Mesatya
Transkripsi Rekaman 007
Jenis: Rekaman Wawancara
Waktu: Oktober 2009
Lokasi: Pelecutan, Banyuwangi
Keterangan: Ditemukan terkubur di dalam tumpukan bata merah, awal April 2019.
Catatan: Transkripsi ini disebarluaskan ke publik oleh akun anonim beberapa hari setelah akun orang yang pertama kali mempublikasikan rekamannya di facebook menghilang tanpa jejak.
===
[Terdengar suara ceklikan saat rekaman dimainkan, diikuti dengan glitch beberapa detik yang berakhir usai posisi kamera dibenarkan di atas meja. Di layar rekaman sebelah kiri muncul wanita berkacamata, mengenakan kerudung merah mencolok yang melilit lehernya dan baju biru tua. Di depannya ada seorang pria berambut gimbal, berkumis tipis, dan mengenakan baju hitam dengan celana jeans yang bolong di sisi kanan pahanya. Mereka berada di dalam tenda biru yang diterangi lampu petromak di tengah-tengahnya. Di sebelah pojok kanan bawah tertulis: Selasa, 16.29.00.41]
Wanita: Sudah?
[Si wanita menatap ke belakang kamera, beberapa detik kemudian menggangguk dan kembali menatap narasumber.]
Wanita: Oke ... jadi, begini Mas Joko ...
Joko: Mbak Ika ndak usah terlalu tegang gitu dong. Santai aja.
[Wanita yang disebut tersipu malu, sementara di belakang kamera terdengar bunyi tawa yang ditahan.]
Ika: Eh, iya, maaf. Jadi kami dari tim jurnalis untuk Majalah ...
[Suara disensor.]
Ika: ... mau mewawancarai Mas Joko soal proyek eskavasi ini.
Joko: Silakan.
[Narasumber membenahi posisi duduknya.]
Ika: Kenapa harus Plecutan? Maksud saya, masih banyak, kan, situs-situs arkeologi lain di Jawa Timur.
Joko: Kenapa? Banyak alasan sebenarnya kenapa kami datang jauh-jauh dari ...
[Suara disensor.]
Joko: ... hanya untuk terjun ke hutan belantara ini. Panjang ceritanya.
[Joko menggaruk-garuk kepalanya.]
Ika: Coba ceritakan dari awal.
Joko: Begini. Mbak pernah dengar soal pati obong?
[Ika menggelengkan kepala.]
Joko: Mesatya? Sati?
Ika: Belum pernah. Apa itu?
Joko: Gampangnya ... bunuh diri dengan sukarela.
Ika: Maaf, sebelumnya ... mana ada bunuh diri dengan sukarela? Kalau mengorbankan diri, baru.
Joko: Bisa diartikan begitu juga. Zaman dulu, sebelum Islam menjamah Jawa Timur dan Bali, ada satu ritual khusus ketika seorang raja hindu meninggal dunia.
Ika: Kremasi, maksudnya?
Joko: Tepat. Hanya saja, istri dan gundiknya, atau bahkan pelayannya akan ikut berbaring di sampingnya, untuk dibakar bersama-sama.
[Ika terlihat mengernyitkan dahinya, keheranan.]
Ika: Apa motifnya?
Joko: Kesetiaan. Untuk menunjukan betapa setianya mereka pada sang raja. Kadang untuk melindungi harga diri juga. Dalam perang, misalnya. Tentu mereka ndak mau kalau jadi tawanan atau selir. Apalagi rajanya sudah mati di tangan musuh. Sekarang tradisi semacam itu sudah tidak ada lagi.
Ika: Lalu apa hubungannya dengan tempat ini?
Joko: Susuhunan Prabu Tawang Alun, penguasa Kerajaan Blambangan, dulu pernah melakukan ritual itu di sini.
Ika: Memang, apa bedanya sati dengan yang lain?
Joko: Ada dua ratus tujuh puluh dari empat ratus istrinya yang ikut terjun ke dalam api.
[Ika terperanjat sambil bergidik ngeri.]
Ika: Dua ratus tujuh puluh dari ... empat ratus? Kok bisa sebanyak itu?
Joko: Nah, itulah spesialnya sang Prabu. Sangat dicintai pengikutnya, bukan saja di dunia, tetapi sampai ke liang lahat.
[Ika memajukan posisi duduknya.]
Ika: Tapi, Mas, kalaupun itu benar terjadi, kenapa kejadian ini tidak pernah tertulis di buku sejarah?
Joko: Karena sampai saat ini belum ada orang Indonesia yang menulis tentang topik ini. Adanya disampaikan secara lisan dan turun-temurun.
[Ika mengangkat telunjuknya.]
Ika: Berarti ... kalau orang Indonesia sendiri tidak tahu, apakah orang luar negeri ...
Joko: Namanya Francois Valentjin, pegawai VOC, penulis delapan volume buku yang mengisahkan kondisi Indonesia saat itu. Ya, meski karyanya dituduh hasil plagiat dari pegawai-pegawai VOC lainnya, setidaknya ini salah satu sumber terawal yang kami dapat.
Ika: Tapi apa yang membuat Mas yakin kalau yang dikatakan di buku itu benar? Bisa saja sejarah ditulis ulang oleh pemenang, bukan?
Joko: Begini, saat kita melakukan komparasi dengan sumber-sumber lokal--atau sumber sekundernya--semua mengatakan hal yang sama. Babad Tawangalun--yang ditulis tahun 1800-an--menjelaskan kalau beliau dikubur di sini, Plecutan. Walau ada juga yang bilang kalau beliau moksa di Rowo Bayu. Atau bahkan dimakamkan di Cluring.
Joko: Tapi bukan berarti kita tidak punya bukti konkret. Minggu lalu, kami menemukan puluhan bata merah yang ukurannya lebih besar dari bata normal. Bahkan baru-baru ini ada pecahan bata putih yang kita temukan di dekat sungai.
Ika: Dan batu bata itu membuktikan kalau ... apa?
Joko: Kalau tempat dan peristiwa yang ditulis itu memang pernah terjadi. Sebentar.
[Joko beranjak dari tempat duduknya lalu mengambil sesuatu di belakangnya. Ia kelihatan sedang memilah-milah beberapa berkas yang ditumpuk. Ika tampak menjulurkan kepalanya untuk melihat benda yang diambil.]
Joko: Ini.
[Joko kembali duduk dan menyerahkan sebuah kertas yang diserahkan pada Ika. Kamera memperbesar sudut pandangnya pada kertas yang berisi sebuah gambar berwarna itu. Terlihat lukisan rerentuhan sebuah konstruksi yang dikelilingi pohon-pohon besar dan rerumputan liar. Sebuah reruntuhan bangunan di tengah-tengah dibangun di lokasi yang agak tinggi, menggunakan bata berwarna putih, sedangkan di sekelilingnya ada tembok yang tersusun dari bata merah. Di belakangnya tumbuh subur pepohonan asri yang menjulang tinggi. Termaktub di bawahnya, "De Tempel van Matjanpoeti" beserta keterangan lainnya.]
Joko: Ini litograf atau lukisan tahun 1802, karya Nicholaus Engelhard. Penemu Candi Singosari yang sempat cekcok dengan Raffles karena dia memindahkan patung-patung yang ada di sana.
[Ika menganggukkan kepalanya perlahan, matanya menyusuri detail litograf tersebut.]
Joko: Dan itu cuma satu di antara lima litograf yang kami temukan setelah riset berbulan-bulan bersama koresponden kami di Universitas Leiden.
Ika: Wow.
[Ika meraba dan menyisir kumpulan litograf itu dengan saksama. Sepertinya di sebelah kiri reruntuhan candi putih tersebut terdapat sebuah dinding dengan relief atau pahatan wajah bertaring yang menyeramkan beserta motif floral di sekitarnya]
Joko: Kami menduga, pahatan wajah ini adalah simbol untuk membendung roh-roh
jahat seperti banaspati. Yang berarti, ada beberapa motif lain kenapa dilakukan upacara mesatya di tengah hutan seperti ini—selain pengorbanan pengikut yang sudah saya sebut tadi.
[Joko berhenti sejenak dan menghela napasnya, sembari menatap Ika dalam-dalam.]
Joko: Ketika seorang wanita melakukan mesatya, mereka sepenuhnya terbersihkan dari dosa-dosa dan menjadi penjelmaan spiritual bagi kebajikan itu sendiri. Mereka yang sudah dikatakan suci ini ... seperti pelindung atau lebih tepatnya, perisai bagi orang-orang di sekitarnya.
[Kamera memperkecil sudut pandangnya hingga Joko dan Ika ada dalam frame. Ika terlihat mengernyitkan dahi.]
Ika: Jadi, apakah yang Mas maksud ... dua hal ini—simbol dan mesatya—saling berhubungan satu sama lain?
[Tampak dalam rekaman Joko terlihat mereguk ludahnya selembut mungkin. Joko lantas menganggukkan kepala. Setelahnya, Ika terlihat mencondongkan posturnya ke depan.]
Ika: Aku ... aku tidak begitu paham.
Joko: Analoginya begini. Ketika, katakanlah, Gunung Merapi di Sleman meletus, kita tidak mungkin menyumbat aliran laharnya, atau menghentikan awan panasnya dengan cara apapun. Yang bisa kita lakukan hanya mengevakuasi warganya. Padahal kita ini sudah ada di abad ke-21, teknologi semakin canggih, dan lain-lain.
[Joko mengilustrasikan peristiwa gunung meletus itu dengan gesturnya.]
Joko: Bayangkan ada sekelompok orang yang tahu gunung itu akan meletus. Tapi, orang-orang ini tahu bagaimana cara menyumbat laharnya dari atas ke bawah. Mereka punya alatnya, dan paham cara mengoperasikannya.
Ika: Hmm, kedengarannya seperti fiksi ilmiah, Mas.
[Seakan tidak menghiraukan Ika, Joko melanjutkan pemaparannya.]
Joko: Sayangnya, lambat laun jumlah mereka semakin lama semakin sedikit, sampai akhirnya keturunan mereka habis. Tidak ada lagi yang punya ilmu menyumbat atau menyegel gunung. Itulah analoginya.
Ika: Jadi, "gunung" yang Mas maksud itu ada di sini?
[Ika menangkat kedua tangannya dan membentuk gestur tanda kutip.]
Joko: Ya. Apa Mbak Ika paham apa yang saya maksud? Kalau Mbak Ika paham soal banaspati, Mbak pasti paham jika ada alasan mengapa kami, tim ekskavasi bersama masyarakat setempat, punya satu aturan tidak tertulis di area penggalian.
Ika: Apa itu?
Joko: Tidak memakai alas kaki. Itulah kenapa kalian, dan awak media yang lain selalu dipantau oleh tim begitu mampir ke tempat penggalian. Ada perimeter tertentu yang tidak boleh dilanggar.
[Mata Ika membelalak sedikit, kemudian menoleh ke belakang kamera, pada juru kamera. Mereka saling bertatapan dalam sunyi, lalu Ika menoleh kembali ke Joko.]
Ika: Um, memangnya, ada ... efek samping, ya?
[Joko terkekeh-kekeh melihat Ika yang berubah ekspresinya. Ika tampak semakin khawatir dan bertukar pandangan dengan orang di balik kamera.]
Joko: Ya, tentu, ada. Tapi sejauh ini belum ada orang yang berani macam-macam.
[Tawa Joko perlahan mereda begitu melihat ekspresi pucat Ika. Air mukanya berubah menjadi serius.]
Joko: Tunggu. Kalian baru pertama kali ini mendengar soal aturan ini?
[Ika menganggukkan kepala ragu-ragu. Joko tampak terdiam, bibirnya sedikit bergetar.]
Joko: Juru kunci tidak memberi tahu kalian saat mengambil rekaman di sana?
Ika: Beliau ... tidak bilang apa-apa soal alas kaki. Kami berasumsi bahwa itu normal-normal saja.
[Napas Joko mulai menderu, wajahnya nyaris pucat pasi. Ia bergumam di bawah napasnya.]
Joko: Celaka, celaka. Kita harus segera keluar dari sini.
[Joko beranjak dari tempat duduknya dan segera mengemasi barang-barang yang ada. Sementara itu, Ika tampak kebingungan.]
Ika: Lho, lho, kenapa mas?
[Ika tampak ragu-ragu untuk beranjak dari tempat duduknya.]
Joko: Nanti bakal kujelasin. Sekarang kita—
[Dari kejauhan, suara teriakan dan lolongan seseorang mengangkasa. Joko dan Ika sama-sama memalingkan kepala ke arah barat dari tenda mereka, tempat suara tersebut terdengar.]
[Rekaman berakhir.]
----------
Hari ke-27, sehari sebelum hari terakhir, temanya ngegacha lagi lewat generatormix.com, dapet deh found footage. Sekali lagi, aku mau berterima kasih untuk kalian semua yang sudah mendukung cerita ini lewat vote dan komentar, bener-bener kuapresiasi. Nggak disangka sebentar lagi event ini sudah selesai. See you for the closing, dear friend!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top