Bab 7
SUMIATI, CADDY LAPANG GOLF YANG MISKIN ITU MENJADI KAYA RAYA (7)
#MEMBALAS HINAAN BAPAK
Selamat Membaca!
Sumiati melangkah tergesa ke ruangan kedi master. Dia mengambil seragam seperti yang diperintahkan oleh Stevani. Akhir-akhir ini Sumi baru tahu, jika Stevani pun rupanya kedi master baru. Sementara itu, kedi master senior yaitu Maharani sedang cuti melahirkan.
Stevani menatap punggung Sumi yang baru saja mengambil perlengkapan untuk turun ke lapangan memandu pemain. Hatinya cukup kesal, ketika kemarin Sumi melawan. Beruntung dia bisa mengelak ketika dalam CCTV itu tak ditemukan bukti jika Sumi dan Suviah mengambil uang, beruntung juga ruangan kedi master CCTV nya rusak, jadi dia bisa mengelak. Seorang cleaning service yang akhirnya jadi korban pemecatan. Uang satu juta yang diambilnya, dia tuduhkan pada cleaning service yang kebetulan masuk ke ruangan kedi master untuk bersih-bersih.
Awalnya dia mengumpankan Sumi dan Suviah karena melihat wajah lugu mereka. Stevani pikir dia bisa memperdaya dan mengkambinghitamkan kedua gadis itu, seperti yang biasanya dia lakukan pada anak-anak baru yang tampang polos dan lugu. Namun kehadiran Zaki yang memberikan ide memeriksa CCTV membuatnya hampir kehilangan alibi.
Sumiati bergegas berganti pakaian, rambutnya diikat ke atas dan dimasukkan ke dalam topi yang daun topinya lebar bagian depan. Dipolesnya wajah dengan bedak agak tebal, karena itu standard kerja agar tak kena matahari dan kulitnya terbakar. Bibirnya dipoles lisptik warna merah bata, agar tak terlihat kering dan tampak segar. Dia menatap wajahnya yang baru pertama kali dipoles bedak setebal itu, ada rasa aneh dan pangling menatapnya, meskipun bulu mata dan alis tak dibuat-buatnya. Namun bagi dirinya sendiri sudah cukup pangling.
Sumi berlari menuju lapangan. Dia menggantikan kedi yang tadi sudah membawa bag atau tas berisi stick golf milik Yamada. Kedi senior itu tersenyum lalu menepuk pundak Sumi.
“Kamu baru, ya? Dia baik, kok! Sudah hapal lapangan juga,” tukasnya.
“Iya, Mbak! Maaf, ya, Mbak!” Sumi merasa gak enak. Bagaimanapun kedi tersebut harus kembali mengantri urutan rotasi untuk mendapatkan pemain baru.
“Gak apa-apa, santai saja! Nama Saya Fenita, kamu siapa?” tanyanya ramah. Berbeda sekali dengan wajah Stevani yang selalu tampak sok kuasa dan membuat hati Sumi deg-degan.
“Saya Sumi, Mbak!” Sumi mengangguk sopan.
“Oke, aku ke potter dulu, ya! Jangan takut, mereka pada baik, kok!” tukasnya sambil tersenyum. Dia menepuk pundak Sumi dan berlalu meninggalkannya.
“Ohayoo goziamasu, Sumi chan!” Yamada yang baru kembali dari driving range atau tempat latihan atau pemanasan pukulan golf, mengucapkan selamat pagi seraya tersenyum menatap wajah bingung Sumi.
“M—maaf, saya belum pandai bahasa jepang!” Sumi berucap sopan seraya mengangguk pelan. Yamada terkekeh. Mata kecilnya semakin sipit saja. Namun dia tampak manis dengan mata yang menyipit bak bulan sabit.
“Sumi chan, don’t worry! Saya nya sudah lama stay Indonesia. Sudah banyak bisa bicara bahasa!” tukasnya menjelaskan bahwa Sumi tak usah khawatir, dirinya sudah lama tinggal di Indonesia. Dia menyebutkan sudah bisa bicara bahasa, artinya bisa bicara bahasa Indonesia. Cuma kebanyakan orang jepang biasanya hanya menyebut bicara bahasa saja.
Sumi hanya mengangguk. Untuk bahasa inggris sedikit-sedikit dia paham, tetapi untuk bahasa Jepang, sama sekali dia tak mengerti.
TIga orang bermata sipit pun mendekati Yamada lalu berbicara dalam bahasa jepang. Semua serempak membungkuk lalu menoleh pada kedi masing-masing. Sumi hanya mencoba mengikuti saja ketika ketiga kedi yang sepertinya sudah senior itu mengajaknya berangkat.
“Neng, ayo! Si Misternya ikutin!” tukas Tina sambil mendorong troli berisi bag pemain. Sumi yang belum terbiasa masih terlihat kaku. Namun berbeda dengan para kedi yang sudah lama, mereka tampak begitu luwes dan menarik benda itu seolah sangat ringan.
“Tin! Aku mau ngambil minum dulu!” tukas Rima salah satu dari kedi dari rombongan pemain Yamada. Kedi yang lain mengiyakan dan mengambil alih troli itu lalu mendorong miliknya dan menarik troli titipan temannya.
“Gih!” tukas Titin seraya meraih troli milik Rima. Anida yang pemainnya berjalan sangat cepat sudah duluan juga.
Sumi yang membawa satu troli saja kesusahan menoleh dan bertanya.
“Teh gak berat bawa dua?” Sumi bertanya.
“Awalnya kalau belum biasa, berat! Tapi kalau dah biasa, ringan saja! Jadi kedi itu bukan kerja sendiri, Neng! Kamu baru, ya! Nanti kita itu satu tim, jadi saling bantu kayak gini! Kalau bola pemain yang satu hilang, kita pun bantu cari, kalau temen kita mau ambil minum atau finish di green belakangan, kita bawain trolinya,” tukasnya sambil tersenyum.
Sumi mengangguk. Rupanya bayangan tentang senioritas ketika melihat wajah Stevani itu mendadak buyar, semua tim yang ada di lapangan rupanya menyenangkan. Merangkul yang baru dan mengajarkan.
Mereka tiba di salah satu lapangan yang terdiri dari Sembilan hole atau lubang golf. Tiap lapangan itu diawali dengan tempat memulai pukulan yaitu teebox, para pemain yang mereka bawa memilih teebox warna biru. Di sana ada sebuah tugu juga bertuliskan par yang merupakan skor yang harus diraih untuk mendapatkan nilai pukulan yang bagus.
“Sumi san, driver!” tukas Yamada.
Sejenak Sumi terdiam, setahu dia driver itu supir. Namun Yamada menunjuk salah satu stick golf yang paling besar. Ya, Sumi baru ingat jika stick yang biasanya nomor bertuliskan nomor satu itu namanya driver wood. Rata-rata para pemain golf menggunakan stick tersebut untuk memulai pukulan mereka. Kadang ada yang menyebut driver kadang ada yang menyebut wood
.
“Yon hyaku go juu yard, kawa, desu! Migi e oob! Hidari e kawa and one pena!” tukas Rima menjelaskan pada pemainnya. Dia mengatakan jika empat ratus lima puluh yard jarak dari teebox itu ada sungai, dan sebelah kanan ada oob atau out of bounds yaitu jika bola golf melewati patok putih tanda oob maka pemain harus mengulang pukulan kembali ke teebox. Makanya jika ragu, sebaiknya pemain memukul dua kali, jika ternyata tidak oob maka yang diambil itu pukulan untuk bola pertama dan bola kedua diabaikan. Sebelah kiri ada patok pinalti dan sungai.
Pukulan dari pemain Rima melambung ke arah kiri , melewati banker atau sebuah tanah yang dicekungkan dan berisi pasir, lalu menggelinding mendekati sungai. Mereka histeris ketika akhirnya bola tersebut tenggelam.
“Bola mandi, one pena!” tukas Rima sambil terkekeh, dia menerima stick tersebut yang dikembalikan pemainnya. Pemain yang dibawa Rima menggeleng kepala sambil tersenyum.
“Teh, kok bola mandi? One pena itu apa?” Sumi bertanya pada Rima. Gadis itu terkekeh.
“Ya kita kan sebagai pemandu, harus bisa mencairkan suasana. Bola mandi itu maksudnya bolanya dia nyebur ke kali itu tuh yang di depan, kalau one pena itu berarti kena pinalti satu!” tukas Rima menjelaskan.
Sumi manggut-manggut. Rupanya banyak sekali detail yang kemarin diajarkan yang belum paham. Kini tiba saatnya Yamada yang mengambil ancang-ancang untuk memukul. Wajah tampan khas asia itu tersenyum, dia menggeliat ke kanan dan kek kiri lalu mengayunkan stick dan bersiap memukul bola golf tersebut.
“Lihatin bolanya!” bisik Tina pada Sumi. Sumi mengangguk gugup, saking gugupnya dia tak sadar ketika bola itu sudah tak ada di atas teebox. Para kedi lain bersorak, hanya dia saja yang kebingungan.
“Duh, bolanya ke mana?” batin Sumi. Wajahnya sudah pucat, takut-takut Yamada bertanya padanya. Dia sama sekali tak tahu bola yang dipukul itu melambung ke arah mana. Benar saja apa yang ditakutkannya terjadi. Yamada datang dan menyerahkan stick golf itu padanya sambil bertanya.
“Sumi chan, bola saya ke mana?” tanyanya.
“K—ke atas, M—Mister!” jawab Sumi spontan. Sontak semua tertawa, termasuk Yamada. Terlebih melihat wajah Sumi yang pucat pasi karena gugup.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top