Fratrisida

Tanin mereguk ludah seraya menelanjangi aula majelis jin yang megah di hadapannya. Pintu utamanya tak dikunci. Ia hendak masuk ke dalam, tetapi ia juga tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa ia tak takut sama sekali ketika berhadapan dengan mereka. Jantungnya berdegup kencang, bulir-bulir keringat mulai mengikis pelipisnya. Ia hanya ingin bertemu saudaranya, Korin.

Lelaki dengan tanduk melingkar di kepalanya tersebut berjalan maju-mundur, ke samping kanan dan kiri, sesekali mengepakkan secara halus sayap lembutnya. Ia telah meninggalkan kawanannya jauh di belakang, dan kini tak ada pilihan lain. Sekarang atau tidak sama sekali, itulah pilihannya.

Sambil menghela napas, ia membuka perlahan kenop pintu aula, dan menyapukan pandangannya ke depan. Lantai obsidian-kelabu sepanjang mata memandang menyambutnya ria, memanggilnya untuk melangkah lebih dalam. Begitu Tanin menginjakkan langkah pertama, kepalanya menengadah dan menyaksikan cahaya datang dari langit-langit yang dicat segelap arang. Di samping kanan dan kirinya, tidak ada siapa-siapa.

Tanin berhenti sejenak dan mengernyitkan alisnya.

Tunggu sebentar. Ia melangkah jauh lebih dalam, menoleh ke samping kanan, dan menemukan fakta bahwa jantungnya hampir saja keluar dari dadanya.

Para jin—dengan wujud kobaran api tak berasap—kembali berlalu lalang di luar aula. Satu-satunya hal yang memisahkan pandangan mereka dan Tanin hanyalah kaca jendela yang tak tembus pandang dari sisi luar. Tanin membungkukkan badannya karena malu dan tidak ingin terlihat oleh mereka. Terlebih lagi, perutnya mual membayangkan harus bertaut pandang dengan Korin.

Lelaki bermata toska itu menundukkan badannya sembari berjalan, pandangannya enggan untuk menyambar aula bagian ujung. Telinganya menangkap dialog antar jin yang mungkin baru saja memungkasi rapat besar mereka—atau semacam itu. Sesekali ia berhasil mencuri pandang pada sesosok jin di kejauhan yang tengah mengobrol bersama sahabat-sahabatnya.

"... oh, tunggu sebentar, sepertinya aku kedatangan tamu."

Tanin mereguk ludahnya sekali lagi, nyaris tak berkutik selagi langkah cakar Korin semakin lantang terdengar. Pikirannya melesat dari satu detik ke detik lain dengan cepat, mencari tempat aman untuk berlindung. Di satu sisi, ia ingin memastikan bahwa Korin benar-benar baik saja, dan di sisi lain, ia tak kuasa melayangkan pandang pada makhluk yang telah membuatnya berada di ujung kematian.

Tidak, belum waktunya. Korin yang ia temui saat ini bukanlah makhluk yang ada di mimpi buruknya.

"Tanin?"

Ya Tuhan, suara pria di depannya ini ternyata masih sama seperti dulu—seperti rintik hujan tengah malam di akhir musim panas. Begitu sejuk, tenang, dan melegakan. Berbeda dengan Korin lain yang suaranya bagai gabungan antara percikan api, gesekan logam, dan sambaran petir. Tanin nyaris lupa bahwa ia dan Korin terlahir dari rahim yang sama, di samudra jiwa yang sama.

"... Tanin? Kau bertingkah seakan-akan belum pernah melihat kakakmu sebelumnya. Katakanlah, ada apa?"

Perkataannya tidak salah. Mimpi hanya butuh waktu sejam untuk menggelar tapestri kehidupan seseorang dari awal, pertengahan, dan akhir. Ia masih mengingat ceceran darah dan laungan parau sejelas suara kakaknya sekarang. Setidaknya, bagian-bagian yang telah diturunkan oleh Dia pada mindanya.

"Tanin! Kau tidak apa-apa?" tanya kakaknya kembali, kali ini suaranya sedikit lebih keras dan mengandung kekhawatiran.

Lelaki bertanduk putih gading tersebut tersentak dari buaian lamunannya, tak sadar dua sungai sedang mengalir deras di dua sisi wajahnya. Jari-jari dan bibirnya gemetar, ritme napasnya mulai berubah drastis. Ia berusaha keras untuk membuka mulut, tetapi yang keluar hanya rintihan yang samar selama beberapa detik. Lalu, sesuatu yang tak ia pikirkan terjadi.

Sebuah tangan melingkar di lehernya, merangkul kedua sayapnya yang menguncup, dan menggenggam tangan kanannya dengan jari-jari sehangat sinar arunika dan sesejuk cahaya rembulan. Ia bahkan tak sempat merespon dengan cepat begitu Korin menuntunnya keluar dari aula perlahan. Lelaki yang semula tegar itu kini mulai tersengguk-sengguk dalam tangisnya.

Dengan hati-hati, Korin menghampiri sebuah bangku kayu di luar aula dan mendudukkan adiknya. Dia biarkan udara segar dari taman surgawi merasuki tenggorokannya, menanti kata-kata keluar dari lidah laki-laki hibrida itu. Omong-omong soal taman, sepertinya sudah agak lama sejak dia dan Tanin berhenti sejenak dari tugas abadi mereka dan menikmati pemandangan alam.

"Kak, masih ingatkah engkau tentang kisah Habil dan Qabil?"

Kini giliran Korin yang terheran-heran. Dia mengernyitkan kedua alisnya, tak mampu menggapai alasan mengapa hal itu yang pertama kali menjadi pertanyaan sang adik begitu bertemu dengannya. "Kenapa kau bertanya soal itu, Tanin?" tanyanya dengan penuh kekhawatiran.

"Apakah kau masih mengingatnya?" desak Tanin sekali lagi, tangannya seperti menggigil.

Korin menganggukkan kepalanya dan menjawab, "Tentu saja aku masih mengingatnya. Ada apa memang dengan dua anak Adam itu?"

Dengan mata kemerahan yang basah karena air mata, Tanin memberanikan diri untuk menatap muka kakaknya. Ia menyaksikan kain putih tanpa jahitan yang melilit tubuh Korin, lalu merangkak naik menuju pembuluh api di lehernya, dan akhirnya, pada janggut dan pupil mata vertikal yang mengobarkan api tanpa kepulan asap. Sama seperti dirinya, Korin juga memiliki tanduk dan sayap, walau jumlahnya lebih banyak daripada dirinya. Percikan api yang sejuk dengan konstan gugur dari tiap-tiap bulu keenam sayapnya.

"Apakah yang diperbuat oleh Qabil benar-benar jahat sehingga ia mesti dikutuk seumur hidupnya? Apa benar hanya dengan satu tindakan, seseorang bisa dilaknat selama-lamanya?"

Waktu seakan berhenti berdetak di antara mereka, hingga Korin memutuskan untuk menutup mulutnya yang setengah menganga. Ia menghela napas sehening mungkin, kemudian berkata pelan, "Tanin ... tentu saja tidak seperti itu keadaannya. Qabil tidak tahu apa yang dia lakukan ketika itu, dia bahkan tidak paham apa itu pembunuhan dan apa konsekuensinya, sampai-sampai Hyang Suksma mesti menurunkan dua burung gagak untuk membantunya. Engkau tahu jika ia menyesal seumur hidupnya."

Mendengar perkataan kakaknya, Tanin kembali angkat bicara di sela-sela tangis sunyinya. "Tapi mengapa Qabil membunuh darah dagingnya sendiri?" Suaranya parau dan dijejali kegelisahan.

Korin mengalihkan pandangannya ke sungai yang mengalir di tengah-tengah taman surgawi. "Mungkin karena kecemburuan. Cemburu karena semestinya ia yang mendapat Iqlima, cemburu karena Hyang Suksma lebih mengakui adiknya daripada dirinya, cemburu yang kemudian berubah menjadi iri, lalu dengki, dan terakhir, bara api kebencian."

Korin melanjutkan, "Dalam pandanganku dia tidak sepenuhnya ... jahat, atau semacamnya. Dia hanya ingin bersinar di hadapan Hyang Suksma seperti adiknya, tetapi dengan cara lain."

Tanin membanting pandangannya ke bawah. "Lantas mengapa Hyang Suksma menciptakannya? Apakah dia hanya berakhir sebagai kambing hitam, sama seperti Azazil?"

"Aku tidak tahu. Aku tidak tahu rencana-Nya," ujar Korin sembari menggelengkan kepalanya, "mungkin Hyang Suksma bermaksud untuk menjadikannya seorang kakak dengan cara lebih dari satu, untuk menjadi suatu contoh agar para penerusnya tidak melampaui batas, sehingga mereka yang lebih tua dan kuat sadar akan kewajiban mereka untuk mengangkat yang muda dan lemah lebih tinggi lagi."

Tanpa Korin sadari, kepala Tanin telah tersandar lembut di pundak bagian kanannya. Air mata adiknya masih mengalir deras walau kedua bibirnya masih tertutup rapat usai mendengar penjelasan Korin, seakan-akan besok adalah hari di mana ia berpisah dari raganya. Dengan ragu-ragu, Korin melingkarkan tangan kanannya untuk memeluk badan lelaki bertanduk dua itu. Jari-jarinya ia naikkan ke atas untuk meraba dan mengusap rambut hitam kecoklatan milik adiknya. Sehalus pasir pesisir, seharum mawar putih.

"Aku bermimpi tadi subuh," kata Tanin memecah keheningan. "Kita berdua berada di dua sisi yang berdua, tenggelam dalam darah masing-masing setelah bertempur sekian lamanya. Salah satu dari kita berteriak, "Milikku. Hyang Suksma lebih mencintaiku." Yang lain akan menjawab, "Tidak, milikku. Akulah yang lebih disayangi oleh-Nya." Kita selalu berebut, saling memendam dendam, dan bersiap menghancurkan satu sama lain dengan cara apapun. Saat kita wafat, dendam itu dilanjutkan oleh penerus dan keturunan kita masing-masing. Dan, mimpi ini bukan yang pertama kalinya."

Tanin membenamkan wajahnya ke dada Korin, suaranya nyaris tenggelam dalam tangis. "Lagi, lagi, dan lagi. Kita terjebak dalam dualitas dan dikotomi. Bahwa jika satu orang berada dalam pelukan cahaya, maka yang lain terjebak dalam jerat kegelapan. Aku merasa mimpi ini begitu panjang dan nyata, lebih nyata dari apapun yang kualami. Seolah-olah aku menghabiskan hidupku dalam dunia itu."

Di sekeliling mereka, burung merpati, tekukur, kutilang, kenari, dan burung-burung lain datang silih berganti, mereguk genangan air di tepi sungai yang bening. Mereka berkicau, bersiul, berkuak, mendekut, dan menyanyikan tembang untuk Hyang Suksma. Namun suara Tanin bertakhta teguh di atas semua suara itu.

"Maafkan aku sudah membebanimu. Aku merasa ini adalah pertanda, dan ... aku tidak siap kehilangan engkau," rintih Tanin sembari mencengkeram erat bahu kakaknya.

Air matanya tak terbendung lagi. Ia tak peduli seberapa banyak jin yang berhenti dan menyaksikannya dalam kondisi lemah seperti ini. Tak pernah sebelumnya ia bersikap terbuka seperti ini—dan mungkin itu juga salah satu dari sekian banyak kesalahannya. Dadanya telah lama mengandung beban yang tak mampu diungkapkan lewat kata-kata, dan sekarang semuanya mengalir deras bersama sedu-sedan dan ratapan.

"Kita tidak akan bernasib sama seperti mereka, jika itu yang engkau khawatirkan," ujar Korin sungguh-sungguh, "apapun yang terjadi, kita tetaplah saudara. Hyang Suksma mencintai kita berdua tanpa pilih kasih. Aku akan memastikannya."

"Bagaimana kau bisa seyakin itu?" sergah Tanin, mengingat terkadang mimpi adalah celah retakan di dinding yang memisahkan antara masa lalu dan masa depan, antara yang sudah dan yang mungkin.

Korin mengecup dahi adiknya dan berkata halus, "Karena bagaimanapun juga, takdir tidak terukir dalam batu. Harga diri, kecemburuan, dan amarah kitalah yang mungkin memulai konflik itu. Maka biarkan cinta dan kasih sayang yang mengakhirinya."

Untuk pertama kali setelah sekian lama, Tanin merasakan kedamaian dalam hatinya.



------

Bawang satu, bawangnya bang monggo dibeli, ehehehe

Buat hari ini, kita disuruh memilih satu karakter dari cerita orang lain yang kita suka (bisa novel baik sudah terbit fisik/digital, bisa film, series, bebas) lalu deskripsikan dia dari sudut pandang karakter kita, jadilah kuambil kisah Habil dan Qabil, dari interpretasi tiga agama samawi sekaligus (Legends of the Jews, Genesis, dan Al-Maidah), . Hmmm lumayan panjang dan menguras emosi juga rupanya. Gimana menurut kalian gengs?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top