Memasak Bersama Elemental - Halilintar
Bosan dengan masakan yang itu-itu saja semasa pembatasan sosial virus Covid 19, Taufan menyarankan untuk membagi tugas memasak dengan semua saudara-saudaranya. Harapannya adalah menemukan suasana dan nuansa yang berbeda di dalam rumah sekaligus mengobati kebosanan akibat keluar rumah. Halilintar sebagai yang tertua mendapat giliran pertama untuk memasak makan malam.
Disclaimer dan Author Note:
-BUKAN YAOI, BUKAN SHOUNEN-AI. Elemental sibblings, AU, tanpa super power, OOC (mungkin ?).
-Dengan lanjut membaca, maka:
A. tanggung jawab moral, material dan lain-lain adalah milik masing-masing pembaca.
B. Author menyatakan tidak bertanggung jawab atas kerugian moral, material dan lain-lain.
C. Kebijaksanaan pembaca disarankan.
-Seluruh karakter yang terkandung di dalamnya adalah milik pemegang hak cipta masing-masing kecuali disebutkan berbeda.
-Tidak ada keuntungan materi yang saya dapatkan dari fanfic ini.
-Tidak berkaitan dengan fanfic saya yang lain kecuali disebutkan dalam cerita.
-Dalam fanfic ini umur karakter utama adalah sebagai berikut :
-BoBoiBoy Halilintar: 18 tahun
-BoBoiBoy Taufan: 18 tahun.
-BoBoiBoy Gempa: 18 tahun.
-BoBoiBoy Blaze: 17 tahun.
-BoBoiBoy Thorn: 17 tahun.
-BoBoiBoy Ice: 16 tahun.
-BoBoiBoy Solar: 16 tahun.
Memasak Bersama Elemental Siblings - Halilintar
Tidak biasanya rumah yang dihuni ketujuh bersaudara kembar favorit kita ini terdengar ramai. Biasanya rumah itu agak sunyi karena maksimal hanya ada empat orang saja yang tersisa di rumah sementara tiga orang bertugas menjaga kedai Tok Aba-BoBoiBoy Kokotiam secara bergiliran.
Namun perubahan yang dibawa oleh virus covid 19 yang sedang mengganas di dunia membawa akibat pembatasan sosial berskala besar, bahkan sampai ke Pulau Rintis dimana ketujuh bersaudara kembar itu tinggal.
Akibatnya tidak ada lagi acara menjaga kedai. Semua urusan kedai dilakukkan di rumah, sampai penjualan minuman pun dilakukkan secara online. Walaupun di tengah pandemi yang mengganas, penjualan minuman kedai rumahan mereka itu tidak pernah sepi dan boleh dibilang penjualan mereka tetap stabil.
Walaupun penghasilan tetap berjalan lancar, rutinitas hidup ketujuh bersaudara kembar itu jauh berubah. Misalnya seperti pada pagi hari yang muram ini...
"Really, Gempa?" dengkus Taufan dengan raut wajah yang jauh dari kata antusias. Dia dan keenam saudaranya sedang berkumpul di meja makan untuk sarapan pagi bersama. Di hadapan Taufan terhidang sepiring makanan hasil masakan Gempa yang sangat tidak menggugah selera.
Sebetulnya makanan hasil masakan Gempa itu rasanya enak. Hanya saja makanan itu sudah memasuki usia lima hari alias sudah berulang kali dipanaskan.
Karena itulah sayur tumis kangkung tauco yang terhidang di hadapan Taufan terlihat sangat layu sampai kangkungnya tidak lagi berbentuk daun, malah hanya terlihat seperti gumpalan berwarna hijau. Begitu pula empal daging yang menjadi pelengkap. Daging yang tadinya empuk dan gurih kini sudah menjadi kaku dan keras akibat dipanaskan berulang kali.
"Ini sol sepatu goreng...?" Bahkan Thorn yang biasanya antusias menyambut masakan Gempa kali ini kehilangan napsu makan. Garpu yang dipegangnya saja sukar untuk menembus empal daging yang sekarang lebih mirip dengan dendeng.
"Dah, makan aja apa yang ada." ketus Gempa. Dia melirik makanan buatannya yang sudah dipanaskan berulang kali selama lima hari ke belakang ini. Di dalam batinnya Gempa sebetulnya merutuki keputusannya untuk memasak dalam jumlah banyak sampai jumlahnya cukup untuk beberapa hari ke depan.
Singkat katanya, Gempa tidak mau terlalu repot urusan makanan. Dia mencoba untuk memasak dalam jumlah banyak, jadi hanya perlu dihangatkan saja jika hendak dimakan.
Yang jadi masalah, Gempa tidak memperhitungkan faktor bosan karena sedikitnya variasi masakannya. Dia hanya membuat dua jenis masakan yaitu tumis kangkung dan empal daging saja.
Pada awalnya memang masakan Gempa terasa lezat. Namun memasuki hari ke tiga, rasa masakan itu semakin hambar dan teksturnya menjadi sama sekali tidak menggugah selera.
Setidaknya itulah yang terasa oleh Gempa ketika dia menggigit empal daging yang sudah menjadi sekeras dendeng. Butuh perjuangan pula untuk mengunyah potongan daging itu.
Bahkan Ice yang duduk di sebelah Gempa bisa mendengar suara berdecit ketika kakaknya itu mencoba mengunyah empal dendeng itu.
Karena sulit untuk dikunyah, jadilah Gempa menelan makanan yang berada di dalam rongga mulutnya itu bulat-bulat. Seteguk air pun langsung diminum untuk membantu mendorong makanan itu turun melalui kerongkongan.
"Oke, aku nyerah!" ketus Gempa setelah empal dendeng daging yang dikunyahnya turun melewati kerongkongannya. "Ngga bisa kita makan begini terus."
"Alhamdullilah ya Tuhan akhirnya dia sadar..." celetuk Halilintar sebelum dia menyuapkan tumis kangkung beserta nasi ke dalam mulutnya.
Gempa menggeram kesal. "Kamu kira masak itu gampang?" ketus Gempa sambil melirik tajam ke arah si kakak tertua.
Halilintar mengedikkan bahunya. "Cuma masukin bumbu ke panci, nyalakan api, masukin sayur atau daging. Selesai. Ya 'kan?"
"Oh ngga segampang itu Kak." Kali ini Ice ikutan angkat bicara. Ditatapnya si kakak tertua dengan netra biru terang yang nyaris tidak berkedip. "Kak Hali sendiri pernah masak ngga?"
Sesaat Halilintar terdiam. Dia menatap balik dengan tajam ke arah Ice. "Jangan remehkan aku ya? Aku bisa memasak!" ucap Halilintar sedikit sewot.
Terdengarlah suara terkekeh yang sebetulnya lebih bernada merendahkan dari Solar. "Ya, masak mie instan." ucap Solar dengan nada yang tidak terkesan. "Itu pun salah bumbu."
Halilintar mendecih kesal. Seperti kebiasaannya jika tersudut, dia menarik turun lidah topi hitam kebanggaannya sampai menutup hampir setengah wajahnya. "Mana kutahu kalau bumbu mie instan rebus itu beda sama mie instan goreng."
"Sudah!" Taufanlah yang melerai saudara-saudaranya. Hal terakhir yang dia inginkan adalah adu mulut itu bertukar menjadi adu jotos.
"Ada betulnya juga Hali itu, Gem. Kamu sendiri juga bosan 'kan? tanya Taufan sembari menebgok ke arah Gempa. "Jujur deh. Dari mukamu kelihatan kok."
Gempa menghela napas panjang. Memang betul apa yang dikatakan Taufan itu. Dia sendiri bosan dengan masakan yang itu-itu saja.
"Bagaimana kalau kita semua gantian memasak?" sambung Taufan lagi.
"Hah?" Tanpa kecuali, semuanya langsung menengok ke arah Taufan. Seluruh adik-adik dan kakaknya tercengang mendengar saran Taufan.
Tidak seperti biasanya, Taufan memasang tampang serius. Ditatapnya seluruh adik-adik dan kakaknya satu per satu. "Kita ada tujuh orang. Dalam satu minggu ada tujuh hari. Nah kalau masing-masing kita sumbang memasak, kita bisa makan tujuh masakan yang berbeda tiap minggunya." ujar Taufan menjelaskan rencananya. "Terserah masing-masing mau masak apa. Lebih bagus lagi, jangan kasih tahu yang lain mau memasak apa, biar jadi surprise."
Gempa menatap kakaknya yang bernetra biru safir itu. "Taufan," desisnya sembari menggelengkan kepala, "itu... Ide terbaik yang pernah kudengar. Ngga sangka kamu bisa punya saran sebagus itu-"
"Tu-tunggu!" Halilintar langsung memotong ucapan Gempa. "Tapi, kita-"
"Yang setuju angkat tangan!" pekik Taufan dengan penuh semangat.
Satu per satu tangan mulai teracung ke udara. Dimulai dari Ice, Gempa, Taufan sendiri, disusul oleh Solar dan Blaze. Hanya Thorn dan Halilintar yang tidak rela mengangkat tangannya untuk menyetujui saran Taufan.
"Lima suara lawan dua. Jadi, saranku disetujui?" tanya Taufan disertai senyuman ekstra lebar.
"Setujuuuu!" sahut Gempa, Ice, Blaze dan Solar serempak.
"Yak, Hali dimulai dari kamu yang tertua. Kamu yang masak makan malam hari ini." Dengan wajah tanpa dosa, Taufan menepuk-nepuk pundak Halilintar. "Sekarang masih pagi, masih banyak waktu untuk memasak."
Halilintar yang tidak menduga bahwa dirinya akan diserahi tugas dadakan seperti itu hanya bisa melongo dan tercengang cengo. "A-aku!?" cicitnya sambil menunjuk pada dirinya sendiri.
"Ya, kamu." Gempa mengeluarkan dompetnya. Dari dalam dompet itu dia mengeluarkan beberapa lembar uang Ringgit dan meletakannya di depan Halilintar. "Nah ini anggaran belanja makanan hari ini. Silahkan, Hali. Masak apa saja yang kamu mau."
Dan jadilah Halilintar termenung-menung sendirian di kamar. Selain merutuki dirinya sendiri yang telah merendahkan masakan Gempa, otaknya berputar kencang untuk menemukan resep masakan yang bisa dicobanya.
"Duh... Masak apa yang ngga susah..." gumam Halilintar seorang diri. Semakin lama Halilintar berpikir, semakin sedikit pula waktu yang dia miliki.
"Rendang? Terlalu lama buatnya... Saksang? Yang ada aku dihajar Gempa... Gulai? Ah susah." Mencari resep masakan dari internet pun tidak membuahkan hasil.
"Aaaggh! Ini semua gara-gara ide sengklek Taufan!" ketus Halilintar kesal sambil menggaruki kepalanya. "Masak apa iniiii?!"
"Sudah puas ngomong sendirian, Kak?" Terdengarlah suara Solar dari arah pintu kamar.
Halilintar menengok ke arah pintu kamarnya dan menemukan kepala Solar menyembul dari balik pintu kamar itu.
"Belum!" ketus Halilintar.
"Daripada ngomong sendirian kayak punya tuyul begitu mending temani aku ke pasar swalayan, Kak. Siapa tau nanti nemu ide." ujar Solar sembari mengedikkan kepalanya.
Ingin rasanya Halilintar memiting adiknya yang satu itu, namun ada benarnya juga apa yang dikatakan Solar. Oleh karena itu Halilintar langsung bangkit dari ranjangnya. Dia menyempatkan diri untuk mengambil kaus yang masih bersih dari dalam lemari pakaiannya dan mengenakan kaus lengan panjang merahnya menutupi tubuhnya yang sedari tadi hanya terbalut kaus singlet saja.
Tidak lupa Halilintar dan Solar mengenakan masing-masing sebuah masker serta membawa cairan pencuci tangan yang dibuat sendiri oleh Solar.Kalau ada yang bertanya resep campuran hand sanitizer itu, Solar mencampurkan Alkohol 96% dengan aloe vera dengan rasio 25% aloe vera dan 75% alkohol.
"Sol..." panggil Halilintar ketika dia berjalan menuju pasar swalayan bersama Solar.
"LAR... Namaku ngga disingkat gitu bisa 'kan?"
"Ya, ya, ya. Solar..." gerutu Halilintar sembari memutar bola matanya ke atas. "Masak apa aku malam ini nih?"
Solar mengedikkan bahunya. "Lah mana aku tahu. Kak Hali 'kan yang punya acara."
Halilintar mendecih kesal. Sebuah batu yang berada di dekat kakinya menjadi pelampiasan kekesalannya. Ditendangnya batu yang tak bersalah itu sekuat tenaganya, tapi...
"ADAW!" Alih-alih batu, ujung kaki Halilintar malah mencium beton trotoar yang jauh dari arti kata empuk.
"Bwahahahahahah! Nah 'kan kena tulah!" Alih-alih prihatin, Solar malah tertawa terbahak-bahak melihat si kakak tertua melompat-lompat kesakitan sembari memegangi ujung kakinya.
"Sini kau!" Dengan terpincang-pincang jadilah Halilintar mengejar adiknya yang terkecil itu. Solar sendiri? Dengan mudahnya dia berjalan menjauh dari Halilintar sampai keduanya tiba di sebuah pasar swalayan.
Di dalam pasar swalayan itu Halilintar memilih untuk langsung mencari bahan makanan yang dia perlukan untuk membuat makan malam dirinya sendiri dan keenam adik-adiknya. Bingung dan bimbang pun kembali menyerang alam pemikiran Halilintar.
Halilintar tidak bisa dan tidak suka memasak. Bagi Halilintar, makanan apa saja jadilah yang penting bisa mengisi perutnya. Mendadak dia teringat akan kata-kata Gempa yang terakhir. Daripada membuat masakan yang belum tentu jelas rasanya, maka Halilintar memutuskan untuk menuruti saran Gempa yang terakhir itu.
Sebuah seringai tipis mengulas di wajah Halilintar. Sembari terkekeh, Halilintar membeli beberapa buah bahan makanan yang bisa diolahnya menjadi makan malam yang tidak terlupakan untuk keenam adik-adiknya.
.
.
.
Sekembalinya dari pasar swalayan, Halilintar langsung bergegas menuju dapur. Dia tidak memedulikan Gempa atau Taufan yang tersenyum-senyum melihat dirinya pulang berbelanja bersama Solar.
Senyuman Taufan dan Gempa itu segera menghilang, apalagi ketika mereka melihat Halilintar dengan lincahnya bergerak kesana kemari untuk memasak. Boleh dibilang bahwa siapa pun yang melihat Halilintar sedang memasak itu malah terheran-heran, ditambah lagi si kakak yang terkenal pendiam itu mulai bernyanyi-nyanyi kecil sembari memasak.
Tidak ada yang tahu mengenai apa yang dimasak Halilintar, namun yang jelas terdengar suara blender yang beberapa kali meraung-raung. Sesekali terdengar dentingan spatula beradu dengan penggorengan dan suara dentingan piring beradu dengan meja dapur. Apa pun yang dimasak Halilintar itu, terlihat dimasak dengan senang hati oleh Halilintar.
Tibalah saat makan malam...
Taufan, Gempa, Thorn, Blaze, Ice dan Solar sudah berkumpul di meja makan. Mereka semua menunggu masakan yang akan disajikan oleh Halilintar dengan penuh rasa penasaran.
"Taruhan yuk... Kentang goreng ekstra sambal." ucap Taufan sembari menengok ke arah dapur dimana Halilintar sedang menyiapkan hasil masakannya untuk disajikan.
"Alaah. Palingan juga nasi goreng." dengkus Gempa dengan nada yang jauh dari arti terkesan.
Solar yang ikut belanja bersama Halilintar pun tidak tahu apa yang telah dimasak si kakak tertua itu. Dia sendiri tidak sempat melihat bahan apa saja yang dibeli oleh Halilintar untuk dimasak.
"Nah ini makan malamnya." Keluarlah Halilintar dari dalam dapur dengan membawa sebuah nampan. Di atas nampan itu dia membawa apa yang terlihat seperti tujuh buah hamburger berukuran besar dan tebal. Sebagai pelengkap, potongan kentang goreng polos menemani hamburger buatan Halilintar itu.
"Wuaaa! Burger!" Blaze terlihat sangat antusias. Dia langsung mengambil sebuah hamburger yang sudah tersaji. Tidak lupa dia mengambil beberapa potong kentang goreng.
"Kentang gorengnya bukan buatanku ya, itu aku beli yang tinggal dimasak." ucap Halilintar selagi dia memperhatikan seluruh adik-adiknya meraih makan malam yang tersaji.
"Bentuknya aneh..." gumam Gempa yang melihat daging pengisi hamburger buatan Halilintar itu. Dicoleknya daging hamburger itu dan dahi Gempa langsung mengernyit. "Empuk amat... Dagingnya kamu... Blender?"
"Iyaaap." jawab Halilintar enteng.
Seketika itu pula Gempa merasakan kepalanya mulai berdenyut-denyut. "Astaga Hali! Gimana kalau buat jus buah nanti. Bakal bau itu blendernya."
Baru saja Gempa hendak menyerocos lagi ketika dia melihat air muka Blaze berubah-ubah tidak jelas. Dari burger di depan Blaze yang sudah tergigit, Gempa menyimpulkan bahwa adiknya itu tengah mengecap burger buatan Halilintar itu.
Tidak hanya Blaze sendiri saja, bahkan semua yang sudah mencicipi burger buatan Halilintar itu terlihat berkerut-kerut wajahnya.
"Daging apa ini? Rasanya aneh..." komentar Ice setelah menelan makanan yang sudah dikunyahnya.
Terdorong penasaran, Gempa pun mencicipi hasil karya Halilintar itu.
"A-apa ini?" tanya Gempa.
"Daging." jawab Halilintar dengan wajah tanpa dosa.
Gempa memutar bola matanya ke atas. "Aku tahu lah! Daging apa?"
"Kamu betulan mau tahu?"
"Ya..."
"Serius?" tanya Halilintar sambil menyungging senyum tipis.
"Iya!" ketus Gempa sembari menghadiahi lirikan tajam pada Halilintar.
"Miapah?"
"HALI?!" bentak Gempa yang sudah hilang sabar.
Pada sebuah momen yang langka itu Halilintar tertawa terbahak-bahak setelah dia melihat reaksi Gempa dan semua adik-adiknya.
"Oke, kuberi tahu. Itu daging kornet sapi."
Gempa langsung bernapas lega. "Syukur alhamdulilah. Kukira daging yang aneh-aneh-"
"Aku belum selesai ngomong." ujar Halilintar memotong kata-kata Gempa. "Daging kornet sapi kucampur dengan daging ikan makerel kalengan dan daging sosis instan. Semua kublender jadi satu lalu aku goreng."
Nyaris secara bersamaan warna wajah seluruh adik-adik Halilitar kecuali Solar langsung bertukar menjadi lebih pucat. Makan malam mereka langsung berhenti dan burger yang tersisa langsung digeser ke pinggiran piring masing-masing.
"Sebaiknya makan saja... Kentang gorengnya juga ngga banyak jumlahnya. Daripada nanti pada kelaparan?" tanya Solar sebelum dia melanjutkan menyantap burger daging campuran buatan Halilintar itu. "Memang rasanya amis ngga karuan tapi 'kan sudah dimasak, mestinya aman... Palingan nanti kita pada sakit perut."
"Nah betul kata Solar... Habiskan yang aku masak itu. Mubazir kalau dibuang," tegas Halilintar sembari melirik ke semua adik-adiknya, lengkap dengan hawa gelap yang menguar. "Gempa sendiri yang bilang terserah aku mau masak apa, Ini aku turutin. Kupasung kalian kalau protes lagi."
"Erk." Bahkan Gempa berani bersumpah dia bisa melihat kilatan petir merah dalam tatapan bengis Halilintar yang legendaris. "I-iya. Aku makan!" ucap Gempa dengan cepat sebelum dia melahap burger buatan Halilintar itu dengan amat sangat terpaksa.
Sejak saat itulah Halilintar tidak dibiarkan lagi memasak sendirian tanpa batasan...
Dan malam itu rumah dipenuhi aroma aneh berbau telur busuk ketika ada yang bersendawa.
.
.
.
Tamat.
Terima kasih sudah meluangkan waktumu untuk membaca, semoga berkenan. Mohon maaf kalau ada yang kurang berkenan.
Saran, kritik, review dan komentarmu selama tidak berbau SARA akan sangat saya hargai dan sebisa mungkin akan saya balas dengan kebaikan pula.
"Unleash your imagination."
LightDP, author fanfic anda sejak 2003.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top