Meraba Rindu
Lintang Punarbawa tak lain adalah orang asing yang menggelandang tanpa rumah dan tanpa seorang pun yang mampu mengingat dirinya.
Tiap hari ia duduk di bawah ki hujan yang dulu ditanam pemerintah kota, memainkan gitar usangnya dan berharap ada seorang dermawan baik hati yang bersedia memberikan sumbangan padanya. Sebenarnya, beberapa hari lalu, ia sempat tergoda untuk mencuri dari toko kelontong di dekat rumah Aura Sultana. Rencananya, lelaki itu bakal mengantongi satu potong roti di kantung jaketnya. Ia tinggal memilih dari dua pilihan alur cerita. Ia bisa lari secepat-cepatnya dan menghindar dari murka warga. Atau, ia bisa memilih tertangkap dan dipenjara. Akhir ceritanya tetap sama: orang-orang akan lupa siapa Lintang Punarbawa.
Namun, setiap kali ia mendekati rak makanan di toko sebelah utara, kata-kata ibunya kembali terngiang-ngiang, menggedor pintu nuraninya.
Ya Tuhan, sudah lama ia tak melihat ibu dan adik perempuannya.
Padahal, ia tinggal berdiri, berjalan ke utara sedikit, menyeberangi perempatan sebelum gerbang pantai, terus ke utara sambil menyusuri deretan kapal slerek, pasar ikan, warung makan, dan berhenti di semenanjung kecil tempat menyaksikan arunika. Hanya memakan waktu kurang dari sepuluh menit jika ia melangkahkan kakinya, dan kurang dari lima menit jika memakai mobilnya. Akan tetapi, sebagaimana yang diketahui kawanan orang terbuang di dunia, tidak ada kata mudah dalam penyelesaian perkara.
Mata laki-laki berambut hitam itu mengikuti kepak burung perkutut yang terbang lepas dari atas pohon menuju ketinggian mega-mega. Ia teringat ketika kutukan yang ditimpakan atasnya baru mencapai hari kedua. Betapa paniknya dirinya, sehingga mencoba mengemudikan mobil menyusuri pesisir pantai utara. Pasalnya, semua orang di tanah perantauannya tiba-tiba tak ingat siapa dirinya. Seakan-akan namanya telah musnah disapu ombak sangkala.
Nyaris saja ia menyerempet anak-anak yang baru saja pulang dari pengajian di surau kampung jika bukan karena rasa dingin yang tiba-tiba menusuk selaput kulitnya. Hawa dingin tersebut datang seperti lompatan listrik dari satu perantara ke lain perantara, menjelma putaran belati yang menyayat-nyayat sekujur tubuhnya. Semakin jauh ke arah utara, semakin menggigil raganya.
Akhirnya, ia mesti berputar balik menahan sedu sedan yang menggelora, tak kuasa membendung dingin yang menjalar ke jari-jemarinya.
Sampai saat ini, ia selalu terbayang-bayang, kapan kutukan ini akan sirna?
Ia ingin cepat kembali ke rumah kecil di sebelah utara.
----
Yooo, hari ini kita diminta menulis lanjutan cerita dari tema hari ke-12. Minimal 250 kata di mana akhir setiap kalimatnya harus berima sama (di sini kita pake huruf a). Ajaibnya, cerita hari ke-9, ke-12, dan hari ini juga sama, aku bersyukur banget.
Jadi, apa pendapat kalian setelah tiga kali bertemu tokoh yang sama? Jangan lupa tekan tombol bintangnya, satu vote begitu berarti buatku, udah macem kena sambaran dopamin hehehe.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top