Special Chapter | Tiga
Halo ketemu lagi dengan update-an versi novel!
Enjoy!!
***
Kita masing-masing telah melangkah untuk sesuatu hal yang baru. Tak ada alasan untuk kita kembali membahas apa yang terjadi dimasa lalu, mungkin ini adalah yang pertama dan terakhir sebelum akhirnya kita benar-benar melangkah masing-masing.
***
Menghindari adegan-adegan yang mungkin terjadi, seperti meminjamkan jaket karena cuaca malam hari cukup dingin, Melody mempersiapkan dirinya dengan mengenakan jaket tebal. Dia menatap pantulan dirinya di cermin, beberapa kali dia menghapus dan mengenakan kembali make upnya.
Bagaimana caranya agar tidak terlihat berlebihan?
Masihkah pemuda itu akan mengira bahwa ketika Melody memakai make up, dia melakukan itu untuknya. Mengingat sifat asli Dylan yang selalu percaya diri dengan apa yang terjadi. Tapi, kalau Melody tidak merapihkan dirinya sendiri, dia terlihat tidak niat pergi.
Meskipun begitu kenyataannya, dia sangat khawatir akan terciduk oleh Louis.
"Oke.. calm down Mel. Jakarta gak sesempit itu. Gak mungkin ketemu Louis atau teman-temannya di satu tempat. Lagipula ini hanya makan malam biasa..."
Bermonolog seperti itu setidaknya sedikit membantu agar dia tidak gugup. Biar bagaimanapun setelah sekian lama mereka tidak pernah bertemu dan tidak tahu malunya Melody mengajak Dylan makan malam bersama.
Ah, dare sialan. Saat itu dia tidak kepikiran untuk mengajak David saja. Perlu diakui setelah pertemuan kemarin Melody memang memikirkan Dylan.
Mengenai alasan pemuda itu kembali.
Selama empat tahun apa saja yang dia lakukan.
Keluarganya ada masalah seperti apa, sampai mereka harus pindah.
Banyak sekali pertanyaan di kepalanya dan itu membutuhkan jawaban, hanya saja untuk menanyakan langsung kepada Dylan akan banyak kemungkinan. Antara pemuda itu menolak karena Melody terlalu ikut campur hal yang bukan urusannya atau dia akan ditertawakan. Bagaimanamungkin ketika dia memiliki seorang pacar tapi masih kepo urusan mantannya.
Namun, hanya sekedar ingin tahu, kan?
Sepertinya, tidak lebih dari itu.
Melody mendapat pesan bahwa Dylan sudah sampai di depan rumahnya. Tepat waktu, jam 8 tepat. Melody segera mengambil tas selempangnya dan pergi menemui Dylan.
"Mau makan dimana?" tanya Dylan saat mereka baru saja bertemu
"Ah, itu, aku belum pikirin."
Dylan menghela napasnya dan menyuruh Melody masuk ke mobil, "Harusnya saat lo ngajak pergi orang udah tau tujuannya mau kemana."
Tak ada jawaban, Melody hanya menuruti perkataan Dylan untuk masuk ke dalam mobil. Mobil Dylan melaju tak tentu arah, keadaan di mobil pun hening. Tak ada yang memulai pembicaraan terlebih dahulu. Untuk Dylan mungkin tidak ada yang ingin dia tanyakan kepada Melody, tapi untuk Melody dia ingin memulai pembicaraan tetapi dia bingung harus memulainya dari mana.
"Udah nemu tempat?" tanya Dylan
"Mmm... belum."
"Okay."
Hanya percakapan singkat seperti itu, tidak berlanjut.
"Kak..."
"Hmm..."
"Boleh puter lagu gak? Dari playlist aku?"
Dylan mengangguk, "Boleh."
"Makasih." Melody langsung menyalakan konektifitas untuk menyambungkan handphone dengan audio di mobil Dylan.
Menatap playlist lagunya. Disaat seperti ini saja dia masih overthinking mengenai bagaimana jika Dylan tidak menyukai lagu-lagunya. Dia membenci situasi seperti ini dan mengapa pemuda itu harus memiliki aura dominan yang sangat kuat, sehingga dia merasa seperti anak kecil yang tak berdaya dan harus mengikuti tuannya.
"Gajadi...?"
"Ah, gapapa kalau kak Dylan gak suka lagunya?"
Dylan melirik sebentar, lalu dia hanya menaikkan bahunya tak acuh. "Lagian cuman lagu, gak perlu dipikirin."
"Oh... yaudah."
Lagu pertama yang mangalun dan menemani keheningan mereka di sepanjang jalan adalah milik Catrien – Erase You.
You were laughing when I meet you
And you still do
Remember when I was the apple of your eye
Ah lagu ini. Ketika Melody berniat memindahkannya, tapi dia mendengar bahwa Dylan menyanyikan bait dari lagu itu selanjutnya.
"The center of your attention... Is still the best place I've ever been in... but nothing ever stays the same..."
Selanjutnya yang terjadi adalah lagu itu terputar sampai akhir dan berganti ke lagu yang baru.
"So... sekarang udah tau mau kemana?" tanya Dylan lagi, sudah hampir setengah jam mereka pergi tak tentu arah.
"Ah..."
Ayo Melody berpikir, dia bahkan tidak bisa memikirkan satu tempat pun kini di kepalanya. Padahal selama ini dia sudah banyak sekali mencoba tempat makan, tapi mengapa dia tidak bisa memikirkan hal itu.
Benar-benar menyebalkan.
"Terserah deh kak."
"Terserah?" Dylan mencibir, "Ini lo yang ngajak pergi dan lo nyuruh gue buat milih tempat? Gue udah hampir empat tahun gak balik kesini, semuanya berubah."
"Yaudah kalau gitu, ke tempat biasa aku makan."
"Di?"
"Dekat kampus. Kak Dylan tau kampus aku, gak?"
Dylan menggeleng, dia memang tidak tahu dimana kampus Melody bahkan ketika Melody mengatakan dia berada di kampus yang sama dengan Anna pun Dylan tetap tidak tahu, alhasil Melody menyalakan maps untuk membawa mereka ke daerah kampus.
Yang Melody tidak sadar adalah, Kawasan kampus akan sangat rawan dengan orang-orang yang mengenal Louis. Meskipun masih ada kemungkinan dia tidak bertemu dengan orang yang mengenal Louis.
Tepat ketika Melody mengajak Dylan ke warung pecel lele yang ada disana, Dylan menatap ke arah Melody. Kedai itu sangat ramai dengan mahasiswa padahal hari libur. Biasanya mahasiswa yang tinggal di dekat kampus atau orang-orang yang ikut organisasi.
"Mel, lo gak lupa kalau gue gak bisa makan di tempat seperti ini, kan?"
Bodoh. Dia melupakan itu, fakta bahwa Dylan tidak bisa makan di pinggir jalan, maksudnya warung-warung kedai kecil seperti ini. Dia kelewat higienis, tapi mereka sudah telanjur berada disana.
"Ah... yaudah kita ke kafe David aja, gak jauh kan dari sini," ujar Melody
"Lo beli makan disini aja kalau lo pengin, gue bisa makan di apartemen," kata Dylan, "gue tunggu di mobil."
"Ah, kak Dylan gak mau bungkus juga?"
"Enggak, makasih."
Kebiasaannya masih sama, padahal dulu karena dia berpacaran dengan Dylan kebiasaan dia hampir sama dengan pemuda itu. Seperti tidak pernah makan di pinggir jalan, mereka lebih memilih memasak di rumah atau membeli di kafe atau restoran yang kebersihannya terjaga. Semenjak putus dulu dan kenal dengan Louis, semuanya berubah.
Louis sering kali mengajaknya kulineran entah itu makanan pinggir jalan, makanan mahal itu tidak terlalu berpengaruh. Untuk mereka cita rasa yang paling penting.
Ah, tanpa sadar Melody membandingkan keduanya padahal sudah jelas mereka berbeda.
Setengah jam Melody menunggu pesanannya sampai dia masuk kembali ke mobil Dylan.
"Ini aku gapapa ikut ke apartemen kak Dylan?" tanyanya
"Gapapa. Emang kenapa?"
"Pacar kak Dylan...?"
"Dia gak disini," jawab Dylan, "lagipula kita cuman makan dan mungkin sedikit cerita, itu gak akan masalah."
Berarti benar, Dylan memiliki kekasih. Hanya saja, mengapa suasananya semakin canggung sekarang. Tepat disaat Melody meminta mobil Dylan menepi di salah satu kedai minuman yang sangat hitz membuat pemuda itu kembali bersuara.
"Kebanyakan gula, jangan sering-sering gak baik."
"Tapi enak tau kak."
"Iya, jangan banyak-banyak."
"Kak Dylan mau?" tawar Melody
"Enggak, lo aja."
Ketika Dylan mengeluarkan kartu untuk membayar minuman Melody, gadis itu langsung menolaknya dan membayar minumannya sendiri.
"Aku yang beli kak dan aku yang minum, terus sebelumnya aku yang mau traktir kak Dylan."
Dylan tidak mempermasalahkan hal itu, dia terbiasa ketika pergi dengan orang lain dia yang akan membayar makanannya. Tapi, kalau ditolak seperti ini, yaudah, terserah. Dia sudah tidak ingin memaksa orang lain lagi. Sifat itu yang selama ini dia mencoba hilangkan dari dirinya, meskipun sulit, namun sepertinya sudah lebih baik dari dulu.
Apartemen Dylan berada di Kawasan elit, Melody sering melewati Kawasan ini. Apartemennya cukup luas untuk ditinggali sendiri. Ada dua kamar disana, televisi flat dengan ukuran 60 inch, sofa, ruang makan, kitchen set. Aroma musk langsung menghampiri indra penciuman Melody saat dia masuk ke dalam aprtemen itu.
"Lo makan duluan aja."
"Aku nunggu kak Dylan aja, emang kak Dylan mau masak apa?"
"Beef omlette," jawab Dylan, "mau?"
"Tapi aku udah beli makan."
"Oh... yaudah..."
"Aku gak bilang gak mau, boleh icip nanti?"
"Gue buatin aja."
Melody tersenyum mendengar jawaban itu, dia tahu kalau Dylan sangat tidak suka saat harus berbagi makanan dengan orang lain. Ketika ada orang lain yang meminta makananya dia akan membelikan makanan baru atau memberi semua makanannya.
Melihat pemandangan bagaimana pemuda itu sangat telaten berada di dapur membuat senyum Melody tidak pudar, setidaknya ketika dia tidak menyukai makanan di tempat yang katanya higienis dia bisa melakukannya sendiri. Sangat romantis ketika bisa dimasakan oleh seorang yang sangat kita sayang. Kalau Louis, paling juga dia hanya bisa memasak mie instan, telor ceplok saja tidak sempurna.
Tak lama Dylan memberikan satu piring dengan makanan yang sama dengan miliknya.
"Ada saos?" tanya Melody itu karena Melody tau kalau Dylan tidak menyukai makanan pedas. Katanya gak sehat.
"Punya mata dipake."
Melody mengerucutkan bibirnya, dia tidka melihat bahwa di depannya ada saos. Gadis itu membuka makanannya dan juga mencoba makanan yang dimasak oleh Dylan. Ini adalah kali pertama dia mencoba masakan dari mantan kekasihnya itu. Kalau dulu, selalu Melody yang memasakan untuk Dylan atau bibi yang ada di rumah.
"Dari kapan kak belajar masak?"
"Semenjak kuliah," jawab Dylan
"Kata Anna kak Dylan kesini sendiri, Mama sama Papa kak Dylan masih di Amerika?"
"Hmm..."
"Kenapa kak?"
"Kenapa apa?"
"Kenapa pulang ke Indonesia? Bukan gak boleh sih, maksud aku pasti ada alasan kan kenapa kakak kembali apalagi kata Anna keluarga kak Dylan pindah ke luar negeri. Kalau bukan hal yang mendesak, pasti gak akan kesini, kan?"
"Lo udah berani nanya ya sekarang?"
"Hah maksudnya...? Salah ya kak?"
"Ceritanya panjang dan sekarang udah malam, mungkin next time gue akan cerita. Intinya gue kembali buat kesembuhan gue."
"Kak Dylan sakit? Sakit apa?"
Cukup terkejut mendengar jawabannya, tapi Dylan hanya tersenyum dan melanjutkan makan malamnya. Malam itu Melody dibuat kebingungan mengenai alasan Dylan pulang, bahkan ketika Dylan mengantarkan dia pulang pun pemuda itu tidak memberi tahu mengenai penyakit apa yang sedang di deritanya.
Padahal sebelum ini Melody berjanji pada dirinya sendiri bahwa makan malam bersama dengan Dylan malam ini adalah yang pertama berikut yang terakhir. Tapi, mengapa dia ingin ada makan malam selanjutnya atau hari-hari bersama Dylan untuk mendengarkan ceritanya.
***
Lanjut?
Komen di sini untuk lanjut part berikutnyaa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top