Untukmu, Eleanor

[Entry 1]

Eleanor. E-l-e-a-n-o-r. Rasanya masih persis seperti dulu di langit-langit mulut saya. Masih ingatkah kamu akan percakapan kecil kita waktu dulu? Saya masih ingat kamu berjalan-jalan di dekat sulur-sulur rasberi yang tinggi, di bawah langit malam yang bening. Andaikata kita bisa berlari lagi seperti dulu, mengejar lusinan kupu-kupu bersayap hitam, tidur di atas hamparan rumput yang ada di taman rumahmu.

Kamu pernah bercerita pada saya dulu tentang dunia ini. Katamu, segala sesuatu yang ada di dunia ini selalu mengalir, bertransformasi, bermigrasi, dan berubah menjadi bentuk lain, bahwa segala sesuatunya perlu berubah dan tidak perlu takut menghadapi perubahan. Pada waktu itu saya tak sempat mengacuhkan kisahmu. Saya terlalu sibuk memandang bintang-bintang yang ada di langit, sembari berpikir, berapa jumlah malaikat Tuhan yang sekiranya bisa mengangkat salah satu dari sekian banyak gugusan bintang itu.

Telunjukmu yang mungil menunjuk ke arah salah satu bintang yang ada di langit. Kamu menamainya Xibalba. Katamu itu adalah alam bawah para kaum terdahulu yang tinggal di Amerika Selatan, tempat jiwa-jiwa dilahirkan kembali ke dunia. Saya terkejut betapa cepat kamu meloncat dari satu topik ke topik lain tanpa membuat saya bosan. Kamu, Eleanor, sudah menjaring atensi saya sejak kita pertama kali bertemu.

[Entry 7]

Saya kembali tertawa saat kamu bilang jiwa itu tidak eksis. Saat itu saya spontan--atau telanjur--melabelimu sebagai seorang pemudi edgy dengan pola pikiran aneh. Pikiran saya waktu itu belum terbuka sepenuhnya, masih terkekang sterotip dan doktrin-doktrin yang beredar di kalangan masyarakat luas. Saya hanya manggut-manggut begitu kamu menyadur pemikiran Augustinus, Plato, dan Aquinas. Pada waktu itu sekian nama yang kamu sebut terasa asing bagi saya. Kamu kelihatan begitu semangat ketika kamu sudah mencapai penjelasan tentang dualisme jiwa dan tubuh. Jika jiwa memang terkurung dalam tubuh, semestinya ia akan hancur begitu tubuh yang ditinggalinya hancur pula, begitu paparmu.

Kamu bertanya tentang pendapat saya waktu itu, dan saya tidak punya jawaban yang tepat. Maka saya memutuskan untuk memikirkannya dahulu. Mengesankannya, kamu malah menyemangati saya untuk melakukannya. Kamu berkata bahwa inilah tujuan sebenarnya dari hubungan kita berdua, saling memberi edukasi dan semangat untuk menjadi lebih baik. Saya benar-benar terpukau waktu itu, Eleanor.

[Entry 15]

Kali ini kita kembali membahas hal yang begitu berat. Namun, entah kenapa, kamu menjadi sebuah magnet alami bagi saya, seberat apa pun konten yang kamu berikan. Selama meminum kopi di kafe, mata saya tak henti-hentinya menatap wajah tirus dan rambutmu yang terurai. Walau saya tahu, kita sendiri berbeda keyakinan, dan tidak terlahir dari keluarga yang religius.

Saya pikir kepala saya nyaris berasap ketika kamu menjelaskan dialektika Hegel dengan sangat sistematis dan rinci, nyatanya tidak, saya saja yang terlalu hiperbolis. Sambil meminum secangkir teh mentega--yang dulu kamu bercerita tentang bagaimana para biksu di Tibet bertahan dalam meditasi mereka hanya dengan secangkir teh itu--kamu memberi perumpamaan dengan mengumpamakan secangkir teh pahit sebagai tesis, gula sebagai antitesis, dan teh yang sudah jadi sebagai sintesis.

Lalu dengan bodohnya saya tidak sengaja mengutarakan ide tentang hubungan kita dengan fase-fase yang diciptakan oleh Hegel. Kamu sebagai tesis, saya sebagai antitesis, dan hubungan kita sebagai sintesa. Kamu hanya tertawa seraya mengatakan betapa cemerlangnya ide yang saya punyai. Saya memang tidak mempunyai selera sarkasme sama sekali waktu itu.

[Entry 23]

Saya hanya bisa berkeliling rumah, mencari jawaban dari pertanyaan yang kamu ajukan. Saya masih ingat benar seberapa tidak nyamannya kamu terhadap sistem pendidikan di negeri kita. Satu orang mesti dituntut untuk menguasai setidaknya sembilan mata pelajaran itu tidak adil, katamu. Alangkah lebih baik jika kita sudah terarah tanpa paksaan sejak dini, agar besarnya tidak terlunta-lunta mencari pekerjaan, sebab tidak semua orang mempunyai kapabilitas dan hobi yang sama, saranmu.

Kamu terkekeh-kekeh dengan pipi merah merona begitu saya memintamu membahas tentang intrik kaum mayoritas dan kaum minoritas di negeri kita. Katamu semestinya hal semacam itu sudah masuk museum terdekat. Mengatakan bahwa semua komunis adalah ateis termasuk hal bodoh, paparmu. Kamu juga berpendapat, bahwa negara kita belum mumpuni untuk melaksanakan demokrasi. Lucunya, kamu juga menyarankan agar bentuk negara kita diubah menjadi monarki konstitusional, tanpa mengubah dasar hukum yang telah ada. Benar-benar mengherankan sekaligus menakjubkan.

Ya, Eleanor. Saya terkagum-kagum dengan perspektif dan pola pikirmu waktu itu. Saya dengar orang lain sering berkata bahwa kamu bisa jadi adalah orang dewasa yang terperangkap dalam tubuh anak kecil. Kamu bercerita tentang bagaimana kamu sering dirundung di lingkunganmu, persis seperti saya dulu ketika masih menjadi bocah ingusan. Kita berdua bisa saja sama karena berbeda, juga berbeda karena sama. Saya semakin yakin kita berdua bisa saling melengkapi selagi jutaan kupu-kupu hitam menari di dalam perut saya. Bagi saya, kamulah mimpi di atas segala mimpi.

[Entry 34]

Sudah nyaris seminggu kamu tidak menelepon saya, Eleanor. Mestikah saya khawatir?

Sejak rumahmu dikontrakkan beberapa hari lalu, saya dengar kamu pindah bersama kedua orang tuamu ke sebuah kompleks perumahan di pusat kota. Di mana tepatnya, saya tidak tahu. Sejak hari itu, kamu seakan hilang tanpa meninggalkan bekas yang jelas. Kamu membuat saya nyaris tidak mampu tertidur dengan tenang. Kota ini sangat menghawatirkan, Eleanor. Orang berkeyakinan lain dan minoritas sepertimu bisa saja berakhir di tangan manusia-manusia bodoh yang terlalu fanatik.

Saya tahu ini kelihatan gila bagimu, Eleanor. Namun semenjak kepergianmu, saya mulai bicara sendiri pada dinding-dinding, buku-buku, dan plafon rumah. Jarak kita hanya satu kota, memang. Namun ada banyak faktor, sepertinya, yang menghalangi pertautan mata kita berdua sehingga aku hanya bisa menemuimu dalam mimpi.

[Entry 36]

Kamu mesti melihat ekspresi saya saat saya membuka surat undangan itu, Eleanor. Saya terkejut bukan main. Rupanya kamu sudah menemukan pasangan lain yang cocok untuk dirimu, dan kamu meminta saya untuk datang ke acara pernikahanmu.

Kamu pernah bercerita tentang lubang cacing, bukankah begitu, Eleanor? Katamu probabilitas untuk bisa masuk ke sana sangatlah kecil, bahkan tidak sampai rata-rata usia manusia untuk bisa mencapainya. Saat ini saya hanya ingin masuk dan lenyap ke dalamnya, berharap saya terlempar ke dimensi lain, atau terobek-robek arus gravitasinya hingga menjadi satu dengan waktu.

[Entry 50]

Saya datang waktu itu, Eleanor. Saya melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana wajahmu yang bertambah tirus, di antara para tamu yang hadir.

Kamu berdiri di tengah-tengah taman bersama pria itu, sebagaimana kita berdua berdiri dan bermain di sana sewaktu kecil. Senyummu simpul, gaun satinmu melambai-lambai tertiup angin, wajahmu berseri-seri, seakan kamu telah mengubur kenangan yang ada rapat-rapat. Pria jangkung berkacamata yang menggandeng tangan mungilmu itu juga kelihatan begitu bergembira denganmu. Saya mencoba untuk tidak melarikan diri ketika pendeta hendak meminta kalian berdua mengucap sumpah, Eleanor. Saya hanya terpaku di sana, di ujung sana, mencoba memasang senyum terbaik yang saya punya. Bahkan ketika kalian berdua saling memberikan kecupan, saya masih tersenyum lebar untukmu.

Saya memang datang waktu itu, Eleanor. Namun kamu tidak pernah sekali pun memandang atau memperkenalkan saya kepada pria yang kamu gandeng sekarang.

[Entry 63]

Tidak ada kamu hari ini, Eleanor. Tiada dalam pandangan, tidak pula dalam mimpi.

Dua jam lalu saya dengar semua kompleks perumahan di pusat kota diserbu oleh orang-orang bodoh yang fanatik. Saya dengar dari warga yang berlari dari pusat kota, banyak toko-toko dijarah, perawan muda dan janda tua yang diperkosa, tempat ibadah yang dibakar, dan para pemuda yang dibacok. Saya dengar orang-orang fanatik berhasil membantai banyak orang, termasuk orang-orang berkeyakinan lain sepertimu. Saya dengar orang-orang itu hendak menaklukkan kota ini dan mendirikan negara baru berbasis agama mayoritas. Persis seperti dulu, Eleanor. Persis seperti dulu.

Dua jam lalu saya berpikir untuk mengumpulkan lembaran-lembaran ini, berharap akan ada orang yang cukup pandai untuk menemukannya, lalu mengambil sebagian pelajaran darinya, Eleanor. Ini hanya satu-satunya cara yang bisa saya lakukan agar riwayat kita tetap abadi. Sekali pun catatan harian ini musnah dibakar penjarah di apartemen yang saya tinggali, atau termakan oleh zaman yang semakin revolusioner, saya yakin pasti akan ada orang yang selalu mengingat apa yang kita perjuangkan di sini.

Eleanor, sampai sekarang saya masih berharap alam baka dalam kepercayaan saya itu benar adanya. Sebab kamu dan saya bisa saling bertemu di sana. Jarak tidak lagi membatasi kita di sana. Waktu akan menjadi non-linear di sana. Kita akan terus mengalir dan berputar dalam satu siklus tanpa akhir, disiksa, mati, lalu dibangkitkan kembali, hanya untuk disiksa kembali. Tubuh kita sudah tercabik-cabik oleh dekomposer, sementara jiwa dan kesadaran kita kembali tercabik-cabik di alam lain sebagai satu substansi tunggal di realitas yang fana.

Saya berhadapan dengan neraka saat ini, Eleanor. Rasanya sangat berat untuk tidak menjadi pengecut, tetapi saya yakin kamu tahu saya tidak akan menyerah. Saya pernah bilang kepadamu, bahwa kematian hanya sebuah pintu yang tertutup. Ketika satu tertutup, maka yang lain akan terbuka. Dan saya berharap kamu akan menunggu saya di sana.

Eleanor, kali ini saya berharap kamu dapat melihat saya melebur bersama angin. 



----------

Gimana, nyesek nggak?

Hari ini, temanya adalah, "seseorang yang membuatku berhenti bermimpi." Kebetulan, masih nyambung dengan cerita kemarin, tentang Eleanor juga. Aku pengen bereksperimen dengan genre epistolary--jenis cerita fiksi yang disusun dari kumpulan surat, diari, atau dokumen-dokumen penting. Jika kalian tidak keberatan, jangan lupa tekan tombol bintang di bawah dan kasih aku tanggapan kalian, ya guys!

Terima kasih banyak sudah mau membaca bahkan sampai hari ke-22, support dari kalian sangat berharga bagiku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top