4. Kencan
Mi meneropong gerbang depan.
Dari balkon sekolah, Mi melirik tempat masuk murid-murid yang selalu sesak tiap pagi. Kau tahu, putri kepala sekolah ini rela berangkat bareng sang papa—jam setengah enam—demi melancarkan rencananya.
It's ok, Mi! Udah satu jam lu duduk di siniii! Bentar lagi si Meme pasti bakal tampak batang hidungnya! Mi mengelus-elus dada. Lingkaran hitam terbentuk samar di sekitar matanya. Bukan disebabkan begadang, bukan! Itu bekas ujung polimer teropong yang sudah merekat sejam nonstop! Ini semua demi kemenangan gueee! Gue rela melakukan apa pun ... tapi asal gak dosa sih!
Setiap mata murid kelas sembilan SMP Bang Papgi melongok Mi. Heran, jelas! Mi tak sadar apa ya, dia mirip seperti maling-maling yang mengamati rumah orang mudik saat mau lebaran! Namun, dia hanya mencurigakan jika dilihat dari wujud tampak-belakang. Kalau tampak-depan, Mi malah tak beda jauh dengan cewek maniak yang mengincar cogan-cogan sampai hidungnya mimisan.
Mi melongok dua lubang teropong sekali lagi. "ITU DIA!"
Sesosok bocah—yang lagi-lagi—memakai aksesoris serba kuning berjalan memasuki gerbang. Tunggu, ada yang berbeda dengannya. Mi bukan penggemar dari si maskot sekolah. Dia tak tahu gelagat Meme setiap hari, tapi hari ini bocah itu tak menunjukkan aura kuning.
Meme tak tersenyum.
Dia terus menunduk. Matanya melirik jelalatan ke arah kanan—beberapa kali ke kiri juga. Dia mengedikkan bahu kanan beberapa kali; kedua tangannya mencengkeram selempang tas ransel sampai membekas guratan. Saat mengedik ke kanan, Meme berbicara sedikit; matanya mengernyit. Kau tahu kan bagaimana orang yang kesetanan? Meme persis seperti itu! Dia tak jauh berbeda seperti orang gila yang berbicara sendiri.
Anak itu kenapa? Mi mengangkat sebelah alisnya, menyadari kejanggalan Meme.
Meme berjalan selangkah demi selangkah, tak langsung beriringan seperti derap semangat. Bocah itu tak mau dihampiri oleh dua teman dekatnya: Bambang dan Norit. Tunggu, ini pasti karena peri itu! Meme sedang berdebat dengan makhluk gaib itu, hanya dia yang bisa melihatnya.
Oh! Si peri? Mi menyadarinya. Ini kesempatan emas gue!
Mi tergopoh menuruni tangga yang melingkar di sebelah kanannya. Sepuluh langkah setelah menuruninya, Mi dapat mencegat Meme yang berlagak seperti orang kesetanan. Mi bersandar di tembok pintu masuk para murid yang berlantai ubin-ubin kuning—tempat mengarah ke kelas. Seperti dugaanmu, Meme tak menyadari Mi yang bersedekap di samping kanannya.
Emosi karena tak digubris, Mi berbalik kepada Meme yang melewatinya. "EH LU!"
"Iya?" Meme berbalik, mengeluarkan wajah lugu (biasanya wajah ini dimiliki oleh Bambang).
"Maaf ... maksud gue— maksud aku ... eh kamu!"
Mi mencari pembenaran. Ia harus selalu ingat: dia adalah anak kepala sekolah. She has to be well-mannered. Maaf, pilihan kata yang brilian untuk menutupi keceplosan ungkapan kurang ajar, apalagi kepada Meme sang maskot! Sontak Mi membereskan rok, lalu mengangguk disertai senyuman kepada Meme.
"Maaf, kamu Meme ya?" tutur Mi mengalihkan perhatian.
"Hum." Meme mengangguk. "Kamu pasti Mi, anak kepala sekolah?"
"Kok kamu tahu?"
"Karena kamu membuatku ingin menjadi pemimpin bagimu dan anak-anak kita." Lah malah gombal!
Mi menyipitkan mata, juga menarik bibir kencang-kencang seakan berkata apaan sih! Meme malah sempat-sempatnya mengeluarkan lawakan di tengah situasi stres. Ini sebenarnya permintaan maaf untuk Mi. Meme menyadari kekesalan si anak kepala sekolah. Meme memang—saat tidak stres dulu—selalu menyapa setiap orang yang ia temui, dengan senyuman! Gombalan tadi setidaknya bisa membuat Mi merasa baikan.
Selera humor Mi adalah romansa.
Mi benar-benar hendak menyembur tertawa tadi, tapi—sebagai anak genius—dia sukses menyembunyikannya. Mata menyipit dan bibir tertarik adalah respons yang tidak bisa ia tahan. Tak apa, Meme tahu, Mi sedang menahan tawanya.
"Langsung saja, gue— maksudku, aku ... aku tak mau buang-buang waktu. Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu," sergah Mi bersedekap. Wajahnya masih memerah menahan tawa.
"Iya, ada apa?"
"Eh, lu— maksudku, kamu ... kamu ada waktu kan?"
"Iya, ada. Sekarang masih setengah tujuh. Masih ada waktu," jawab Meme melongok arloji kuning di tangan kiri, "tapi aku mau taruh tas ke kelas dulu ya?"
"Eh, gausah! Bawa aja! Bentar aja kok!" Wah, kalau dia naruh tas ke kelas, nanti dua kerucilnya—si Bambang dan si Norit—akan curiga sama gue. Si Bambang sih paling ngira gue mau ngajak Meme pacaran, tapi si Norit ... dia pasti ngira ada sesuatu yang gue rencanain.
"Memangnya mau ngobrol tentang apa?"
"Tentang ...." Ni anak napa nanya segala sih! "Tentang kamu dan aku."
"Hah?" Meme berpikiran yang tidak-tidak—diksi Mi juga sangat ambigu.
"Eh, jangan berpikir yang macam-macam!" sanggahnya, "kita ngobrol di kantin aja yuk! Pagi-pagi masih belum ada orang di sana."
Mi menarik tangan Meme, tapi Meme menolaknya—bukan muhrim! Meme akan mengikuti Mi. Gadis itu jelas sedang terburu-buru. Meme akan membantunya, secepat yang Meme bisa.
Meme dan Mi sampai di kantin kurang dalam satu menit. Perkataan Mi benar, tak ada siapa pun di sini—sebenarnya ada sih. Seorang ibu-ibu menyiapkan stand coklat dengan banner hijau yang bergambar gelas minuman; mereknya terpampang jelas Teh Peci. Meme dan Mi sendiri duduk tepat di depan stand itu. Maklum, agar tak dikira pacaran; SMP Bang Papgi melarang murid-muridnya pacaran. Mereka berdua duduk di bangku—semacam bangku piknik—berkayu kokoh dengan pelitur coklat tua di permukaan.
"Jadi, apa yang mau kamu bicarakan?" Meme membuka obrolan.
"Aku mau ngomong tentang kamu!" Aduh, gue tahu sih gue pinter, tapi gue gajago bohong ya Tuhan! Dari kecil, papa pasti marahin gue kalau bohong. Grandpa apalagi!
"Aku ... kenapa?"
"Kamu terlihat pucat hari ini, Meme. Apa ada yang salah?"
"Eh?" Meme terkesiap, menarik kerahnya—seakan telah tertangkap basah. "Kelihatan banget ya?"
"Hum." Mi mengangguk. Ya jelas lah gue menyadarinya, Dodol! Kan gue anak genius, gimana sih!
Meme menarik napas lebar. Bocah itu melirik ke arah pintu masuk kantin, berjaga-jaga ada yang mendengarnya. Aku tidak semestinya memberitahukan tentang peri itu. Aku juga belum pernah berkenalan dengan Mi. Dia juga ... kenapa tiba-tiba menemuiku? Meme mempertimbangkan kemungkinan terburuk, apalagi di pundak kanannya ada si peri bertengger, menyandar di kuping Meme.
"Ah, cuma hal kecil kok. Tadi malam, aku ... Aduh gimana ya ngomongnya, ini urusan laki-laki. Aku tidak seharusnya mengatakan ini kepada perempuan?"
Bingo! Dia pasti mimpi basah tadi malam! Akil balig! Dia sudah mencapainya! Dugaanku benar, Meme sedari tadi terganggu oleh peri itu. "Oh, kamu ... mimpi basah tadi malam?"
"Ah! Kau bisa menebaknya!" Sial, awkward sekali ngobrol ginian sama cewek.
"Terus, karena itu, pundak kananmu menjadi sakit? Kamu tadi mengedikkannya sedari tadi." Mi menirukan Meme yang mengangkat pundak kanan seperti mengusir sesuatu.
Gawat, dia bertanya hal yang menjurus sekali! "Tidak, aku hanya ...."
"Ada peri di pundakmu, 'kan?"
Meme terperanjat. Matanya melebar. Telapak tangannya menapak meja menahan kaget. "Kau melihatnya?!"
"Tidak," jawab Mi, "aku tahu apa yang kamu rahasiakan, Meme."
"Aku tidak merahasiakan apa-apa kok!" Meme berkeringat meski sudah menggeleng—mencoba mengelak tanpa berbohong.
"Aku itu cucu dari dokter yang menangani kelahiranmu, Meme Sayang!" Mi menyangga wajah, tersenyum memojokkan.
Dar!
Meme memukul keras meja; bangkit dari dudukan. Bocah itu tak mau berurusan dengan Mi. Gadis itu tidak perlu tahu.
Meme mengambil satu langkah, menjauh. "Maaf, aku biasa melawak, tapi aku serius kali ini. Aku ... tak mau membicarakannya—"
"Kau bisa melihat selera humor setiap orang!"
Meme menghentikan langkah. Perkataan Mi membuat Meme membeku bak disengat listrik. Rahasia yang tidak ada seorang pun ketahui, termasuk sang mamah—meskipun sudah diberi tahu oleh dokter yang menangani Meme, hanya saja Meme tak pernah memberitahukannya.
"Apa maumu?" Meme membalikkan badan. Wajahnya datar—serius.
"Besok Sabtu temui aku di sekolah!" Oke, lanjut ke tahap dua rencana gue. "Aku akan membantumu mengatasi peri itu!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top