Bab 9
SUMIATI, CADDY LAPANG GOLF YANG MISKIN ITU MENJADI KAYA RAYA (9)
#MEMBALAS HINAAN BAPAK
Selamat membaca!
Zaki menepi menuju penjual sate di pinggir jalan sana. Sumi memilih penjual yang membuat satenya dicampur dengan kulit dan usus sehingga harganya pun sedikit lebih murah. Sumi membeli dua puluh lima ribu. Lalu dia pun pergi untuk membelikan Bapak rokok sambil menunggu yang bakar sate selesai. Setelah itu, keduanya kembali mengendarai sepeda motor hingga tiba di tempat biasa.
“Makasih, Zak! Gak pake ma-cinta!” ucap Sumi seraya turun. Zaki tersenyum geli, gombalan dan candaannya sudah ketebak lagi sama Sumi.
“Yah, gak seru! Lain kali, aku cari yang baru, deh!” kekehnya.
Sumi mengeluarkan satu lembar seratus ribuan yang sudah dipisahkannya untuk mengganti uang bensin Zaki karena mengantar jempunya. Namun hatinya ragu, takut-takut Zaki tak mau menerimanya.
“Zak! Terima, ya!” tukas Sumi sambil menyodorkan tangannya yang mengepal.
“Eh, kamu nembak aku, Sum?” Zaki menatap Sumi sambil mengedip-ngedipkan mata. Ucapan Zaki sontak membuat Sumi menarik napas kesal. Lalu dia masukkan saja uang itu ke saku Zaki dan berjalan meninggalkannya.
Sumi berjalan dengan langkah ringan, hatinya bahagia akhirnya bisa membelikan Ibu dan Bapak makanan enak. Uang hasil keringatnya sendiri dari bekerja. Berharap dirinya bisa berguna dan dianggap oleh Bapak.
Sumi melewati halaman rumah, ada sebuah motor besar terparkir di sana. Pintu sedikit terbuka. Sumi mendorong daun pintu dan mengucap salam.
“Assalamu’alaikum!” tukas Sumi.
“Wa’alaikumasalam!” jawab Ibu yang baru datang dari dapur.
“Bu, ini Sumi beli sate buat Bapak sama Ibu!” tukas Sumi. Ada Bapak yang tengah berselonjor di depan televisi. Namun tampaknya mereka baru habis makan. Masih ada piring bekas yang tertinggal.
“Bapak sudah kenyang makan rendang daging dari pacar barunya Intan! Untung kamu beli sate, jadi kamu gak usah ikut makan daging rendang saja, biar itu buat Bapak semua!” Bapak bicara datar, harapan Sumi seketika sirna. Jangankan dianggap, direspon saja alakadarnya. Itulah salahnya, dirinya terlalu berharap mendapatkan perhatian Bapak.
Hati Sumi yang tadi sudah cerah mendadak mendung. Kenapa Bapak seolah selalu tak menganggapnya? Padahal dia sudah dengan riang hati membeli sate ayam untuk mereka. Namun, baiklah tak apa, setidaknya Sumi sudah berusaha.
Sumi langsung menuju dapur untuk menyimpan satenya, di berpapasan dengan Intan bersama seorang lelaki bertindik beriringan dari dapur.
Awalanya senyum Sumi sudah hendak mengembang, akan tetapi surut kembali melihat wajah Intan yang dipasang begitu judes. Sumi menghela napas kasar lalu melanjutkan langkah menuju ke dapur dalam diam.
“Sum, beli sate banyak banget?” Ibu datang sambil mengusap punggung Sumi.
“Ya, Bu! Alhamdulilah tadi sudah bawa pemain, jadi dapet uang tips!” Sumi tersenyum seraya memindahkan sate itu ke atas piring. Diambilnya satu tusuk, sudah tak sabar ingin mencicipi. Sudah lama sekali tak makan enak, paling bagus lauknya hanya telur. Seringnya Ibu beli ikan asin agar awet katanya.
“Alhamdulilah!” Ibu tampak senang. Sumi mengambil uang dua puluh ribu dari sakunya. Ingin sekali ngasih sama Ibu. Ya, walaupun selama ini selalu Ibu yang ngasih uang untuknya.
“Ini buat beli garam, Bu! Doain nanti dapet pemain baik lagi seperti hari ini!” tukas Sumi. Ibu menerima selembar uang dua puluh ribuan itu dengan mata berkaca-kaca. Ya, Sumi memang penurut, manis dan sayang orang tua.
“Alhamdulilah, tapi kamu simpen saja buat ongkos besok! Zaki juga belum kamu kasih uang bensin ‘kan?” tukasnya yang memang tahu, Zaki selalu mengantar jemputnya. Namun tak urung juga lembaran warna hijau itu diterimanya.
“Sudah, kok, Bu! Tadi bagi dikit-dikit!” tukas Sumi.
Namun tanpa mereka sadar, Bapak sudah berada di sana, melewati keduanya dan mengambil gelas. Lalu ditatanya ke dalam tatakan, kemudian dia menoleh pada Ibu.
“Bu, buatin kopi buat Bagus! Gak enak sama dia, baru ketemu saja sudah bawain kita makanan enak, ngasih Bapak duit, terus ngasih Bapak juga rokok yang mahal!” Tukas Bapak sambil memamerkan selembar uang berwarna merah. Dia melirik sinis pada selembar uang dua puluh ribuan yang dipegang Ibu.
Sumi menunduk, lalu berjalan ke kamar meninggalkan Bapak dan Ibu. Padahal di dalam tas yang diselempangkannya sudah membeli rokok untuk Bapak, tetapi hatinya takut sakit lagi. Pastinya Bapak lagi-lagi akan membandingkannya dengan pemberian dari pacarnya Intan.
Terdengar suara gelak tawa Intan dari ruang tengah yang dilewatinya, Sumi berjalan lurus untuk mengambil handuk. Namun alangkah kagetnya dia ketika mendapati lemarinya kosong. Sumi tertegun, derit pintu terbuka seiring dengan munculnya wajah Ibu.
“Bu, pakaian aku pada ke mana?” Sumi menatap penuh tanya. Ibu tampak bingung, tetapi kemudian meraih tangannya dan mengajaknya duduk. Ibu menjelaskannya pelan.
“Hmm, Intan tadi bilang, pacarnya mau ngajak segera nikah, terus Intan mau tinggal di sini! Jadi gak mungkin kamu sekamar lagi sama Intan! Kamu tidur di kamar Ibu sama Asril, kita tidur bareng! Nanti biar Bapak tidur di ruang tengah saja dulu sebelum kamu gajian dan bisa ngontrak sendiri!”
Meskipun kalimat yang Ibu ucapkan pelan dan lembut, tetapi sudah mampu membuat Sumi menunduk dan menelan perih. Secara tak langsung, Ibu mengatakan kalau dia harus segera mengontrak karena kamarnya akan ditempati Intan dan suaminya kelak.
“ Iya, Bu!” Hanya itu akhirnya ucapan yang keluar. Sumi berjalan lesu menuju kamar Ibu. Lalu diletakkannya tas miliknya di sana. Dia mengambil handuk dan bergegas membersihkan diri. Tiba-tiba dirinya merasa menjadi sangat tak berarti. Usai berganti pakaian dia mengirimkan pesan pada Suvia.
[Via, kamu ngontrak sama siapa saja sekarang? Apa aku boleh ikut? Tapi aku belum ada uang untuk ikut iurannya!] tulisannya baru saja terkirim. Belum ada balasan. Sumi bergegas ke dapur, perutnya sudah meronta meminta diisi makanan.
Sumi duduk dengan semangat, bagaimanapun sudah terbayang lezatnya sate yang akan dia makan. Lidahnya sudah terlalu bosan selama ini makan ikan asin dan tempa. Namun baru saja dia membuka tudung saji, Sumi tertegun. Hanya ada nasi, sambal dan ikan asin tersisa di sana. Sate miliknya sudah tak ada.
Sumi berdiri dan mencari-cari satenya, hingga akhirnya terdengar suara kucing di samping rumah yang bertengkar. Sumi membuka pintu untuk mengusirnya, tetapi alangkah terkejutnya dia ketika melihat ada tiga kucing yang tengah memakan satenya.
“Ya Allah, kenapa sateku ada di sini? Siapa yang sudah begitu tega membuangnya?” umpat Sumi dalam dada. Dia hanya mampu menelan saliva melihat sate-sate yang sudah berserak di tanah dan bercampur debu itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top