Chapter Tiga Puluh Sembilan | Retrouvailles (•Bag 9)

Now Playing | Rendy Pandugo - Why?

Selamat Membaca Cerita MeloDylan

***

Bagian Tiga Puluh Sembilan | Retrouvailles bag 9

Nyatanya kita selalu mendapatkan orang yang lebih baik daripada mantan.

***

PERMAINAN pernah gak pernah yang baru saja usai. Pertanyaan yang diajukan Kate kepada Anna dijawab gelengan oleh Anna dan Kate hanya tertawa lalu permainan itu berlanjut.

Melody baru selesai video call dengan Louis, pemuda itu mengatakan hal-hal manis. Masih perhatian itu sejenak membuat perasaannya menghangat. Louis pun meminta maaf karena dia belum bisa menjadi pacar yang baik kemarin.

Mereka harus menyudahi video call itu karena Louis harus segera istirahat untuk final besok. Setidaknya saat ini tidak ada yang hilang meskipun hubungan mereka sudah usai.

Sejenak Melody ingin bersikap egois dengan menahan Louis tetap bersamanya tapi dia pun tidak ingin kembali bersama Louis dalam sebuah hubungan. Jahat? Memang, tapi dia membutuhkan Louis. Untuk saat ini, dia belum siap kehilangan Louis.

Tidak ada yang pernah siap untuk kehilangan apapun. Apalagi kehilangan orang yang disayangi.

Sebuah jaket menyentuh pundaknya, Melody melirik sekilas. Lalu orang yang menyampirkan jaket itu duduk di sampingnya, memberikan cokelat panas ditambah dengan marshmallow.

Melody menerima mug berisi cokelat panas itu dan berterima kasih kepada si pemberi.

"Ngapain?" tanyanya

"Duduk," jawab Melody

Saat ini, dia tengah duduk di balkon lantai 2, menatap ke arah luar dan menikmati udara dinginnya malam. Dia tidak bisa tidur.

"Gue juga tau," balas pemuda itu, "Kenapa gak tidur?"

"Gak ngantuk," respons Melody singkat, "Kak Dylan sendiri?"

Dylan mengangguk, "Sama."

Tak ada percakapan lagi di antara keduanya. Melody pun tidak tahu harus membicarakan apa dengan pemuda disampingnya itu. Siang besok, mereka akan kembali pulang. Urusannya dengan Dylan pun selesai, hanya sampai dengan reuni. Mereka dekat kemarin hanya karena duet itu.

Benar-benar selesai. Perasaannya terasa ringan, dia tak mengharapkan pemuda itu lagi. Dylan hanya orang yang pernah membuatnya bahagia meskipun sementara, meskipun begitu dia berterima kasih kepada Dylan karena pernah mencintainya. Tapi, ria tak akan mengatakannya.

Melody tau sifat Dylan, dia akan semakin besar kepala dan mengatakan kalimat-kalimat menyakitkan kepadanya. Sudah paham akan bagaimana reaksi dari pemuda itu.

"Gimana kesan reuni menurut lo?" Dylan kembali membuka percakapan mereka.

Tanpa menoleh ke arah Dylan, Melody tersenyum, "Menyenangkan."

"Gue minta maaf," ujar Dylan tulus.

Kali itu, Melody menoleh ke arah Dylan, "Minta maaf untuk?"

"Karena gue lo dan Louis berantem tadi. Gak sepenuhnya salah gue, kan ide perform itu dari lo juga." terangnya.

Perlahan senyum Melody tercetak di bibirnya, dia mengangguk kecil. Namun tak lama senyuman itu memudar, menampilkan wajah datarnya.

"Bukan salah lo kak, gak usah minta maaf." Melody mengatakan yang sejujurnya, ini bukan salahnya Dylan. Dia tidak ingin menyalahkan orang lain hanya agar dia tidak bersalah.

"Tapi--"

"Gue minta maaf karena pacar gue nonjok lo kak," potong Melody, dia kembali tersenyum, "dia kaya gitu karena dia gak bisa diem aja saat orang yang dia sayang melakukan skinship berlebihan dengan orang lain."

"Tapi tadi hanya sekadar penampilan," kata Dylan, "gak melibatkan perasaan apapun. Cowok lo mudah emosian emang?"

"Iya, sekadar penampilan, gak lebih dari itu." Melody setuju dengan pernyataan itu, baginya pun tak ada yang spesial hanya sebatas profesional diatas panggung aja.

Menampilkan yang terbaik dan menyesuaikan dengan tema yang diusung reuni yang mereka konsepkan.

"Enggak, Louis gak pernah kaya tadi sebelumnya. Dia cemburu karena kak Dylan mantan gue," jujur Melody, "cemburu tanda sayang, kan?"

"Meskipun cemburu, bukan berati dia boleh emosi dong? Di depan orang banyak, permaluin lo."

"Lupa ya? Kak Dylan juga dulu kaya gitu," kekeh Melody, dia tidak melupakan kejadian itu. Disaat Dylan dengan emosinya meluapkannya di kantin sekolah. Bahkan saat itu Dylan membentaknya di depan orang banyak.

"Tapi, dulu kan masih remaja, wajar," bela Dylan, "sama kaya lo yang selalu emosi kalau gue bahas Bella. Padahal lo tau kalau Bella hanya punya gue."

"Ya, wajar. Gue menyesali itu kak, tapi seenggaknya Louis bisa membandingkan prioritas teman dengan pacar."

Melody minum dengan perlahan cokelat itu, Dylan diam saja. Dulu dia tidak bisa mengubah prioritasnya dan terkadang dia tidak tahu peran Melody untuknya bagaimana. Dia selalu memerdulikan Bella, karena menurutnya Bella membutuhkannya meskipun Bella tidak pernah memintanya. Tapi yang dia inginkan adalah Melody mengerti keadaannya, dia tidak ingin Melody marah dan selalu mengertinya.

Dia egois dan menginginkan semua sesuai dengan rencananya. Dia selalu merasa bahwa dunia ini adalah miliknya dan takdir akan selalu baik untuknya.

"Bukannya kita harus dapat orang yang lebih baik dari mantan?" tanya Melody, namun pertanyaan itu lebih menyerupai pernyataan, "menurut gue Louis lebih baik daripada kak Dylan, begitupula menurut kak Dylan, Alice lebih baik daripada gue. Semua orang punya penilaiannya masing-masing, jadi jangan pernah nganggep bahwa kita lebih baik dari orang lain. Nyatanya, kak Dylan gak lebih baik daripada Louis di hidup gue."

Mendengar itu Dylan mengangguk dan diam. Dia tidak merespons perkataan Melody, dia pun setuju dengan pola pikir gadis itu. Biar bagaimanapun, kita akan selalu mendapatkan orang yang lebih baik dari orang yang sebelumnya pernah bersama.

Orang yang tepat akan datang diakhir cerita bukan?

"Alice mengerti gue, itu yang membuat dia lebih baik."

"Gue gak mau tau urusan pribadi kak Dylan."

"Oya?"

"Ya, kita gak ada alasan lagi untuk berkomunikasi," ujar Melody, "reuni telah selesai, jadi gak ada alasan lain, kan?"

"Ucapan lo udah semacam kode pengin terus berhubungan dengan gue aja," cibir Dylan

"Enggak juga, gue gak masalah kalau gak berhubungan sama kak Dylan lagi," ujarnya, "kak Dylan udah bukan orang yang penting buat hidup gue, peran kak Dylan tak lebih dari orang yang sekadar lewat saja."

"Oh, begitu, yaudah..."

Melody berdiri dari tempatnya, jaket yang semula berada di bahunya terjatuh ke kursi yang dia duduki sebelumnya.

"Selamat buat pertunangan kak Dylan dan Alice, semoga kalian bahagia. Satu langkah, lebih serius, gue yakin kak Dylan udah mikirin semua konsekuensinya, kan?"

"Lo dateng, kan?"

"Kehadiran gue di hari pertunangan kalian gak akan merubah apapun, gak akan berarti apapun. Jadi, entahlah, kalau gue ada waktu mungkin datang." Melody menjawabnya cukup ragu.

"Gue harap lo datang dengan Louis."

"Gue pertimbangin, selamat malam kak."

Setelah Melody meninggalkan Dylan, dia kini sendirian berada di balkon. Sejenak Dylan menoleh ke sampingnya, disana ada jaketnya yang tidak dibawa oleh Melody. Ada perasaan lain dari dalam dirinya. Dylan kembali mengambil jaket itu dan dipakainya lagi.

Perlahan, dia mengadahkan tatapannya ke arah langit yang semakin gelap. Kemudian tersenyum.

"Lo udah bahagia tanpa gue," ucapnya, "begitupula gue, bahagia tanpa lo."

Angin yang membelai wajahnya, membuat Dylan memejamkan matanya. Sebelum suara pecahan kaca yang berasa entah dari piring atau gelas membuyarkan lamunannya.

Apa yang terjadi?

Dia berusaha tak peduli, dengan tetap diam di tempatnya. Sebelum terdengar suara tamparan dan perempuan menangis.

Suara tangisan itu semakin dekat, sampai Dylan bisa memastikan bahwa perempuan itu berada di lantai yang sama dengannya.

Dylan menggelengkan kepalanya, itu bukan urusannya mengapa perempuan itu menangis. Kalau dia ikut campur urusan orang lain, akan repot dan dia tidak ingin repot karena urusan sepele.

"Lo tau kan, Lan?"

Segera pemuda itu menatap tajam ke arah orang yang mendatanginya. Penampilan orang itu begitu berantakan, air matanya masih mengalir. Bahkan bekas maskara menjadi luntur dan menyatu dengan air matanya.

"Lo kasih tau Angga masalah ini?" tanya Anna, masih dengan isak tangis yang sama.

"Maksud lo?"

"Tentang Liam."

"Ya, gue yang kasih tau dia."

"Brengsek! Lo gak tau masalahnya tapi lo ikut campur," maki Anna

"Gue gak kasih tau ceweknya itu lo, tapi gue mempermudah dengan mengatakan bahwa itu teman Kate, selain Melody."

"Kenapa? Kenapa lo mengecualikan Melody, lo masih tetep peduli dan supaya dia masih dicap baik?" selidik Anna, dia masih kesal.

"Dia denger percakapan lo dan Liam, jadi kenapa gue harus libatin dia? Dan gue pikir Melody gak sebodoh itu  ciuman dengan pacar temannya sendiri."

Anna terdiam di tempatnya, menatap dengan tajam ke arah Dylan.

"Kalau Angga tau, itu konsekuensi kesalahan lo. Terima aja, meski lo sepupu gue bukan berati gue membenarkan apa yang lo lakuin."

***

Terima Kasih Telah Membaca Cerita MeloDylan

Chapter selanjutnya berisi dengan tubir Anna dan Angga berikut Kate dan Liam :).

Padahal dari awal cluenya udah menjurus ke Anna

Tapi lucu baca-bacain teori dari kalian!!

Tenang cerita itu masih lama, sekitar 30 chapter lagi yang belum aku publish.

Vote 50k + Komen 30k

***

Jangan Lupa follow instagram

asriaci13

aliciamillyrodriguez_

melovedy_

dylanarkana_

***

With Love,

Aci istri sah dan satu-satunya Oh Sehun

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top