Orang Asing
Apakah takdir bisa diubah?
Lintang Punarbawa masih terngiang-ngiang dengan pertanyaan tersebut.
Semalam, saat tertidur pulas di pinggir jembatan, laki-laki itu bermimpi memeluk rembulan erat-erat. Rembulan, sebiru safir dan secemerlang intan, lingsir dari dirgantara dan jatuh ke pangkuannya bagai bintang jatuh. Dingin meliputi kedua telapak tangannya begitu ia mengusap permukaan bulan yang berlubang. Terdengar alunan nada sayup-sayup dari rembulan, perlahan menyusup dan mendamaikan kalbunya.
Walau rasian itu hanya berlangsung sejenak, Lintang tak bisa menghapus kegelisahannya. Apakah mungkin jika rembulan jatuh di pangkuannya, ia bakal mendapat keberuntungan, kekayaan, atau kesejahteraan? Ah, andai saja itu benar adanya, mungkin kini ia tak akan hidup seperti ini. Namun lelaki itu cepat-cepat menggelengkan kepalanya, mengusir hantu-hantu dalam bayangan.
Ia lebih tahu apa yang harus dilakukan daripada menghabiskan waktu melukis di atas air.
Seperti hari-hari sebelumnya, Lintang Punarbawa membuka fajarnya dengan berdiri di ujung Jalan Tiga Berlian. Di bawah jembatan yang ia pijak, terdengar jelas suara air memercik dan menderu-menderu. Tangan kanannya menyambar sebuah mangkuk plastik berisi beberapa keping logam yang sempat ia gunakan untuk makan tadi malam. Ditaruhnya mangkuk itu di depan kaki, sementara tangan yang lain menggenggam leher sebuah gitar akustik. Mulailah ia memetik senarnya satu per satu, bibir keringnya menggumamkan serangkaian nada yang semalam datang mengetuk pintu mimpinya.
Lamunan pemuda berpakaian lusuh nan kumal itu pecah ketika ekor matanya menangkap sesosok pria tua yang datang dari kejauhan. Imam Danyal memang tak pernah alpa untuk memberi kultum subuh di surau dekat dermaga. Seringkali ia berangkat sekitar jam dua pagi dan baru turun dari surau saat semua jemaahnya telah pulang, berjalan kaki menyusuri tepian sungai yang bermuara di Laut Jawa—tempat puluhan kapal slerek berwarna-warni tengah merebahkan diri menunggu para nahkoda dan awak kapal.
Berpakaian gamis putih selembut sutra, pagi ini ia menaruh dua lembar uang berwarna kuning keemasan di mangkuk plastik sembari mengucapkan salam pada Lintang. Segera dijawabnya salam itu dengan senyum penuh suam. Pemuda itu masih ingat bagaimana beberapa hari lalu sang imam mengajaknya datang ke surau untuk mencicipi takjil gratis. Tentu, ia tak mampu menolak tawarannya. Kini, dia menganggukkan kepalanya pada Lintang dan berlalu—seakan-akan itu adalah kali pertama ia bertemu dengannya.
Berikutnya melintaslah Mbok Nini dengan memikul bakul penuh botol-botol berisi cairan temulawak, sinom, beras kencur, kunyit asam, pace, kunci suruh, dan daun kelor. Wajah keriput itu terlihat lebih berseri dari beberapa hari sebelumnya. Refleks, ia memanggil Mbok Nini dan membeli segelas temulawak. Dengan agak terburu-buru, Simbok melepas selendangnya dan menuangkan minuman dari botol ke bungkus plastik.
Begitu memberikan uang kembalian, Mbok Nini segera pamit melanjutkan perjalanan ke arah barat seraya meneriakkan semboyannya dengan lantang. Cukup lama Lintang memandang Simbok, pikirannya masih mengikuti tiap langkah yang diambil wanita paruh baya itu. Pernah suatu kali beliau berkisah perihal suaminya yang sudah tujuh tahun menjadi kuli di Tanah Singa dan belum juga berkirim kabar selama sebulan terakhir. Anak pertamanya baru saja duduk di bangku sekolah menengah pertama, sementara anak keduanya belum sempat merasakan suamnya bangku sekolah dasar. Lintang menghela napas dan menghembuskannya perlahan sembari memetik senar-senar gitarnya kembali.
Seiring naiknya baskara ke cakrawala, semakin banyak sepeda motor dan mobil berlalu-lalang. Tangan-tangan familier melemparkan beraneka warna lembar dan kepingan uang dalam mangkuk plastik, dipayungi bayang-bayang sebatang pohon ki hujan bercabang tiga. Pohon itu bersandar pada pagar pembatas yang berhiaskan kucai mini dalam pot-pot kecil.
Lintang kembali menggubah alunan nada dari kedalaman mindanya menjelma satu lagu utuh dengan khidmat. Tak ada orang yang mengeluh mendengarnya, meski tak terhitung sudah berapa kali nada-nada itu ia ulang. Tak ada orang yang peduli juga.
Sebab, siapa juga sih, yang sudi mengingat orang asing?
-----
Yup, ini bisa dibilang prekuel dari cerita sebelumnya, Tulah. Aku pengen melukis sebuah gambaran: gimana sih cara kaum marjinal melihat, menanggung, dan menerima takdir sebagai bagian dari hidup? Apakah takdir benar-benar mutlak, ataukah masih bisa diubah dengan perubahan sekecil mungkin--seperti riak di kolam gegara kejatuhan kerikil kecil? Bagaimana takdir satu individu terikat dengan individu yang lain?
Kebetulan, tema hari ini tuh membuat cerita dengan kalimat pembuka, "Apakah takdir bisa diubah?"
Yaa, jadi sekian buat hari ini. Ada pendapat gais? Aku welcome banget kalo ada yang mau diskusi di kolom komentar. Jangan lupa tekan tombol bintang yaaa!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top