Layangan Putus

Tasin memulai malam pertama ramadannya dengan menceburkan diri di pesisir dermaga.

Laut bergejolak rendah, arusnya menyapu bebatuan yang masih kokoh berdiri di antara karak karang dan sampah-sampah plastik pancawarna. Nyala lampu mercusuar mini di kejauhan berkedip-kedip setiap tiga detik, memantulkan cahaya kehijauan yang menerpa perahu-perahu panjang di tepi dermaga. Dengan lampu senter terbebat di ubun-ubunnya dan kantung penuh bunga yang ia ikatkan pada leher, ia berharap bisa mengisi jaring-jaringnya dengan beberapa ikan besar sebelum pulang ke rumah tengah malam nanti. Anak semata wayangnya pasti sedang menanti seraya memeluk sepucuk layangan kesayangannya, tak mau ia tinggal terlalu lama di sana.

Pandangan Tasin teralihkan menuju rangkaian lentera berapi yang bersemayam dalam rumah-rumah makan di penghujung jalan, terpisahkan dinding pembatas dari beton. Sesekali ada sebuah kereta bercahaya yang mondar-mandir mengantar anak-anak kecil keliling pesisir di. Wajah mereka begitu sumringah seakan sedang melakukan perjalanan keliling dunia dalam semalam.

Tasin menengadahkan kepalanya ke atas begitu angin berembus sepoi-sepoi. Mega-mega pecah dan saling menjauh satu sama lain dari mahkota dirgantara; puluhan boneka yang melayang tengah menunjukkan moncongnya lagi. Tidak, bukan boneka.

Puluhan layang-layang sedang membanjiri langit, jauh mengangkasa di bawah mega-mega dan di atas tiang-tiang listrik.

Ia baru ingat bahwa biasanya, ketika bulan ramadan tiba, festival layang-layang akan dimulai di seluruh penjuru desa. Banyak anak kampung yang berlomba untuk merakit layang-layang terbaik di hadapan juri, terkadang tak sedikit pula anak kecil yang saling sikut-sikutan demi memburu layangan putus--dari rumah ke rumah, sungai ke sungai, kemudian ke dermaga. Nyaris tiap ramadan, marbot dan pengurus masjid setempat disibukkan oleh tingkah laku mereka. Bukan hanya karena petasan yang mereka sulut waktu tarawih, tetapi juga masalah permintaan nisan dan lahan kubur.

Pria paruh baya itu menghela napas dalam-dalam. Mungkin itulah makna dari festival kali ini. Merayakan kepergian jiwa-jiwa murni nan polos ke angkasa dengan tawa dan asa, alih-alih meratapinya dengan tangis dan ketegangan. Jika saja ia lebih cepat pulang ke rumah waktu itu, mungkin nama anaknya tidak akan disebut oleh marbot masjid. Terkadang, sesekali, ia berharap salah satu layangan itu adalah senyum anaknya yang sudah terbang bersama puluhan anak lainnya.

Tasin mulai merogoh kantung hitam di lehernya dan dengan perlahan, mulai menabur kembang kantil di dekat dermaga.

-------

/iris bawang hehehe

Jadi buat tema hari ini, kita diminta untuk mengambil sebuah buku, buka halaman 41, dan mengetikkan kata pertama yang ada di halaman tersebut di pencarian gambar via google.

Kebetulan aku punya novelnya Irving Kachmar.

Ngakak juga ketika tau gambar yang kudapet ternyata jauh dari ekspektasi.

Agak aneh, tapi hey, menurut kalian gimana guys?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top