Quanzhou

1346, Quanzhou, Provinsi Fujian, Tiongkok Timur.

Quanzhou tampak mempesona, tetapi entah kenapa hati Ibnu Batutah terasa kurang nyaman.

Kota-pelabuhan itu menyala-nyala layaknya rombongan pelita di atas air, berdiri teguh sebagai salah satu dermaga dan titik transit terbesar yang pernah ia temui. Pelabuhan tersebut berada di pinggir teluk yang menjorok menuju daratan dan bergabung dengan sungai utama. Kapal niaga dari Kalikut, Aceh, dan Yaman tumpah ruah di pesisir pantai, mengangkut kargo dan penumpang yang memilih jalur lain selain Jalur Sutra. Aroma gurih rempah-rempah berkobar di udara bagai dupa yang tak kunjung padam.

Ingatan membawa pikiran Ibnu Batutah melayang-layang menuju Sijilmasa—kota perdagangan di Maroko—tempat di mana pemilik tanah membangun kebun di sekitar rumah mereka. Hanya saja, kebun di Quanzhou disesaki oleh buah plum dan semangka yang asing. Sebagai ahli fikih mazhab Maliki yang sudah berpengalaman dan bersertifikasi, ia seringkali ragu apakah mereka aman untuk dikonsumsi. Apalagi, dari yang ia lihat, semangka memproduksi air dalam kuantitas besar.

Omong-omong soal buah dan makanan, Ibnu Batutah sempat melongo ketika ia berangkat ke pasar tadi.

Di salah satu sudut pasar, seorang pengemis tengah menengadahkan mangkuk kayunya, mengharapkan selembar uang dari siapapun yang lewat. Pengemis itu berpakaian menggunakan kain sutra. Bayangkan, kain sutra. Sebegitu kayakah negeri ini sehingga seorang pengemis pun bisa berpakaian semewah itu? Ibnu Batutah mengernyitkan dahi, mencoba berpikir keras.

Di Moroko, tempat kelahirannya, orang-orang berniaga menggunakan koin emas, perak, dan perunggu. Pengemis di sana juga berpakaian dari wol lusuh, penuh tambalan, dan penuh bercak kotor. Di sini, di bawah kepemimpinan Kaisar Mongol, Toghon Temur, ia mendapati bahwa uang kertas jauh lebih dominan daripada dirham Arab ketika berdagang. Ia sempat terpukau menilik kualitas kain beludru, damask, dan satin yang digelar oleh para pedagang pribumi—jauh lebih superior dari milik Khansa dan Khan Baliq. Oh, dan jangan lupa soal ayam-ayam besar di kios tukang jagal. Sepertinya enak untuk dimakan. Atau tidak, ia kurang tahu.

Ibnu Batutah kembali menghela napas.

Ia ingin menghilangkan gambar itu dari memorinya sejak pulang dari pasar. Mual rasanya menengok daging babi, katak, bahkan anjing dicincang dan dijual secara bebas di pasar-pasar terdekat. Tak sedikit juga dari warga Quanzhou yang ia temui dengan lahap menyantap sup tersebut di depan umum sambil mereguk ciu dari gelas porselen. Patung-patung dewa juga lengkap dipajang di hampir tiap kios, dengan berbagai persembahan yang beraura konfusianis.

Sejak saat itu, ia jadi enggan untuk keluar rumah yang sudah disediakan oleh seorang fānzhǎng--kepala distrik dagang muslim--lengkap dengan pemusik dan pelayan. Namun ia juga gelisah, sebab, sebagai duta besar yang dikirim oleh Muhammad Tughluq—Sultan Delhi dan India—ia bertanggung jawab untuk menyerahkan pesan dan hadiah kepada kaisar di Beijing. Nahasnya, hadiah tersebut sudah karam bersama puluhan orang penumpang di dasar laut beberapa bulan lalu karena amukan badai, bahkan sebelum ia melintasi Selat Malaka.

Kin, ia begitu ingin pulang ke Tangier sekaligus menghindari tiang gantung di pengadilan sang sultan.

Yang tidak Ibnu Batutah ketahui, kepergiannya akan menjadi sinyal sebuah bencana dahsyat yang tak hanya menimpa Dinasti Yuan, tapi seluruh negara yang berdagang di Jalur Sutra. Bencana tersebut akan datang dari gerombolan pinjal yang hinggap di tubuh kawanan tikus, jauh di Yuan bagian utara. Sebuah awan hitam di atas kemilau emas dan gelak tawa para penguasa:

Maut Hitam.


----------

Tak de hujan, tak de angin, tiba-tiba duarrr, disuruh nulis cerita dengan setting Dinasti Yuan. Gilak kali buat tema hari ke-17, gilak juga yang punya ide. Untung udah siap sedia bahan nulis ficletnya, jadi ngga sampe riset mendalam ke kehidupan sosial-budaya-politik masyarakat Cina pra-Black Death, alhamdulillah.

Seperti biasa, jangan lupa tekan tombol bintang di bawah dan kasih tau aku gimana pendapat kalian. Support dari kalian bener-bener berarti banget bagiku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top