, dampaknya akan buruk. Namun, Meme bisa apa. "Apa yang harus kulakukan?"

"Tidak perlu terburu-buru. Aku akan menemanimu di pundak kananmu, sampai kau menemukan jawabannya," jawab si peri.

"Tapi kehadiranmu membuat aku tak bisa fokus!!!"

Meme kelepasan mengeluarkan suara tinggi. Bukan bentakan, suaranya seperti ... tertekan. Meme tak bisa menghiraukan si peri yang terus mengawasinya. Kau tahu, bagaimana rasanya ketika ada pengawas yang dua puluh empat jam menempel di pundak kananmu? Ingin rasanya cepat menyingkirkannya, 'kan? Meme tak bisa. Sudah puluhan kali Meme terus melawak, tapi selalu urung. Tatapan kuat yang diluncurkan oleh si peri, bagai menusuk relung sukma terdalam! Lawakan Meme sampai berkurang frekuensinya: dari seratus kali sehari, menjadi tiga kali sehari, itu pun saat istirahat makan saja.

Hufft! "Apa boleh buat?"

Tin! Tin!

Mobil Honda Jazz berwarna hitam mengilap mengagetkan Meme. Klaksonnya membuat Meme melompat spontan. Di dalamnya ada dua orang samar-samar: satu di kursi sopir dan satu lagi di deretan kedua; ia keluar membuka pintu. Itu Mi! Dia datang tepat waktu, pukul delapan tepat. Ia mengenakan kaos kasual berwarna pink. Bawahannya memakai rok putih selutut; ada celana legging di dalamnya, menutupi kulit sampai sepatu pink berlogo Nike.

"Lu— maksudku, kamu. Kamu habis bertengkar?" tanya Mi merapikan rambut ke belakang telinga.

"Ah," jawab Meme tak antusias, "bisa dikatakan bertengkar, tapi masih terkontrol."

"Oh, hanya berdebat biasa."

"Hum." Meme mengangguk.

"Nggak apa, setelah ini kamu nggak akan pusing lagi menghadapi peri yang mengganggumu."

Mi tersenyum menghibur Meme. Ia mengajak Meme memasuki mobilnya. Di sana ada seorang pria tua yang menyetir. Itu adalah grandpa! Maksudku, itu si dokter gempal! Dia menyeringai lebar ketika Meme menduduki kursi penumpang.

"Lama tak bertemu ya, bayi-yang-tertawa!" sapa grandpa; Meme terkesiap.

"Ah, dia grandpa yang kumaksudkan. Dulu beliau adalah dokter yang menangani kasusmu, bayi-yang-tertawa."

Meme membulatkan mulut seakan berkata oh, tapi tak keluar suaranya. Kepalanya beberapa kali ia anggukkan. Ketiganya kini sudah saling kenal. Mereka memasang sabuk pengaman, lalu berangkat ke tempat orang yang mampu menolong Meme: pakde si suster, sang orang pintar.




Si peri tak memiliki nama. Dia hanya memanggil dirinya dengan sebutan peri. Si peri tak ada bedanya dengan makhluk gaib. Ia diciptakan dari perintah Tuhan: menuntun makhluk yang diberi kelebihan, seperti Meme. Mereka akan pergi ketika tugas mereka berhasil dilaksanakan. Rentang waktunya beragam. Ada yang hanya sehari, bahkan sampai ajal menjemput.

Meme akan ditemani peri sampai mencapai keberhasilan.

Kau tahu, si peri—somehow—memiliki wujud seperti Tinker Bell. Hanya saja dia tak bersayap, tapi bisa melayang bebas. Ini bukan wujud absolut dari semua peri. Wujud peri tergantung dari persepsi orang yang diawasi. Meme dulu sering menonton kartun Tinker Bell; wujud si peri akhirnya mirip dengannya. Tapi jangan salah! Sifat peri ini sangat berbeda dengan Tinker Bell yang emosional dan kekanak-kanakan! Peri yang mengawasi Meme—seperti yang sudah dibilang—sangat dewasa dan bijaksana. Oh ya, jangan lupa yang satu ini: tidak bisa tertawa! Dia tak memiliki selera humor.

By the way, si peri dari tadi woles meskipun diancam akan dimusnahkan saat bertemu dengan sang orang pintar. Dia mengetahui sesuatu—atau malah memang tidak bisa merasakan panik? Meme sampai tak bisa menduganya. Dia memilih kemungkinan kedua. Pilihan terburuk lebih baik. Setidaknya kalau salah, dia tidak akan kecewa. Males ah pakai denial denial segala!

"Sudah sampai!" Grandpa menghentikan mobil di depan sebuah rumah Joglo—rumah tradisional Jawa.

Satu kalimat yang terlintas di benak Meme dan Mi. Mana mungkin ada orang normal yang masih punya rumah model kayak gini?! Ya, nyatanya pakde si suster bukan orang normal. Dia kan orang pintar. Meme dan Mi mangut-mangut saling memahami.

"Kalian masuklah!" pesan grandpa, "grandpa mau ngobrol bentar sama teman lama." Grandpa menunjuk seorang wanita tua yang sudah menunggu di teras—dia seumuran dengan grandpa. Teman lama, dia 'lah si suster yang panik saat Meme lahir tertawa.

Mi mengangguk. Tak ada rasa takut di wajahnya, begitu juga Meme. Keduanya adalah anak genius. Orang asing bukanlah momok bagi mereka. Keduanya akan mengatasi segalanya! Mi keluar pertama kali, diikuti Meme. Keduanya mendatangi wanita tua dengan rok panjang kelabu dan kemeja kain tradisional bermotif bunga-bunga kuning—hendak memberi salam.

"Langsung masuk saja, Dik!" ucap si wanita tua, menunjuk pintu berkusen ukiran naga.

Meme dan Mi menurut. Keduanya beralih memasuki pintu yang punya vibe keramat banget. Meme membuka gagang pintu yang sebelah kanan. Belum apa-apa, dia sudah dikejutkan dengan sosok pria berpakaian serba hitam. Bajunya longgar. Di kepalanya ada semacam kain pengikat, seakan menjadi lambang kesaktian—yang pasti gunanya bukan mengikat rambut (bagaimana tidak, rambut panjangnya malah tergerai kusut).

Meme takut—awalnya. Namun, ia membatalkan was-wasnya ketika ia mencium aroma pinus dan lemon, bau yang familier. Oh, ternyata benar! Bunyi psst melesat kencang di atas pintu, ternyata mesin penyemprot pengharum ruangan. Meme mengira akan mencium aroma dupa atau kemenyan yang menyengat, malah mencium aroma wangi seperti di swalayan.

Meme bergidik sendiri. Sang orang pintar malah melambaikan tangan—naik turun—memanggil Meme dan Mi. Meme dibuat menjengit. Dia menatap Mi, menanyakan kemauan; Mi hanya mengangkat bahu, mengisyaratkan sudah turuti saja. Meme pun mengangguk, lalu duduk di sofa keras berwarna merah dengan pinggiran kayu—yang lagi-lagi—berukiran naga. Meme dan Mi duduk di kursi yang menghadap sang orang pintar; Meme berseberangan langsung, sedangkan Mi di samping kanannya.

"Jadi, Bapak ini orang pintar yang bisa mengetahui masa depan saya?" tanya Meme, membungkuk sedikit.

"Benar!" jawab sang orang pintar; suaranya serak, "si gempal itu sudah menghubungiku. Nak Meme sudah bertemu dengan peri itu, 'kan?"

"Sudah, dan banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan kepada Pak Dukun—"

"EH! Kok manggil dukun toh?! Aku ini bukan dukun! Aku ini wong pinter (orang pintar)!"

"Sama saja bukannya, Pak?"

"Beda!" jawabnya, memberi tekanan, "aku ini sakti bukan dikasih makhluk halus!"

"Kok bisa, Pak? Bukannya orang pintar itu maksudnya dukun?!"

"Sek, Le! (Tunggu, Nak!) ada hal yang perlu dilurusin! Tapi sebelumnya panggil aku pakde."

Pakde mengatur dudukannya, menggeser-geser sedikit pantatnya. Mulutnya ia miringkan tinggi-tinggi sampai kumis tebalnya ikut terangkat. Tangannya bersedekap, yang sebelah kanan mengelus dagu. Dia sedang memikirkan sesuatu; matanya terpejam rapat, membentuk guratan.

"Singkatnya gini, Meme!" sambung pakde.

Meme dan Mi tertegun, matanya terbuka lebar menanti kelanjutan perkataan si dukun. Ada apa dengan ini semua?

"Pakde punya kekuatan seperti Meme."

Meme dan Mi terkejut serempak, "APAAA?!!!" Bagaimana bisa? Singkatnya— tunggu, ini pasti sangat rumit. Meme dan Mi berlomba mengeluarkan pertanyaan, tapi otak mereka jauh lebih cepat—maklum orang jenius. Mereka menyadari isyarat telunjuk yang diacungkan ke atas oleh pakde, menyuruh diam. Pakde akan menjelaskannya.

"Di dunia ini Tuhan adalah pemegang kekuatan tertinggi. Tak ada yang mustahil jika Dia sudah berkehendak! Titik! Orang-orang seperti Meme, pakde, dan ... kakek Mi—"

"Grandpaaa?!" Mi memutus.

"Sstt! Nanti aku jelaskan lengkap! Jangan memutus dulu!" sergahnya, "sampai mana tadi?"

"Kakek Mi," Jawab Meme dan Mi serentak.

"Oh iya benar. Jadi, orang-orang seperti kami adalah benar adanya. Tuhan melebihkan kami di atas manusia lainnya. Meme bisa melihat selera humor, kakek Mi bisa mendiagnosis segala penyakit—sahabatnya yang berjuluk si dokter skinny juga sama, dan aku bisa mendeteksi orang-orang yang dilebihkan seperti Meme dan kakek Mi.

"Enak, tentu enak punya kelebihan di atas rata-rata! Sayangnya, akan terbentuk ketidakseimbangan jika digunakan semena-mena. Kau tahu, tabiat manusia adalah serakah, 'kan?"

Meme dan Mi serentak mengangguk. Keduanya masih mendelik, tak berkedip.

"Karena itu, Tuhan menurunkan makhluk untuk menuntun. Kami menyebut makhluk itu sebagai peri. Dia memiliki wujud yang berbeda-beda, tergantung dari pikiran orang yang diawasi. Sebenarnya, julukan peri adalah yang kupilih karena kalau aku memilih sebutan setan, kalian pasti tak bisa tidur, merasa terganggu.

"Seorang peri akan muncul ketika akil balig—saat dosa seorang anak Adam dipikul sendiri. Peri akan menunjukkan cara menggunakan kelebihan yang sudah Tuhan berikan. Karena itu, kalian tak pernah kan mendengar orang-orang punya kelebihan seperti Meme, aku, dan kakek Mi?"

Meme dan Mi menggeleng, mengamini perkataan pakde.

"Singkatnya, seorang peri akan mengantarkan kita ke arah kedewasaan." Pakde tersenyum layaknya orang bijak. "Coba kutanya, Meme, peri yang sekarang di pundak kananmu punya sikap sangat bijaksana kan?"

"Iya, Pakde!" Oh, jadi itu alasannya dia tak bisa panik, bahkan selalu membalik omonganku! "Jujur aku merasa terganggu, Pakde! Bagaimana aku bisa mengusirnya."

"Tidak ada— eh, setidaknya cuma ada satu jalan keluarnya: jadilah dewasa!"

Meme terdiam berkedip; mulutnya menganga. Ini tak ada gunanya! Tak ada cara untuk mengusirnya! Meme menyandarkan diri tanpa tenaga, lemas putus asa. Mi yang tersenggol, menyadari keputusasaan Meme. Di dalam hatinya dia bersorak ria bagai di tengah karnaval. Rencana kedua sukses dilaksanakan!

Meme akan overthinking sampai-sampai tak fokus ujian!

"Pakde, tapi saya merasa sangat terganggu! Ini rasanya tidak adil!"

"Apakah kau merasa adil kalau kau bisa melihat selera humor orang lain, sementara orang lain tak bisa melakukannya?"

Meme membeku diam, tak mampu menjawab. Dia tak bisa menyanggah pernyataan pakde. Itu semua benar. "Jadi, aku tak bisa melucu lagi, Pakde?"

"Bisa kok! Hanya saja ... tunggu, kan sudah kubilang tadi! Kau harus menjadi dewasa! Lihat saja dirimu sekarang ini! Kau masih tak terima jika dibatasi menggunakan kelebihanmu! Kau merasa terganggu dengan kehadiran si peri! Apa itu yang kau sebut dewasa?!

"Orang dewasa akan ikhlas merelakan. Ketika ikhlas, kau akan menyadari kelebihanmu itu tak ada apa-apanya. Itu hanya sebatas pemberian, bukan milikmu. Kau akan ditanyai pertanggungjawaban kelak di akhirat! Malah kehadiran peri ini sangat membantumu lho! Tuhan mengirim seorang penuntun untuk orang-orang seperti kita—agar tidak bertindak sombong."

Meme menarik napas dalam. Dia tersenyum pahit. Tatapannya sendu seakan mengatakan apa boleh buat. "Kalau begitu, mengapa orang sepertiku bisa tercipta?"

"Ada doa yang dikabulkan."

Sontak Meme dan Mi terkesiap. Meme kembali bangkit. Ia menghadapkan matanya berbinar-binar.

"Dulu, bapakku berdoa agar bisa meneruskan usaha dukunnya. Tapi ibuku menolak karena itu adalah dosa besar. Akhirnya ibuku berdoa, lalu Tuhan memberiku kelebihan ini sebagai jalan tengah."

"Jadi, ini dari doa orang-orang terdekatku?"

"Tentu, siapa lagi?" jawab pakde, mengangguk, "kemungkinan besar ibumu. Seingatku kamu hanya punya ibu, 'kan?"

Meme mengangguk. Mulutnya terbuka sedikit. Pikirannya kini berkecamuk bagai menerjang badai di Samudra Atlantik. Semuanya terlalu mendadak Meme ketahui. Dia awalnya tertekan karena kehadiran si peri, tapi sekarang tekanannya bertambah—tentang ibu dan kedewasaan. Meme tak mengerti semuanya.

Meme hanya sanggup melihat si peri yang tersenyum ke arahnya. Dia jelas ingin berkata sudah kubilang tak ada gunanya. Meme terpukul, tapi jangan salah! Si peri adalah perempuan yang baik. Dia memberikan senyum hangat untuk menenangkan; tangannya mengelus pipi empuk Meme. "Tak apa, kita akan belajar bersama," tutur si peri.

Mi berbeda. Dia malah tersenyum puas. Wajah Meme menggambarkan jelas wajah orang banyak pikiran. Mi—jujur—masih belum puas. Dia mau menambahi penderitaan Meme. Rencana ketiga ....

"Meme, tak perlu sedih," hibur Mi pura-pura, "aku ada di sini kok."

"Terima kasih, Mi. Kau sudah banyak membantuku. Padahal, kita baru saja bertemu."

"Ehm, sebenarnya ... aduh, bagaimana ya ngomongnya." Mi menggaruk rambutnya. "Aku sebenarnya memperhatikanmu diam-diam. Bisa dibilang ... aku punya rasa sama kamu."

Meme membeku; getaran merambati sekujur tubuh. Mi malah menyimpan senyum dengan kekeh penjahat.

Ayo, Meme. Apa kau mampu menghadapi ini? Mi menatap Meme lekat-lekat, lalu menarik napas. "Meme, kamu mau nggak jadi pacar aku?" 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top