2. Tercantik

Suara meeting online menyeruak keras dari sebuah rumah megah.

Suara itu datang dari kamar yang ada di lantai dua, ruangan seorang gadis. Kau bisa melihat berbagai perabotan berwarna pink dari luar jendela. Topiknya sangat hangat—sepertinya. Bahkan, ia rela tetap terjaga meski sudah larut malam.

"Eh, Mi. Pergi tidur gih! Udah jam sepuluh!" Salah seorang peserta meeting (ala-ala) menegur gadis yang berada di dalam kamar serba pink.

"Ih, bentar! Gue mau curhat nih!" balas si gadis pemimpin meeting memasang muka masam.

"Ayolah! Kerja kelompoknya kan dah selesai! Tinggal kita bertiga doang lho, yang lain udah pada leave," timpal peserta lain.

Sebenarnya, ini bukan seperti yang kalian bayangkan. Meeting online yang dipimpin oleh si gadis pemilik kamar pink ini bukan rapat penting semacam rapat perusahaan start-up. Mereka meeting untuk membahas presentasi biologi. Mereka kedapatan materi sistem organ respirasi—gampang sekali. Sudah tiga jam mereka bekerja nonstop; sudah selesai! Namun, si gadis pemimpin menolak kedua sahabatnya pergi.

"Gue mau curhat nih!" ucapnya kesal, "ini tentang cowok sialan itu!"

"Siapa? Si Meme?"

"Iyaaaaa!"

Sahut-menyahut terjadi di antara si gadis pemimpin meeting dan peserta yang ada di sebelah kanan, nicname-nya BaekhyunOppa. Satu peserta lainnya yang bernama MaterialGuwrl memilih diam menyimak sambil bermain HP.

"Gue keseeell! Kenapa dia kok bisa jadi peringkat satu sih! Apalagi kemarin dia abis menang lomba tingkat nasional!" sambung si gadis pemimpin semakin emosi.

"Iya sih, gue akuin, kalau gue jadi elu—yang belajar mati-matian—selalu berada di peringkat dua sekolah, pasti kesel sih," jawab si teman. "Tapi gue gak bisa sekesel elu sekarang. Gimana ya? Meme lucu bangeettt hahaha!"

"Emang dia lucu! Tapi gue gak terima!!! Arrrggghhh!"

"Sabar aja sih menurut gue. Lu kan dah cantik, Mi. Jadi, peringkat dua tuh dah lebih dari cukup!"

Si gadis pemimpin yang bernama Mi itu tak menjawab. Ia menopang dagu, lalu memanyunkan bibir. Malas, dia tak mau menerima jawaban sang teman.

"Ih jangan marah dong, Mi!" ucap si teman cepat-cepat. "Maksud gue, cowok kan selalu nggak bisa nolak cewek cantik! Jadi, ya ... si Meme pasti bertekuk lutut di depan lu!"

"NAAAHH!" Mi terkesiap setuju. "Ide bagus!"

"Hah? Gue cuman mikir, serasi aja sih, si cowok humoris dan si cewek cantik. Muah! Sempurna!"

Mi tak merespons balik perkataan sang teman. Ia menyeringai seperti penjahat di film-film. Beberapa kali sang teman memanggil, "Mi! Mi! ... Halo?" Mi tak menjawabnya. Dia sudah tenggelam ke dalam rencana yang tiba-tiba terlintas di benaknya.

"Oke, oke! Gak perlu diperjelas! Thank you ya sarannya, Bestie! Dah malem! Bobok yuk bobok!" Mi mencerocos panjang lebar mengakhiri meeting.

"Eh, kok tiba-tiba di-end sih? Mi! Mi! Tunggu—"

Mi menekan tombol merah bertuliskan end di pojok kanan atas monitor. Ia mematikan komputer, lalu merebahkan tubuhnya ke kasur lebar yang berukuran queen, warnanya juga pink. Sudah hampir jam setengah sebelas. Mi harus tidur cepat untuk merawat kecantikannya. Padahal, di dalam pikirannya sekarang sedang berkecamuk rencana besar untuk sang musuh bebuyutan.

Meme harus turun menjadi peringkat dua di ujian kelulusan nanti. Mi bersumpah!

"Hahahahaha—"

Tok! Tok!

Tawa Mi terputus. Ketukan yang menggetarkan pintu putih beraksen kupu-kupu pink membuat gadis berambut ombre hitam-pirang ini terdiam.

"Mi, turun yuk!" Suara pria terdengar.

"Iya, Papa!" jawab Mi bangkit dari kasur, "Mi akan turun."

"Oke, Papa tunggu di ruang tamu."

Mi baru ingat, ada tamu yang sangat penting akan tiba ke rumah. Mi sampai membatalkan tidur. Kantuknya seketika hilang, berganti dengan tenaga yang membuncah. Gadis cantik ini berjalan cepat ke lantai dasar. Lumayan lelah seharusnya; rumah Mi punya ukuran lapangan sepak bola, termasuk bagian halaman.

Sebenarnya, apakah kau memperhatikan sikap Mi kepada papanya? Sangat sopan, 'kan? Mi adalah gadis jenius. Ia menyembunyikan semua permasalahan di depan sang papa, termasuk persaingannya dengan Meme. Senyum selalu ia pasang. Kau tahu, papa Mi adalah kepala sekolah SMP Bang Papgi. Mi harus menjadi peraih peringkat tertinggi di sana; dia juga mesti bersikap anggun.

"Grandpa sudah datang, Pa?" tanya Mi menuju samping sang papa.

"Satu menit lagi." Papa Mi merangkul putrinya. "Grandpa sudah sampai di gerbang depan."

Mi dan sang papa berdiri menunggu di balik pintu putih raksasa. Mi melompat-lompat kecil girang. Gadis itu juga berpura-pura riang kepada sang grandpa. Kau tahu, Mi malah seharusnya lebih takut kepada grandpanya. Pria tua itu punya kekuasaan lebih. Bahkan, sang papa—yang merupakan kepala sekolah—berdiri gemetar.

Tok! Tok!

Pintu diketuk. Kaki papa Mi semakin gemetar. Mi sendiri tetap berusaha riang, menunggu pintu dibuka dari luar. "Halo!" ucap seseorang yang perlahan tampak, "bagaimana kabar kalian?"

"Grandpa!" Mi melompat ke arah pria tua yang sudah tampak jelas, lalu memeluknya.

Sang grandpa datang sendirian. Dia adalah seorang pria yang berani. Di usia enam puluh tahun, tak ada uban mencuat di tubuh, jelas dia sudah menyemirnya. Harus diakui, sang grandpa amat nyentrik. Jaket kulit hitam adalah outfit yang ia pilih malam ini. Namun, jika kau perhatikan, wajahnya sangat familier.

"Papa, bagaimana pemakaman sahabat Papa di Tokyo?" Papa Mi mencium tangan grandpa. Senyum kini ia pasang meski tampak pura-pura.

"Aku sedih. Jujur, aku tidak percaya, Pak Bos sudah meninggal dunia."

Benar, Pak Bos yang dimaksud oleh grandpa adalah si dokter skinny! Kalau begitu, grandpa adalah sang partner, si dokter gempal! Wow! Empat belas tahun sudah banyak mengubahnya. Perut gempal digantikan keriput yang bergelambir. Dia jelas sadar bahaya obesitas, apalagi di usia senja.

"Mi, bagaimana sekolahmu?" Grandpa mengalihkan pembicaraan. Dia tak mau membawa hawa duka ke depan sang cucu. "Apakah kau pasti bisa menjadi peringkat satu di ujian nasional nanti?"

"Ah, anu ...." Mi gelagapan. Mata coklatnya melirik ke bawah, mencari alasan.

Grandpa menyadari gelagat Mi. Dia cukup genius untuk menebak gelagat manusia. Respons Mi seakan mengatakan aku malu menjawabnya di depan Papa. Grandpa pun menyuruh papa Mi untuk membawa masuk tas kopernya; dia seolah mengusir papa Mi, tapi dengan cara yang halus. Papa Mi mengambil seluruh koper, lalu menuju ke kamar tamu. Dia jelas lega bisa meninggalkan grandpa yang genius—dia takut dibantai.

"Nah, Mi. Sekarang Papamu sudah pergi. Katakan semuanya kepada Grandpa!" ujar grandpa disertai senyum. Dia memeluk Mi, menambah kedekatan.

"Maaf, Grandpa. Mi ... tidak bisa menjadi peringkat satu ... sepertinya," jawab Mi malu, sekaligus kecewa.

"Kenapa?"

"Ada seorang anak. Dia sangaaaaaat cerdas!"

"Hah? Bagaimana bisa? Kau itu anak genius, Mi! Masa, ada anak yang lebih genius daripada kamu, keturunan Grandpa?"

Mi mengangguk. Bibirnya ia bengkokkan ke bawah. Ia ingin menyampaikan kecurigaan yang ia pendam tentang musuhnya, Meme.

"Dia memang anak ajaib, Grandpa," sambung Mi, "sebenarnya ada hal yang aku curigai."

"Curigai?"

"Anak itu seperti bukan manusia biasa."

Grandpa tersentak. Suatu memori melewati kepalanya. Tentang bukan manusia biasa, pria tua itu pernah menemuinya. Empat belas tahun lalu, ada seorang anak yang terlahir tidak biasa. Dia lahir tertawa. "Siapa namanya?" tanya Grandpa mendelik.

"Meme."

"Sudah kuduga!" Grandpa menjentikkan jari, membuat Mi tersentak. "Dia memang bukan manusia biasa."

"Grandpa ... mengenalnya?"

"Iya! Dia dulu lahir tertawa. Para dokter kebingungan, tapi ada orang pintar yang menjelaskan banyak hal tentang bayi itu."

"Apa itu, Grandpa?" Mi menyimak tekun. Aha! Ada senjata rahasia baru! Thank you, Grandpa!

"Dia bisa melihat selera humor orang lain."

"A-apa? Mana ada hal yang seperti itu, Grandpa!" sahut Mi menganga lebar. Sudah kuduga, mana ada manusia yang bisa selucu itu effortlessly! Kena kau, Meme!

Mi mendapat informasi yang menambah keping puzzle tentang Meme. Namun, ini masih belum cukup! Masa, Meme tidak punya kelemahan? Di dalam hukum semesta, terutama keseimbangan, di balik kelebihan pasti ada kelemahan. Mi mengorek informasi lain lagi dari sang grandpa.

"Tapi Grandpa, enak sekali dia punya kekuatan super seperti itu!" pancing Mi seolah iri.

"Tidak! Tidak terlalu enak punya kelebihan seperti itu," jawab grandpa menggeleng keras. "Kata si orang pintar, pada akil balig, akan ada seorang peri yang menuntunnya."

"Jadi, maksud, Grandpa?"

"Dia akan berbeda. Tunggu saja!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top