Benih

"Salam pada engkau, Ibnu Surushan."

Tayfur baru saja hendak menghantamkan cangkulnya ke tanah ketika seseorang memanggil namanya dari belakang. Punggungnya terasa agak nyeri setelah ia bercocok tanam dari pukul setengah tiga dini hari hingga lewat pukul satu siang, hanya berhenti untuk pergi ke surau ketika muadzin desa mengumandangkan adzan. Sinar matahari memperkilau untaian-untaian rambut putih di kepalanya, sementara keringat turun deras dari pelipisnya bagai sungai di musim penghujan.

Pria uzur itu lalu menghela napas sejenak dan menaruh cangkulnya, lalu berbalik ke belakang.

Seorang pemuda berjubah sutra bersama salah seorang laki-laki lain yang bersenjatakan pedang dua mata tengah menanti tanggapannya. Tayfur tahu siapa pemuda itu. Tanpa basi-basi, pria tua itu berkata, "Salam juga padamu, Ibnu Tahir, anakku. Semoga Hyang Suksma memberkatimu."

Laki-laki yang bersama pemuda itu mengernyitkan dahi, sepertinya ia terheran-heran melihat betapa santainya mereka berdua saling menyapa. Yang tidak dia ketahui, sebenarnya dulu Tayfur mengenal baik ayah dari pemuda itu. Ayahnya adalah seorang penguasa di Tanah Bala Abangan, dan suatu hari anak inilah yang akan menggantikannya.

"Apa yang engkau lakukan, Bapak?" tanya Ibnu Tahir, keheranan menyaksikan Tayfur kembali mencangkul tanah garapannya, seakan-akan tidak ingin diganggu.

Kedua mata Ibnu Tahir menyisir lahan garapan Tayfur secara perlahan selagi menanti jawaban darinya. Dia terperangah melihat hasil cangkokan dan bibit mangga yang tertanam rapi di samping dan belakang rumah Tayfur, beberapa di antara mereka bahkan sudah hampir berbunga.

"Ya, seperti yang engkau tengok, anakku, aku tengah menanam benih mangga," jawabnya jelas.

Kini gantian Ibnu Tahir yang mengernyitkan dahi. "Tapi, Bapak, bukankah pohon mangga perlu bertahun-tahun untuk berbuah? Apakah engkau bakal sampai pada hari di mana engkau bisa memakan buah dari benih-benih ini?"

Tayfur tersenyum dan berujar, "Adalah benar jika kemungkinan besar aku tidak akan hidup menyaksikan hari itu. Tapi, bukankah kita semua memakan apa yang pendahulu kita tanam? Kita menanam dan merawat pohon-pohon ini dengan penuh kasih sayang agar yang lahir setelah kita bisa berteduh dan memakan buahnya."

Pria tua dengan pakaian lusuh itu melanjutkan perkataannya. "Dengan melakukan itu semua, sesungguhnya secara tidak langsung kita telah mencintai siapa-siapa yang berada di bawah naungan kebun mangga ini."

Ibnu Tahir menganggukkan kepalanya, berusaha menyerap dan mencerna apa yang dimaksud oleh sang pria tua. Dia tersenyum, lalu mengeluarkan sebuah kantung kulit berisi beberapa keping emas dari sakunya. Dilemparkannya kantung tersebut di samping Tayfur sebagai tanda bahwa dia benar-benar kagum dengan kebijaksanaannya.

Tayfur memungut kantung itu dan berkata, "Puji Hyang Suksma, benih-benih yang aku tanam ini langsung berbuah!"

Meledaklah tawa Ibnu Tahir. Penjaganya pun juga ikut tersenyum menahan tawa. Lantas sekali lagi Ibnu Tahir melemparkan salah satu kantung yang ia punya di depan Tayfur.

Tayfur mengambil kantung itu juga. "Puji Hyang Suksma! Biasanya mangga hanya sekali berbuah tiap tahun, punyaku sudah berbuah dua kali!"

Ibnu Tahir tak kuasa menahan tawanya sampai-sampai pandangannya terkaburkan oleh air mata. Ia berkata pada penjaganya, "Ayo, cepat pergi dari sini! Sebelum kita berdua jadi pengemis di depan si tua itu!"

----------

Buat hari ini, kita diminta buat masuk ke website perchance.org dan masukin angka 3 dan klik centang unique. Terus, kita diminta ngebuat cerita yang mengandung makna dari tiga emoji tersebut. Makna diintepretasikan sedekat mungkin dengan emoji, sebisa mungkin literal. Jadi, yawes, mulailah aku nulis kisah ini.

What do you guys think? Jangan lupa tekan bintang di bawah dan kasih tanggapan kalian yaa! Thank you udah mau berkunjung :3

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top