Bab 4. Kata dari Emily
Kata orang, kalau berusaha lebih keras, kita bisa mengubah takdir hidup. Meski ada beberapa takdir yang tidak bisa diubah. Misal yang paling mudah, kematian. Tapi, aku juga tidak berpikir sampai situlah. Siapa juga yang mau mendahului rencana Tuhan. Aku cuma berharap kalau bisa berhenti jatuh cinta pada Andrian. Sesuai saran Emily. Tapi, sepertinya sarannya tidak berhasil.
"Anastasya! Hei! Anastasya, tunggu!"
Aku menoleh dan terperangah. Andrian memanggilku? Ia berjalan mendekat. Dan serangkaian adegan slow motion terjadi. Ia terlihat percaya diri saat menghampiri.
"Buku lo jatuh, nih." Suara Andrian terdengar riang.
Mataku tertumbuk pada tindakannya. Tidak cukup peduli untuk buku yang ia lambai-lambaikan. Rambutnya acak-acakan, wangi papermint menyeruak dan gerak tubuhnya yang luwes. Belum pernah aku mendapat kehormatan dipanggil olehnya.
"Halo, kok bengong? Anastasya, gue lagi ngomong." Andrian melambaikan tangan di depan wajahku.
Aku menggeleng sadar. "Ya. Ah, lo ngomong apa barusan?"
"Buku lo nih. Jatuh di depan gerbang."
Napasku tercekik. Gelagapan. Butuh udara lebih banyak. "Oh... ya... makasih." Tanganku terulur mengambil buku di tangannya. Selagi ada kesempatan untuk berpaling, aku memasukkan buku ke dalam tas. Ternyata ritsleting tasku tidak tertutup, pantas saja ada buku yang terjatuh. Andrian ternyata masih menunggu dihadapanku.
"Kenapa muka lo pucat begitu?" tanya Andrian sambil meletakkan punggung tangannya di keningku.
Ya ampun, rasanya aku pengin pingsan. Aku menggeleng kuat dan berusaha tersenyum. "Baik-baik saja."
Andrian mengangguk. "Semoga saja memang baik-baik saja," katanya penuh penekanan. Lalu berjalan meninggalkanku yang masih berpikir. Ia memutar tubuh, menelengkan kepala saat melihatku masih berdiri bergeming. "Lo enggak mau masuk kelas?"
Kami berjalan beriringan di koridor dengan tatapan mengintimidasi cewek-cewek. Mata mereka nyaris copot dari rongganya. Andrian tampak tidak mempedulikan. Aku hanya menunduk, mencari alasan untuk menghindari tatapan mematikan. Riuh rendah suara pekikan cewek. Beberapa ada yang menyapa dan Andrian menjawab ogah-ogahan. Sewaktu aku akan berbelok kanan, yang seharusnya Andrian berbelok ke kiri, tapi ia benar berbelok ke kanan. Aku tidak bertanya. Sesaat aku berdiri di ambang pintu kelas, menunggu ia berbicara.
"Gue mau minta tolong sama lo," katanya sambil mengeratkan cangklongan tasnya.
Aku mengusap tengkuk. Ragu dan khawatir. "Minta tolong apa?"
Kupu-kupu berterbangan dalam perut. Sebelum terbang tinggi, aku menghela napas panjang. Menenangkan simpul emosi.
"Nanti aja deh," katanya sambil berlalu pergi.
Setelah ia hilang dari pandangan aku baru bisa bernapas. Detak jantungku masih bertalu-talu ketika muncul wajah Emily dihadapanku.
"Wow, gue enggak salah lihat, kan? Andrian ke sini buat nganter lo ke kelas?" tanya Emily takjub. "Ini lo dianggap adik yang harus dianterin sang kakak. Atau kalian udah pacaran, sih?"
"Eh..." kataku. Dengan pikiran bingung, aku menelusuri keliman baju. Bagaimana bisa aku menjawab kalau Andrian tiba-tiba saja tahu namaku dan minta tolong pula. Anehnya malah meninggalkanku yang penasaran setengah mati. Mau minta tolong apa sih?
"Kayaknya bukan keduanya. Kalau iya, pasti lo udah cerita." Emily tertawa dengan jawabannya sendiri.
Sebenarnya aku ingin sekali menceritakan ke Emily, tapi melihat beberapa tatapan mata cewek yang masih mengamati gerak-gerikku membuat aku berubah pikiran. "Masuk kelas, yuk. Hari ini ada kuis dadakan lagi, ya?"
"Nah! Iya benar. Justru gue keluar kelas buat bilang gitu sama lo."
Aku terkekeh. "Dan lo lupa bilang karena lihat ada Andrian di depan kelas?"
"Ya, begitulah," kata Emily, "sekarang, gue kasih tahu bahan kuis dadakannya. Yuk!"
Syukurlah kuis dadakannya tentang proses pertumbuhan. Semua sub-bab yang kemarin dibahas kini dijadikan bahan pertanyaan. Pelajarannya seterusnya benar-benar mulus tanpa tugas rumah. Aku bahkan berhasil konsentrasi di pelajaran fisika. Pencapaian luar biasa.
Sayangnya, ketenangan itu langsung buyar saat jam istirahat.
"Gue enggak tahu lo jago matematika atau enggak. Tapi, Bu Rusly menyuruh gue untuk belajar dari lo. Harusnya enggak gue lakukan. Tapi, guru itu tetap memaksa dengan cara psikiater memberi siraman kalbu ke pasiennya," kata Andrian yang mendadak sedang berdiri di samping mejaku.
Aku mengedip-kedipkan mata. "Lo ngomong apa barusan?"
"Astaga." Ia menepuk keningnya.
Andrian mengulang lagi kalimatnya. Aku menjadi pendengar yang baik. Sementara Emily senyum-senyum penuh arti. Ketika akhirnya Andrian berhenti berbicara, aku baru mengerti apa yang ia pengin sampaikan. Ingin sekali mengelak. Aku tidak pintar matematika. Memang nilai pelajaran tersebut tidak pernah dibawah kriteria ketuntasan minimal, tapi itu kan bukan berarti dikategorikan pintar. Cuma aku memang gemar menyelesaikan matematika dengan cara sendiri. Papa yang mengajarkan. Tapi, sejak Alex lahir, masih untung papa ingat punya anak pertama.
"Jadi bagaimana?" tanyanya masih menunggu jawaban.
Aku ingin menjawab tidak bisa, ketika Emily mewakili jawaban yang kontradiktif. "Anastasya pasti bisa. Secara teknis, Anastasya jago dalam banyak hal."
"Oh, ya?"
Emily berbicara seperti toko obat menerapkan sisi marketingnya. Andrian menanggapi dengan antuasias. Dan masalahnya aku langsung duduk lemas. Papa tidak lagi ada waktu untuk mengajari cara cepat. Alex bikin pusing. Dan sekarang Andrian, cowok paling top meminta tolong diajarkan matematika gara-gara perintah Bu Rusly. Bukan main.
"Sebagai ucapan terima kasih. Gue traktir hari ini," kata Andrian percaya diri.
Dengan salah tingkah aku cepat-cepat menggeleng. Senyum Emily langsung sirna.
Sebelah alis Andrian terangkat. "Kenapa?"
"Gue bisa bayar sendiri," kataku nyaris berupa gumaman.
Waktu aku mengatakannya, itu benar-benar serius. Sebagian karena memang aku punya uang saku sendiri. Dan sebagian lainnya karena aku tak pernah berminat untuk dibayarkan. Apalagi oleh Andrian. Meski ia mampu melelehkan hati. Sedangkan Emily memberi tatapan jengkel. Ia selalu marah saat aku mempertahankan prinsip ini.
"Oke. Besok sepulang sekolah, ya?" tanya Andrian sambil tersenyum. Aku mengangguk. Ia berjalan keluar kelas dan melongok ke dalam beberapa detik kemudian. "Belajar di rumah lo atau di tempat lain?"
"Rumah lo aja. Biar dia ketemu Alex. Adik ipar," bisik Emily nakal ke arahku.
"Rumah lo aja Andrian. Rumah gue lagi direnovasi," kataku. Emily ternganga.
"Oke." Andrian benar-benar sudah pergi.
Emily menatapku tak percaya. "Apa-apaan bohong kayak tadi?"
"Enggak mungkinlah gue biarin dia ketemu Alex," kataku ringan sambil membereskan buku dan beranjak ke kantin. Emily mengikuti.
Kami bergegas ke kantin. Emily masih mengomel dan aku tidak menanggapinya. Karena, ia tidak satu rumah dengan Alex. Ia bahkan tidak tahu rasanya di nomor duakan oleh keluarga sendiri. Jadi, tidak ada yang perlu diperjelas diantara percakapan kami.
"Lo malu punya adek kayak Alex," kata Emily akhirnya. Lebih mirip kesimpulan dibanding pertanyaan.
"Bukan begitu," jawabku, tapi suaraku terdengar ragu. Aku baru memakan satu bakso telor dengan rasa kaldu sapi yang luar biasa. Sedang Emily meracau tidak jelas.
"Kalau enggak malu apa namanya omongan lo barusan?" tanya Emily sinis. Tangannya bersedekap di dada.
Aku menghela napas. "Kenapa sih mesti memperpanjang masalah ini? Enggak penting, Emily. Gue mau makan dengan tenang. Lebih baik lo pesan makanan juga. Kasihan kelaparan pas jam belajar."
Emily menggeleng prihatin. "Ini penting Anastasya," katanya keras. Jeda sebentar. "Gue malah malu punya temen kayak lo. Bahkan untuk mengakui saudara kandung sendiri pun lo enggak mau. Ironis."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top