Tragedi

Malam terang yang sunyi, cahaya sang dewi menebar menyelimuti langit. Hutan Ezs, hutan keramat tempat para iblis bersemayam, bahkan sinar rembulan pun tak berani mengusik kegelapan yang pekat didalamnya.

Legenda yang selalu terdengar tentang iblis seram beserta kutukannya tak membuat seorang gadis muda mengendurkan niatnya. Berbalut mantel coklat serta tas punggung berisi perbelakannya, gadis muda tersebut berdiri di tepi hutan. Melihat batas antara cahaya dan kegelapan.

"Sepertinya malam ini aku menginap disini saja."

Diana, gadis muda itu berjalan menuju tepi hutan, mengumpulkan beberapa ranting yang terlihat dan mulai menyusunnya. Melepas tas punggungnya serta mantel yang dikenakannya lalu duduk di hadapan api unggun. Cahaya redup dari api yang menyala sendu cukup untuk menerangi malamnya.

Berselimut mantel coklat, berbantal tas punggung, Diana terlelap meninggalkan malam sunyi, menyongsong hari esok yang penuh dengan sinar mentari.

Cahaya mentari tajam menyorot menembus mantel coklat yang dikenakannya, membuat Diana mengernyit dan perlahan kembali dari dunia mimpi. Matanya mengerjap beberapa kali, menyesuaikan cahaya yang masuk kedalam indera penglihatannya.

"Huaaaah, sepertinya aku kesiangan," ujarnya pelan. Diana meminum sisa air dari kantong minumnya, membasahi tenggorokannya yang kering. Membereskan tas punggung dan mantel coklatnya, memastikan api unggun yang dibuatnya sudah benar-benar padam.

Jalan setapak membentang menembus Hutan Ezs, Diana berdiri menghadap gerbang masuk kedalam hutan. Pepohonan yang menjulang tinggi dengan daun yang lebat bahkan tak mengizinkan cahaya mentari masuk kedalamnya. "Saat siang pun tetap saja gelap. Kenapa kakak bisa lewat kesini ya?"

Perlahan Diana melangkahkan kaki mungilnya, menjejakkan kakinya pada jalan setapak dan berjalan memasuki Hutan Ezs. Hawa dingin di dalam hutan membuat bulu kuduknya meremang. Manik Rubi Diana menyalang mewaspadai apapun yang bisa membahayakan nyawanya.

Suara gemersik daun yang tertiup angin membuatnya sedikit risih, ditambah suara binatang-binatang kecil yang saling bersahutan menambah tingkat waspada sang gadis muda pada tingkat maksimalnya.

Sekelebat bayangan hitam melompat dihadapannya, membuat Diana berlonjak kaget. Bayangan itu mendarat tepat dihadapan gadis muda itu, "Kelinci sialan, kau mengagetkanku."

Diana teringat akan perutnya yang belum terisi sejak kemarin malam, dan berfikir untuk mwnjadikan kelinci hutan yang mengagetkannya sebagai pengganjal perut. Diana mulai berlari mengejar kelinci hutan, menerobos semak demi semak, hingga berakhir pada sebuah tebing.

"Eh? KYAAA ... "

Diana terjun bebas menyusuri tebing curam dan tercebur kedalam sungai dibawahnya. Arus deras membawanya berpetualang lebih dalam menuju gua bawah tanah. Arus sungai yang sedikit tenang membawa Diana yang tengah pingsan menepi di pinggiran sungai yang cukup landai.

Sebuah sosok tinggi hitam mendekati Diana yang terkapar tak berdaya di pinggiran sungai. Membopongnya seperti karung beras dan membawanya masuk kedalam gua. Sosok hitam itu membawa Diana pada ruangan gua yang cukup luas, menaruhnya pada batu datar di tengah ruangan.

Sosok hitam itu berjalan kembali ke pinggir ruangan dan mulai menyalakan obor yang terdapat di dinding gua. Cahaya redup dari enam buah obar yang tersebar di dinding gua cukup untuk menerangi seisi ruangan. Sang sosok hitam itu kembali menghampiri Diana dan duduk dihadapannya, menunggunya untuk tersadar.

Tak lama kesadaran Diana perlahan pulih, mengerjapkan matanya saat indera penglihatannya menangkap cahaya remang disekitarnya. Saat itu pun Diana terkesiap melihat sosok hitam dihadapannya. memiliki tubuh tegap dan besar dengan warna gelap, disertai wajah yang keras dan beberapa taring yang mencuat dari sela bibirnya.

"Si..siapa kamu?" Diana mencoba tetap kuat, meskipun kakinya mulai gemetar.

"Tenanglah gadis kecil. Aku tidak akan menyakitimu," ujar sang sosok hitam. Suaranya yang berat menggema di dalam ruangan gua.

"Siapa kamu?" kembali Diana bertanya.

"Namaku Ed, dan aku penghuni gua ini."

"Baiklah," Diana langsung mencoba berdiri dan saat itu pula tubuhnya kehilangan keseimbangan dan kembali terduduk diatas batu datar. Rintihan pun terdengar dari bibir tipisnya, "Aw."

"Hey, jangan terlalu banyak bergerak! Lukamu belum sembuh," ujar Ed. Dia mencoba untuk membantu Diana, namun Diana langsung menolaknya.

"Jangan mendekat!"

"Aku hanya ingin membantumu," Ed mundur perlahan dan kembali duduk pada batu yang semula didudukinya.

"Baiklah, asal kau tetap diam disana aku tak akan mendekatimu. Kau harus istirahat terlebih dahulu sampai lukamu pulih."

Diana memperhatikan tubuhnya, beberapa bagian pada lengan dan kakinya terdapat luka lebam dan sebagian tergores. Rasa perih dan ngilu mulai terasa olehnya, Diana meraba lukanya dan mendapati cairan lengket yang menempel. "Apa kau yang mengoleskan cairan lengket ini?"

"Ya, itu obat yang aku buat sendiri. Cukup ampuh untuk luka kecil."

Diana terkesiap, matanya menyorot tajam pada Ed. "Apa saja yang kau lakukan saat aku pingsan?"

"Tenanglah gadis kecil. Aku tak melakukan apapun, aku hanya mengoleskan obat pada lukamu."

"Aku bukan gadis kecil, Namaku Diana."

"Baiklah Diana, apa yang membawamu ke hutan ini?" Ed penasaran dengann seorang gadis yang berani menembus Huran Ezs seorang diri.

"Aku ingin ke kota sebrang, mencari kakak-ku."

"Mencari kakak mu? Dengan melewati Hutan Ezs seorang diri?" Ed mendapat sebuah anggukan dari lawan bicaranya. "Kau tau bagaimana mengerikannya hutan ini kan?"

"Ya, aku tau. Maka dari itu aku melewatinya pada siang hari," ujar Diana. Siapapun pasti akan mengenal dengan baik Legenda Hutan Ezs, hutan yang penuuh dengan bahaya. Seperti banyaknya isu yang beredar, sebanyak itulah kejadian yang dialami banyak orang saat berani menembus Hutan Ezs.

"Sebaiknya kau istirahat, besok aku akan mengantarmu kembali dan kau bisa pulang dengan selamat," Ed tak ingin kejadian serupa menimpa orang lain selain dirinya.

"Apa kau bisa mengantarku keluar dari hutan ini? Maksudku, menuju sebrang hutan ini agar aku bisa kembali mencari kakak ku," ADiana memandang Ed dengan tatapan penuh harap.

"Sebaiknya kau urungkan niatmu itu. Mungkin kakak mu pernah berhasil melewati hutan ini, namun bagimu cukup berat. Sebaiknya kau kembali ke rumahmu."

"Aku tak bisa pulang. Satu satunya harapanku untuk pulang adalah bertemu dengan kakak-ku," Diana teringat akan kejadian yang menimpanya, kejadian yang membuatnya mau tak mau harus berpetualang mencari kakaknya.

"Apa maksudmu?"

"Desaku hancur, dan hanya aku yang tersisa. Satu satunya keluargaku saat ini adalah kakak ku yang pergi berpetualang tiga tahun lalu." Wajah Diana berubah sendu, teringat akan kejadian yang menimpa desanya sebulan lalu.

"Tunggu sebentar, tiga tahun lalu? Siapa nama Kakak mu?"

Ed terkesiap mendengar penuturan Diana. Jika dugaannya benar, maka kakak dari gadis dihadapannya adalah orang yang dikenalnya.

"Rena, Rena Melstein," jawab Diana. Jawabannya berhasil membuat Ed tertawa. Tawanya sampai menggema dalam ruangan gua yang luas.

"Hahahaha, sudah kuduga. Kenapa aku tidak curiga sebelumnya," Ed teringat akan sahabatnya yang dahulu pernah menolongnya. "Baiklah Diana, aku teman kakak-mu. Sekarang kamu istirahat, dan besok aku akan mengantarmu keluar dari hutan ini."

"Benarkah?" Diana pun kaget dengan penuturan Ed bahwa dia teman dari kakaknya, harapan untuk bertemu sang kakak kembali terbuka lebar.

"Ya, aku berjanji akan membawaku keluar dengan selamat," pungkas Ed.

Keduanya kembali bertukar cerita, Diana yang semula ketakutan kini mulai nyaman dengan Ed. mengetahui bahwa Ed adalah teman baik kakaknya, bahkan sempat menolongnya, menandakan bahwa Ed adalah makhluk yang baik.

Hari terus berganti, malam dan siang saling bahu membahu untuk terus menjalankan tugasnya. Meneruskan kehendak alam, menjalankan laju waktu yang tak bisa dihentikan oleh siapapun.

Ed dan Diana, berhenti di batas hutan. Perjalanan yang memakan waktu selama lima hari, saling membantu dan terus berjalan menembus rintangan, hingga akhirnya mereka sampai di batas Hutan Ezs. Ed berhasil memenuhi janjinya untuk membawa Diana keluar dengan selamat.

"Aku hanya bisa mengantarmu sampai sini Diana. Kamu hanya perlu ikuti jalan setapak ini, kau akan melihat kota besar setelah menempuh perjalanan dua hari," ujar Ed sambil memandang jalan setapak yang terang dibawah sinar mentari siang.

"Eh? Kau tak ikut mencari kak Rena?" Diana tak ingin kembali sendirian.

"Tidak bisa, aku tak bisa keluar dari hutan ini. aku tak ingin orasng menjerit karena meihatku."

"Yaaah, padahal kau baik. Mereka saja yang tak tau bagaimana dirimu."

"Terima kasih Diana, namun aku tak bisa keluar. Ada hal yang mengaruskan aku tetap disini, menjaga hutan ini," jelas Ed. Diana sedikit kecewa dengan penolakannya.

"Baiklah," Diana menanggalkan tas punggungnya dan membukanya, mencari sebuah benda untuk diberikannya pada Ed.

"Ed, terima ini," Diana memberikan sebuah liontin berbentuk perisai dan pedang. "Ini lambang keluargaku. Karena kau sudah membantuku, aku ingin kau memilikinya dan menjadi saudaraku."

Ed menerima liontin pemberian Diana, matanya berkaca-kaca "Diana, aku menghargai pemberianmu namun ..."

"Aku tak menerima penolakan kali ini. Kau sudah menbantuku, kau pun teman baik kakak ku. Keluargaku yang lain sudah tiada, jadi tak ada salahnya aku mencari keluarga baru."

Saat itulah Air mata yang ditahan Ed jatuh, air mata bahagia yang membebaskannya dari kesendirian. "Aku terima dengan senang hati."

Diana tersenyum, misinya untuk membangun kembali keluarga Melstein mulai terwujud.

Setiap pertemuan selalu dibayangi oleh perpisahan, perpisahan antara dua saudara yang baru saja terikrar pun harus dilalui. Diana melambaikan tangan pada Ed dan mulai berjalan menelusuri jalan setapak yang kini terang benderang.

Dua hari berlalu, Diana sampai di gerbang Kota Trent. Batu kapur yang disusun menyerupai benteng menjulang kokoh memberitahukan bahwa Kota Trent adalah kota yang kuat. Diana berjalan perlahan menyusuri jalan setapak berbatu.

Suasana ramai pasar induk langsung tersuguh saat Diana melewati gerbang, setelah melakukan pengecekan Diana tak sabar ingin segera menjelajahi kota ini. pemandangan yang baru baginya, tak henti Diana berdecak kagum dengan apa yang dilihatnya.

Matanya liar memperhatikan tiap jengkal deretan pedagang yang menjual barang serta makanan yang unik. Namun, Diana berhenti saat melihat papan pengumuman yang terpasang pada sebuah tembok sebuah toko. Sebuah pengumuman penting yang menampakkan wajah seseorang yang sangat dikenalnya.

"Kak Rena?" Diana memperhatikan kembali wajah yang terdapat dalam poster buronan yang tertempel pada papan pengumuman itu. "Apa yang dia lakukan hingga bisa menjadi buronan seperti ini?"

Diana yang masih tak percaya kakaknya akan menjadi buronan sebuah kota besar meninggalkan papan pengumuman, kakinya melangkah kembali menelusuri pasar. "Aku harus cepat bertemu dengan Kak Rena," ujarnya.

Kaki mungilnya terus melangkah, membawanya ke pusat kota. Setelah suasana pasar yang ramai, kini Diana disuguhkan dengan pemandangan kota yang indah. Penduduk kota yang melakukan aktifitas berjalan lalu-lalang, ada pula yang sedang duduk bersantai pada sebuah warung makan atau kedai minuman yang berbaris di kiri dan kanan jalan.

"Aku harus mulai darimana mencarinya?" Diana tak ingin membuang waktu, secepatnya ia ingin segera bertemu dengan kakaknya. Memberitahukan keadaannya saat ini dan mengajaknya pulang.

Diana kembali berjalan menelusuri jalanan kota. Sekelebat bayangan menarik perhatiannya dari dalam gang yang sepi. Diana sangat mengenal postur serta gaya rambut dari kakaknya, berbekal harapan serta rasa penasaran yang tinggi, Diana memberanikan diri untuk menghampirinya.

Seorang pemuda dengan mantel hitam sedang berdiri mengawasi sekitarnya, kepalanya tak henti menoleh ke kiri dan kanan. Diana masuk ke dalam gang, menghampiri pemuda itu, bahkan pemuda itu tak sadar bahwa Diana sedang memperhatikannya.

"Kak Rena?" tanyanya pada pemuda itu. Pemuda dengan rambut jingga itu menoleh, matanya terbelakak saat mengetahui siapa yang memanggil namanya.

"Diana?"

Diana sudah bisa memastikan bahwa pemuda di hadapannya adalah kakaknya, ia berlari dan menubruknya. Rasa rindu yang sudah dibendungnya selama tiga tahun kini terlampiaskan, hingga tak sadar air matanya mengalir, diana menangis dalam pelukan Rena.

"Hei, apa yang kau lakukan disini?"

"Aku ... Aku ... Hiks," Diana tak kuasa menahan tangisnya, keluarga terakhir yang selama ini dicarinya kini berada dalam pelukannya. "Kak Rena, ayo pulang."

"Oke, mari kita dengarkan ceritamu, tapi jangan disini."

Rena menggenggam tangan Diana dan membawanya menelusuri gang, berbelok-belok, menuruni tangga, hingga Rena membawa adiknya ke dalam sebuah rumah yang sudah tua di pinggir sungai.

Rena membawanya duduk pada sebuah kotak usang, lalu pergi ke dapur untuk mengambil minum.

"Nih, minum dulu!" satu gelas air diterima Diana, dan meneguknya sampai habis dalam satu tarikan nafas.

Melihat adiknya sudah mulai tenang, Rena mulai bertanya "Diana. Apa yang kau lakukan disini?"

"Aku mencarimu kak, aku tak tahu apa yang harus kulakukan selanjutnya, maka dari itu aku mencarimu."

Rena mengambil sebuah kitak usang lainnya dan mendudukinya, "Apa maksudmu?"

"Desa kita diserang sekelompok orang kak," Diana mengambil nafas, hatinya tak ingin mengingat kembali kejadian yang menyayat hatinya, namun harus ia sampaikan pada sang kakak.

"Desa diserang, dan hancur dalam semalam. Ayah, ibu, paman dan bibi, bahkan semuanya sudah tiada. Hanya aku yang tersisa," Diana tak kuasa menahan tangisnya, air matanya kembali terjun membasahi pipi mulusnya. "Orang-orang itu membunuh semuanya, membunuh semua keluarga kita. Aku tak tahu harus bagaimana, aku lari untuk menyelamatkan diri. Aku tak tau harus bagaimana lagi kak."

Tangis pun pecah, diana tak kuasa meneruskan kata-katanya. Rena yang terkejur langsung memeluk sang adik, berharap pelukannya mampu menenangkannya.

Pelukan hangat sang kakak berhasil menenangkan Diana. Rena pun masih terkejut mendengar kabar buruk yang dibawa adiknya, namun dengan cepat bisa menguasai dirinya, berusaha tetap tegar dihadapan sang adik.

"Diana, siapa yang sudah berani mengganggu keluarga kita?"

"Aku tak tahu kak, mereka mengamuk dan memporak porandakan desa. Aku hanya melihat mereka memakai mantel berwarna merah dengan lambang serigala di punggungnya."

Rena terbelakak, dia tahu siapa pelakunya. "Ck, sialan. lalu, bagaimana dengan benda pusaka yang kita jaga?"

"Mereka mencurinya."

Emosinya tersulut, harta keluarga yang dijaganya secara turun temurun berhasil dicuri.

"Baiklah Diana, sekarang dengarkan aku. Kita akan pulang, namun aku harus menyelesaikan sebuah masalah terlebih dahulu. Saat ini aku buron karena sebuah kesalah fahaman, jadi aku ingin kau bersamaku hingga aku menyelesaikan masalahku, lalu kita akan pulang."

"Kita akan merebut kembali harta keluarga kita, dan membangun kembali keluarga Melstein,"pungkasnya.

Diana mengangguk, beban di pundaknya terasa terangkat. Diana kembali memeluk kakaknya, menikmati kenyamanan yang diberikan sang kakak. Berpetualang seorang diri membuatnya sangat lelah, hingga tak sadar dirinya terlelap dalam pelukan Rena.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top