Prolog
Aku mendengarkan jerit ibuku di ruang persalinan. Ada papa di dalam yang menemani. Ini pilihanku untuk menunggu di luar ruangan. Duduk di bangku besi dan dingin. Rasanya menyakitkan mendengarkan orang berteriak, menangis dan bercampur dengan harapan. Di lain sisi aku takut kalau terjadi sesuatu dengan ibuku. Kata papa, melahirkan itu menyangkut hidup dan mati. Jadi, aku berdoa penuh harap bahwa ibu dan adik bayi sehat-sehat saja.
Butuh waktu lama baru kudengar suara bayi menangis. Oh, baguslah. Aku melonjak dari tempat duduk, berjalan mondar-mandir di depan pintu. Melahirkan dan sesudah melahirkan katanya butuh proses. Tapi, kenapa lama sekali? Aku tidak tahan. Ingin membuka pintu. Namun juga tidak ingin terlihat konyol. Bau antiseptik memenuhi paru-paru ketika aku menghirup napas untuk menenangkan diri.
Aku merapal doa-doa bahwa semua orang yang sedang melahirkan hari ini dalam kondisi berbahagia. Lalu, papa keluar dengan wajah kaku. Apa yang terjadi?
"Papa? Kenapa?"
"Bayinya..."
Aku menunggu ucapannya, rasanya lama sekali ia menyampaikan maksud hati. Seolah adegan gerak lambat terjadi di antara kami.
"Anastasya, bayinya laki-laki."
Aku memainkan keliman baju. "Tidak apa-apa, Pa. Aku tetap bisa mendandaninya. Bagaimana dengan Mama?"
Sebenarnya aku berharap ibu melahirkan bayi perempuan supaya bisa melakukan percobaan tatanan rambut. Tapi, kalau laki-laki, rasanya sulit menerapkannya. Kecuali, ibu mengizinkan anak laki-lakinya berambut gondrong.
"Sehat. Sedang tiduran," jawab Papa.
"Bayinya? Boleh dilihat?" tanyaku.
"Nanti. Kalau sudah pindah kamar," kata Papa. Ada jeda sebentar. "Hm... Bagaimana perasaanmu Anastasya? Punya adik? Ya, perbedaan umur kalian jauh. Tapi, itu tidak apa-apa, kan? Tetap bisa kompak nantinya?"
Aku mengangguk. "Tidak apa-apa. Aku senang punya adik."
"Papa akan berusaha membagi kasih sayang dengan adil," katanya lembut sambil tersenyum.
Aku balas tersenyum. Memercayai janjinya. Papa mengajak makan di kantin rumah sakit, tapi aku memilih mengajaknya makan di luar rumah sakit. Makanan enak meski kurang higenis. Papa setuju karena mungkin ini akan menjadi makan berdua paling romantis. Paling romantis. Tentu saja. Tapi, siapa yang tahu kalau kesempatan itu tidak datang lagi. Bahwa papa tidak menepati janjinya. Bahwa orangtuaku pada akhirnya mengabaikanku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top