Bab 8
SUMIATI, CADDY LAPANG GOLF YANG MISKIN ITU MENJADI KAYA RAYA (8)
#MEMBALAS HINAAN BAPAK
Selamat membaca!
Sumi mulai melangkah mengikuti langkah pemainnya dengan susah payah. Medan lapangan yang turun naik, kadang tanahnya tak rata membuat tangannya benar-benar harus mengimbangi troli yang mendorong bag golf yang dibawanya. Keringat sudah bercucuran, sinar matahari pagi memeluknya dengan senyuman.
Mereka hampir tiba pada green---lapang yang berbentuk hampir bulat itu dengan rumput yang tampak bak permadani, sangat rapi dan lembut. Berbeda dengan rumput yang mereka pijak sekarang yang hanya rapi karena di pangkas, tetapi tak sehalus rumput green.
“Kokki, mae des! Angin lawan, ya!” Sumi mendengar Tina menjelaskan pada pemainnya. Dia tampak mengambil pucuk rerumputan lalu melemparnya ke udara menunjukkan ke arah mana angin bergerak. Orang jepang yang dibawa Tina tampak berpikir dan menatap stick golfnya, lalu dia mengambil salah satu lalu memukul bolanya dengan stick. Benar, bola golf itu mendarat di green dan sangat dekat dengan lubang.
Ya, dia ingat jika bendera yang tiangnya menutup lubang golf berwarna merah, berarti lubang depan. Kalau warnanya putih, berarti di tengah, kalau warnanya biru berarti di belakang. Rupanya itu pun merupakan kode, yang menghubungkan jarak, arah angin dan pukulan yang harus dijelaskan pada pemain seperti yang Tina lakukan.
“Sugoi ne!” pekik orang Jepang yang dibawa Tina sambil tertawa senang.
Tina mengambil stick yang tadi dipakai pemainnya untuk memukul. Lalu memutar mencari tempat yang dekat dengan hole berikutnya untuk menyimpan bag golf pemainnya. Dia mengambil putter atau stick golf dengan kepalanya datar, untuk memukul golf di atas green yang seperti permadani itu masuk agar masuk ke lubang. Lalu berjalan menghampiri pemainnya.
Semua sudah berada di atas green. Para kedi mengambil bola golf dan menggantinya dengan mark atau pin kecil yang ditanamkan di lapangan. Bola itu dibersihkannya menggunakan saputangan handuk kecil yang dibasahi dengan sedikit air, lalu diserahkan pada pemain.
Sumi pun melakukan demikian, dia sudah belajar untuk hal ini ketika kemarin training. Cuma lagi-lagi dia dibuat minder ketika para kedi lain memberikan arahan untuk memukul bolanya.
“Hidari kuchibiru, desu!” tukas Rima pada pemainnya. Mengarahkan agar dia memukul bola ke arah bibir kiri lubang golf karena kemiringan lapang. Pemain itu mengayunkan putter dan bola menggelinding turun, lalu benar masuk ke dalam lubang.
Sumi menelan saliva ketika Yamada meminta putter padanya. Lelaki bermata sipit itu tersenyum melihat wajah Sumi yang ketakutan.
“Sumi chan, jangan khawatir! Saya nya pandai! Ini green miring kiri agak banyak, jadi saya harus ambil arah kanan lubang setengah grift!” tukasnya. Dia menjelaskan pada Sumi yang berdiri tak jauh darinya.
“Maaf, Mister! Eh … Yamada san!” tukas Sumi gugup. Dia pun masih sungkan menyebut nama, padahal sudah diajarkan jika orang Jepang lebih suka di panggil namanya dan ditambahkan kata san daripada disebut mister.
Sumi pun merasa tak enak hati. Semua kedi yang lain memberikan arahan dan masukan untuk para pemainnya, sedangkan dia baru bisa membawakan bag golfnya saja. Tak ada kontribusi yang berarti untuk Yamada.
“Don’t worry! Sayanya pintar, na!” tukasnya dengan logat khas orang jepang berbicara Bahasa Indonesia.
Yamada meminta Sumi sedikit menjauh, ketika memukul bola di green membutuhkan konsentrasi. Memukul bola di green itu bukan mendorong bola, akan tetapi mengantarnya sehingga bola menggelinding pelan mengikuti kemiringan lapang dan menuju lubang golf yang mana benderanya telah di ambil itu.
Bola yang dipukul oleh Yamada melaju perlahan, bergulir dengan indah lalu terjatuh sempurna.
“Wow! Nice Par!” seru pemain lainnya sambil tepuk tangan. Ya, mereka memberikan apresiasi pada Yamada karena permainan golfnya bagus dan mendapatkan nilai yang memusakan.
Akhirnya, hari itu bisa dilewati Sumi dengan sebuah pengalaman baru yang membuatnya cukup tertegun. Rupanya memandu pemain golf tak semudah yang dia bayangkan sebelumnya. Jika dalam pandangan masyarakat, rata-rata menganggap pekerjaan kedi itu sebagai pemulung bola golf, tetapi pada kenyataannya pekerjaan ini pun membutuhkan skill yang tak mudah. Bahkan harus berbaur dengan alam dan menerjemahkan berbagai komponen, seperti arah angin yang akan mempengaruhi pukulan di lapangan, arah rumput pada area lapangan yang berumput seperti hamparan permadani itu, apakah dia mengarah searah dengan arah lubang golf atau berlawanan arah, dan banyak lagi hal-hal baru yang Sumi dapatkan.
Beruntung Yamada sudah sangat menguasai kondisi lapangan, bahkan Sumi yang banyak belajar dari lelaki bermata sipit itu.
Menjelang tengah hari mereka finish. Keringat sudah bercucuran, kaki Sumi sudah terasa sangat pegal menjelajahi lapangan yang luasnya hektaran itu. Namun para pemain dan para kedi senior tak terlihat lelah, fisiknya sudah terbiasa berjalan jauh, sehat katanya.
“Sumi chan, terima kasih banyak, ya!” Yamada mengucapkan terima kasih seraya membungkukkan badan. Lalu dia melepas sarung tangan serta memasukkan bola yang dipegangnya ke dalam bag.
“Sama-sama, Yamada san!” ucap Sumi sambil tersenyum. Dia bisa bernapas lega setelah akhirnya bisa menyelesaikan satu round permainan. Satu round itu menghabiskan dua lapangan yang berbeda dengan jumlah total delapan belas lubang golf. Biasanya para pemain sedikitnya main delapan belas hole, kadang ada juga yang dua puluh tujuh hole, atau tiga puluh enam hole. Jika main tiga puluh enam hole, biasanya mereka akan teeoff awal karena membutuhkan waktu seharian untuk menyelesaikan tiga puluh enam hole tersebut.
Ketiga rekan Sumi mengajaknya mendorong bag tersebut menuju potter untuk menyerahkan pada bag receiver. Namun Yamada san mengeluarkan dompet dan mengambil beberapa lembar warna merah lalu disodorkan pada Sumi.
“Apa ini, Yamada-san?” Sumi bingung. Berdasarkan yang dia dengar, katanya memang ada uang tips, tapi untuk kedi baru paling biasanya uang tips itu kisaran lima puluh ribu sampai seratus ribu, tapi dia melihat lembaran uang yang diberikan Yamada itu cukup banyak menurutnya.
Yamada terkekeh, mata sipitnya membuat wajahnya tampak imut. “Ini uang tips, buat Sumi chan! Beli gloves, ya! Nanti minggu depan bawa saya lagi!” tukasnya sambil melirik tangan Sumi yang polos. Biasanya para kedi memakai sarung tangan agar kulitnya tak terbakar, tetapi jangankan sarung tangan, uang yang didapatkan Sumi dari Ibu hanya cukup untuk ongkos dan makan.
“Terima kasih banyak, Yamada san!” Sumi menerima lembaran uang berwarna merah itu dengan tangan gemetar.
“Boleh minta phone number? Minggu depan saya main lagi! Sumi chan nanti bawa saya lagi!” tukasnya.
Sumi ragu, dia tak tahu harus memberikan nomornya atau tidak, tetapi Tina yang kebetulan menoleh padanya mengisyaratkan agar Sumi memberikan nomornya saja. Akhirnya Sumi menyebutkan nomornya dan Yamada menuliskan di dalam gawainya.
“Sampai jumpa lagi Sumi chan!” tukasnya sambil tersenyum dan melambaikan tangan.
Seperginya Yamada, Tina mendekat. Kebetulan Rima dan satu lainnya sudah duluan pergi mengantarkan bag.
“Wah rejeki kamu bagus, Sum! Baru bawa pemain sudah dibooking!” tukasnya sambil menepuk bahu Sumi.
“Oh kalau kayak gini tuh, booking?” Sumi menatap Tina. Tina mengangguk seraya mengajaknya berjalan mengantarkan bagnya ke receiver.
“Iya, jadi selama dia merasa cocok sama kamu, tiap dia main golf nanti kamu yang memandunya! Biasanya kalau kita udah dibooking, ngasih uang tipsnya besar. Enak sih kalau Yamada, dulu aku pernah bawa sekali, cuma gak jodoh sama aku!” kekehnya.
“Moga saja, Teh! Aku padahal gak ngerti apa-apa, tadi aja dia yang ngajarin aku malah!” tukas Sumi. Hatinya masih bingung, kenapa orang jepang itu membookingnya.
***
Sore menjelang, Sumi sudah bersiap pulang. Seperti biasa, sepulang kerja pastilah Zaki yang menjemputnya. Sumi sudah memisahkan uang yang ternyata ada tiga lembar seratus ribuan itu, satunya untuk Zaki. Gak enak sudah terlalu sering menumpang. Tadi dia belikan sarung tangan di teman seniornya yang berjualan, membeli yang biasa saja seharga tujuh puluh lima ribu rupiah, jadi masih tersisa untuk memberi Ibu dan membelikan Bapak rokok.
Sumi bersyukur tak henti, akhirnya dia tak harus lagi minta sama Ibu untuk ongkos angkutan. Sumi bergegas naik ke atas sepeda motor Zaki, mereka melaju menuju arah pulang. Kadang Zaki menjemputnya langsung ke tempat golf, kadang juga jika dia ada lembur, maka akan bertemu di tempat turunnya jemputan.
“Zak, mampir dulu di tukang sate yang di depan, ya!” tukas Sumi. Membayangkan wajah Bapak dan Ibu akan tersenyum senang ketika dia membelikannya sesuatu.
“Oke! Tapi kali ini saja, ya mampir di sininya!” tukas Zaki sambil memelankan sepeda motornya.
“Kenapa gitu? Kalau ada uang, aku bisa mampir kapan saja, lah!” kilah Sumi. Zaki terkekeh seperti biasa lalu menyahut.
“Lain kali, mampirnya di hati aku saja!” tukasnya. Satu pukulan pada bahu Zaki akhirnya Sumi hadiahkan untuk lelaki yang memberinya warna tersendiri di tengah harinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top