Monster
Monster. Itu yang meletup-letup di pikiran Asiah sekarang. Dia bisa saja menutup telinga, pintu kamar, dan kacamata augmented reality-nya jika dia mau, tetapi tetap saja kejadian ini akan terus menghantuinya. Amygdalanya memberontak hebat, dua bendungan dalam matanya hancur mumur mengingat hidupnya seminggu sebelum kejadian aneh ini.
"Sialan, sialan!" umpat Asiah sembari membanting gelas plastik yang ada di hadapannya.
Napasnya terus terpacu, bersama langkah kedua kakinya yang terus menjauhi sekat kaca jendela. Ia tidak berani menatap keluar sejak semenit berlalu. Orang-orang di luar saling mengumpat, berteriak, mengobarkan pecut api dari lidah mereka. Asiah mengeraskan volume layar hologramnya, tak berani mendengar sedikit pun yang mereka lontarkan.
" ... kerusakan yang terjadi di wilayah tersebut diprediksi merupakan bencana terbesar sejak terjadinya badai debu beberapa hari lalu ..."
Andaikata Asiah mati terserang overdosis vodka setan minggu lalu, puluhan, ratusan, bahkan ribuan manusia di Prefektur Balumbunan pasti tidak akan mati sekarang. Kini kubah prefektur telah runtuh, dan gumpalan karbon dioksida mencekik seluruh penduduk yang tak sempat mengambil masker oksigen atau berlindung di ruang bawah tanah. Manusia-manusia malang.
Tidak, semestinya ialah yang lebih malang. Ia berpikir, dengan menunjukkan kemampuan anehnya di hadapan salah satu orang yang paling ia percaya, Asiah akan mendapat jawaban dan konsolasi yang ia perlukan. Pria berengsek itu—rasanya Asiah ingin mengukirkan Dekalog pada wajah pria itu dengan sepuluh kukunya jika masih sempat bertemu. Kini, berkat mulut jahanamnya, ia harus berakhir menjadi buronan pemerintah koloni dari satu kubah ke kubah lain.
"... telah diketahui alasan mengapa monster raksasa ini tidak pernah mengarahkan bagian kepalanya ke bawah ...."
Asiah mematikan siaran langsung dari wilayah prefektur yang ditontonnya lewat layar hologram. Otaknya langsung dibanjiri oleh stimulan, mengingat beberapa menit yang lalu, kompleks apartemennya mulai disatroni oleh massa yang mengamuk. Kebanyakan dari mereka, bisa ditebak—perwakilan dari beberapa pemilik lahan dan perusahaan air minum yang sudah berinvestasi sejak lama di Planet Merah.
"Asiah! Buka pintunya, sekarang!"
Gadis berambut panjang itu seketika terperanjat dan bangkit dari kursi ruang tengah. Diusapnya lagi bekas air mata yang mengalir di wajah. Tangannya bergetar hebat ketika memegang tongkat bisbol--yang ia jadikan sebagai pelindung--mewanti-wanti jika ada bom kerosin yang menyambar ruangan.
Pintu utama dihantam. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Hingga bunyi retak berkumandang, yang ada di pikiran Asiah hanya berlari, kencang sekali, ke kamar di lantai dua. Nahas, otot kakinya melawan perintah otaknya. Alih-alih melontarkan bom kerosin, massa menembakkan desingan suara ke gendang telinganya.
Seperti semut, orang-orang berhamburan mengepungnya dari pintu utama, terus mendekatinya, sementara Asiah makin terpojok ke arah tangga. Dari puluhan orang bersenjata senapan plasma yang memasang muka garang, Asiah menembakkan pandangan tajamnya ke arah seorang pria di depan kerumunan seraya menghardik, "Pengkhianat macam apa kamu?"
Pria yang ditatap hanya tersenyum sinis dan menyahut, "Apapun yang bisa menghasilkan kepuasan akan kugadaikan. Termasuk informasi pribadi."
"Sialan kamu, Ozi!" umpat Asiah.
"Psikokinesismu membunuh ratusan orang di Balumbunan! Apa engkau masih menolak untuk mengakui genosida ini?" balas Ozimandias secara tegas, diiringi dengan riuh massa yang memberontak. Sorot mata pria berpakaian denim itu tajam dan beringas, senyumnya simpulnya seakan menantang Asiah untuk mencoba menghantamnya dengan perabotan apartemen.
Mata dan muka Asiah semakin memerah, tangannya memegang erat pemukul bisbol. Ia murka, "Aku tidak punya psikokinesis sejak lahir, bodoh! Baru seminggu, baru seminggu aku kembali kemari, dan baru seminggu aku baru menyadari koneksi monster itu denganku! Dan sekarang kau meminta pertanggungjawabanku?"
Tentu saja ia berhak marah. Asiah sendiri tak tahu-menahu mengapa sebuah monster yang berjarak puluhan ribu kilometer dari dirinya bisa
"Tidak ada yang memiliki kendali monster raksasa itu kecuali dirimu. Jadi, menyerahlah," jawab Ozimandias.
Asiah menggertakkan gigi-giginya.
"Tidak."
"Maka kau tidak memberikan kami pilihan lain," kata Ozi sambil mengambil ancang-ancang.
Asiah berlari sekencang-kencangnya, nyaris tersandung anak tangga, tetapi terus melaju menuju kamar. Dibanting dan dikuncinya pintu kamar dari dalam, membendung massa yang beringas. Ia paham, pintu ini tidak akan bertahan lama. Beralihlah ia menuju jendela kamar, membuka sekatnya dengan tergesa-gesa, dan menjulurkan kepalanya ke luar.
Puluhan moncong senapan dari petugas keamanan dan senjata tajam dari para perusuh berjajar rapi, siap mengecup seluruh bagian tubuhnya dengan ciuman Mair.
"Masa bodoh dengan mereka. Lagipula, hidupku sudah tamat. Aku terjun, monster itu ikut terjun juga, dan tidak akan ada yang protes lagi," sergahnya menelan tangis.
Sebelum ia sempat melepaskan cengkeraman tangannya pada kisi-kisi jendela, ekor mata Asiah menyaksikan sesuatu yang bercahaya ujung cakrawala. Semula, ia pikir itu hanya bintang belaka dan kepanikannya telah membuatnya berhalusinasi. Makin lama, makin dekat, makin tampak seperti proyektil yang melesat dengan kecepatan tinggi menuju arah jendelanya.
Ada sesuatu yang meliuk-liuk di sana.
-----
Tema kali ini adalah cerita dengan latar waktu tahun 2301, dan aku mikir, hmmm kalo soal pasca kolonisasi Mars, sepertinya cocok deh. Jadilah kugabungin sci-fi, thriller, sama sedikit fantasi di dalamnya. Hope you guys like it! Jangan lupa kasih tau aku gimana pendapat kalian ya gaiss, thank you!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top