Chapter Tiga Puluh Delapan | Retrouvailles (•Bag 8)
NOW PLAYING | Naif - Jikalau
Selamat membaca cerita Melody dan Dylan
Bagian Tiga Puluh Delapan.
Selamat tinggal. Kisah kita kemarin telah usai, antara kamu dan aku telah selesai.
Tapi, akankah akan ada kisah baru kembali, kisah yang tidak pernah melibatkan akan masa lalu?
***
ALICE memperhatikan suasana kota New York dibalik kaca yang ada di apartemennya. Gadis itu menatap nanar ke arah luar. Kota yang selalu hidup dan tak pernah mati. Satu tangannya memegang gelas berisikan wine.
Ponselnya bergetar, sekilas dia meliriknya. Namun enggan untuk mengangkat telepon dari orang yang menghubunginya.
Dia lelah.
Bel intercom apartemennya berbunyi. Dia menyimpan gelas itu di atas meja, mengambil ponsel dan dimasukan ke tas tangannya.
Dia bisa melihat seorang pria berusia 30an menunggu di luar apartemennya. Salah satu asisten ayahnya. Alice segera membuka pintu apartemennya dan memberi salam hormat kepada pria itu.
"Nona, Tuan minta saya untuk menjemput nona."
Dia sudah tahu. Alice berjalan lebih dulu, Ayahnya mengadakan acara lelang yang dibungkus dengan acara amal. Ayahnya meminta Alice untuk menemaninya. Sejujurnya itu hanyalah acara mencari kolega bisnis baru atau melihat saingan yang berkedok acara amal. Dunia bisnis terkadang selucu itu.
Di loby apartemen ternyata sudah ada supir yang menunggunya. Dia segera naik ke mobil diikuti oleh asistennya itu.
"Tuan meminta Nona membaca ini." Asisten itu memberikan tablet yang berisi data-data keluarga yang akan datang di acara amal nanti.
Alice segera melihat nama-nama keluarga itu. Tampak serius, beberapa wajah dia mengenalinya. Tapi ada sebagian wajah baru.
"Tuan Reno dan Nyonya Elena juga akan hadir disana, apa Nona mau saya jadwalkan untuk makan malam bersama mereka?"
Alice menggeleng, dia tau kalau keluarga Dylan akan datang di acara amal ini. Elena mengabarinya, dia sudah bertemu sore tadi. Elena datang ke apartemennya, lagipula mereka akan segera pulang ke Indonesia keesokan harinya.
"Julian, jam tangan yang saya pesan gimana?"
"Besok akan diantar ke apartemen Nona. Apa Nona tak berlebihan memberikan kekasih Nona hadiah begitu banyak?"
Senyum Alice mengembang, "Apa itu penting Julian?"
Julian meminta maaf karena sudah lancang menanyakan hal itu kepada majikannya. Dia selalu mencarikan barang yang diminta oleh Alice. Gadis itu terlalu sering memberikan orang lain. Entah telah berapa pasang jam tangan, sepatu dan hadiah lainnya yang diberikan gadis itu untuk kekasihnya. Meskipun yang didapatkan Alice dari kekasihnya pun tak sedikit. Tetap saja, pemberian majikannya itu lebih banyak bahkan rasanya tak sebanding.
Sepertinya majikannya itu sedang membuat kekasihnya agar tidak meninggalkannya.
"Undangan yang saya minta?"
"Sudah saya urus Nona, Nona Leah memberikan undangan vvip untuk Nona dan teman Nona. Nona Leah juga meminta saya agar Nona Alice langsung menghubunginya."
"Baik, tolong kirimkan bunga kesukaan Leah, terimakasih Julian."
Tidak ada yang harus dikhawatirkan oleh Alice sekarang. Dia bisa mengatasinya sendiri. Alice memberikan kembali tablet itu kepada Julian, dia telah selesai melihat daftar tamu yang akan hadir di acara amal itu. Tentu saja ada beberapa daftar vip dan vvip.
Menyebalkannya, Alice akan bertemu lagi dengan orang itu.
Mobil yang ditumpangi oleh Alice berhenti di sebuah hotel mewah. Pintu mobil terbuka, Alice tersenyum dan memberi hormat dengan sopan.
Dengan gaun merah yang sedikit terbuka dipadukan dengan heels dan tas senada, dia berjalan dengan penuh percaya diri memasuki tempat itu.
Alice disambut oleh Ayahnya dengan senang.
"Reno dan Elena ada di kursi vip, Daddy rasa kamu harus menyapa mereka," bisik Ayahnya
"Vvip?"
"Vip."
"Why?"
"Vvip hanya untuk..."
Sebelum ayahnya menjawab Alice sudah paham, dia mengangguk. Alice segera menyapa orang tua dari kekasihnya itu dengan senyum cerah. Dia mengatakan akan segera pulang ke Indonesia, tiga hari kedepan.
Bosan dan jenuh, dia harus mencari udara segar. Lagipula saat ini agendanya masih saling memberi salam dan berkenalan. Memamerkan apa yang telah perusahaan mereka dapatkan, mencari sekutu untuk membuat pertahanan.
Alice membuka ponselnya, dia mendapati beberpa miscall dari kekasihnya, juga pesan text. Kekasihnya mengirimkan pesan yang memberitahunya bahwa dia merindukannya.
Tapi, Alice tidak membalasnya. Dia hanya membacanya saja. Namun hal yang tidak dia duga adalah, ketika dia masih berada di roomchat itu, kekasihnya mengirimkan pesan kembali.
Dylan❤️ : Kejutan!!!
Aku berhasil menemukan kontak Ibu kandungmu, love.
Aku memberitahunya tentang pertunangan kita dan mengundangnya juga.
Ini early present dari aku.
Kita harus bertemu Ibu kamu setelah kamu pulang ke Indo.
Semoga kamu senang.
Miss you, love.
Alice memejamkan matanya. Sebelum akhirnya jari-jarinya tergerak untuk membalas pesan itu.
Alice : Thanks love. Kamu gak perlu cari dia sayang, tapi karena udah telanjur aku hargai itu. Lagipula, aku gak tau daddy akan senang atau engga kalau Ibu datang ke acara kita. Hampir 15 tahun aku gak pernah ketemu Ibu, rasanya mungkin canggung. Tapi, kamu benar kita harus ketemu dia, biar bagaimanapun dia ibu kandungku dan harus tau akan hari bahagia kita.
Miss you too, love.
"Kita bertemu lagi."
Suara itu. Alice segera menoleh ke sumber suara. Dia menemukan orang yang tak ingin dia temui, pemuda yang mengganggunya beberapa hari terakhir ini.
"Permisi." Alice segera pergi meninggalkan pemuda itu, dia kembali ke acara itu. Duduk disamping ayahnya.
Setidaknya menjauh dari hal bodoh adalah pilihannya. Selalu saja dia bertemu orang menyebalkan disaat acara seperti ini.
***
Bella selesai membersihkan darah yang berasal dari hidung Dylan, ternyata sudut bibirnya pun terluka. Meskipun gadis itu mengomelinya, tapi tetap saja Dylan cuek. Dia tak peduli.
"Bel, udah selesai?" tanya Fathur yang menunggunya di ambang pintu.
Gadis itu mengangguk, dia merapihkan beberapa peralatan untuk mengobati luka ke kotak yang dia bawa.
"Kenapa gak pukul balik sih?" omel Bella
"Hanya memperburuk keadaan," jawabnya
"Baguslah seenggaknya otak lo masih waras," keluh Fathur, dia kesal tentu saja.
Penampilan tadi pasti ulah Dylan, dia yakin Melody tidak mungkin meminta hal tadi. Melody menyetujuinya agar tidak dianggap masih mengharapkan pemuda itu.
"Lan gue minta lo berhenti." Fathur kini melangkah masuk, mendekat ke arah Dylan, duduk disampingnya.
"Maksud lo?"
"Jangan buat Melody nurutin kemauan lo, kalian udah selesai. Antara lo dan dia gak ada yang perlu dibahas. Kalian udah punya pasangan masing-masing."
Pemuda itu tak bereaksi apapun, hanya memainkan ponselnya saja. Bahkan sepertinya, dia malas menjawab pertanyaan yang diucapkan oleh Fathur. Terlalu ikut campur dan ingin tahu.
"Lo ngerti kan, Lan? Udahlah setop bikin anak orang nangis."
Masih diam, tidak merespons. Emang dasarnya Dylan itu batu, susah dikasih tau.
"Lo bisu?" tuding Fathur, yang kini mendapat tatapan tajam dari Dylan.
Menyebalkan rasanya, ketika ada orang yang ikut campur dan tidak tahu apa-apa, kemudian mengomentari dan menggurui. Seolah-olah mereka ada orang paling suci dan merasa benar akan tindakannya.
"Masalahnya sama lo apa?"
"Lo pengin Melody move on dari lo, dia udah lakuin. Sekarang kenapa lo deketin dia lagi?"
"Deketin? Dia cerita ama lo? Pede banget," cibirnya disertai smirk ciri khasnya.
"Gak. Pendapat gue aja," balas Fathur
"Asumsi?" Dylan mengangguk-anggukan kepalanya.
Semua orang berhak berasumsi. Terserah apa katanya, dia pun tak peduli. Dia tidak bisa menutup mulut jutaan orang yang mencibirnya. Yang harus dilakukan oleh Dylan adalah berusaha tak peduli dan tak terganggu.
"Apa jangan-jangan lo yang belum move on, Lan?" tuduh Fathur, pemuda itu semakin menjadi.
"Emang gue keliatan kaya gitu?"
Pertanyaan Dylan terdengar mengitimidasi, tatapan matanya tajam. Memang, nada bicaranya terdengar biasa saja, santai. Tapi, Fathur merasa bahwa pemuda itu seperti tengah mengatakan hal yang tidak mungkin.
"Thur..." Bella menggeleng, dia meminta Fathur untuk tidak lagi membuat mood Dylan semakin buruk dengan menanyakan atau berkata hal-hal yang menyebalkan.
"Kamu bisa keluar sebentar gak? Ada yang mau omongin sama Dylan," pinta Bella dengan senyuman manisnya.
Awalnya Fathur ingin menolak dan meminta Bella untuk tidak terlalu dekat dengan Dylan lagi. Tapi, percuma dia tidak ingin mengekang Bella padahal dia sendiri masih sering memperdulikan Melody. Bella mengizinkannya untuk berteman kembali dengan Melody dan tidak akan terlalu ikut campur untuk urusan itu.
"Plis, ini penting," lanjut Bella, "kamu gak mau samperin Melody? Dia pasti kaget."
"Ada Louis," jawab Fathur, lalu meski berat dia melangkahkan kaki menuju keluar ruangan itu. Menutup pintu dan membiarkan Dylan berdua bersama dengan Bella di ruangan tertutup itu.
Bella menatap ke arah Dylan, lalu dia menghela napasnya perlahan-lahan.
"Kenapa ikut campur urusan orang sih?" tanya Bella
"Urusan orang gimana?"
"Urusan Melody sama pacarnya."
"Bukan urusan orang Bel, mereka berantem ngelibatin gue. Jadi begitulah."
"Iya, ngapain juga nampilin lagu yang kaya begitu. Meski Alice setuju, tapi dengan mantan? Lo gila ya Lan!"
"Lo kenapa sih posesif banget? Nanti cowok lo cemburu lagi."
"Gue serius, Dylan." Bella menggenggam tangan Dylan, meminta Dylan membalas tatapannya. Karena sedari tadi Dylan terus saja menatap ke arah lain.
"Jangan begini, kalau gue suka lagi sama lo gimana? Mau tanggung jawab?"
Segera Bella melepaskan genggaman tangannya dari tangan Dylan, mengalihkan tatapannya ke arah lain. Pembahasan itu sama sekali tidak lucu. Benar-benar Dylan merusak segalanya.
"Serius amat, gue bercanda kali."
"Lo bikin gue takut," ucap Bella
"Segitu gamaunya ya lo gue sukain?"
"Bukan gitu! Lo juga tau kalau perasaan gue..."
"Iya tau, gue bercanda. Jadi kenapa lo nyuruh cowok lo keluar? Mau ngomong apa?"
Bella menghela napasnya perlahan, dia kembali menatap Dylan dengan seksama. Ada yang perlu dia luruskan agar tidak semakin berantakan. Semuanya harus seperti semula.
"Perasaan lo sama Melody sebenernya gimana?"
Kerutan di dahi Dylan terlihat jelas, dia tidak menyangka akan mendapatkan pertanyaan terang-terangan seperti itu.
"Biasa aja, kami teman."
"Jangan terlalu deket sama dia, itu baik buat lo dan dia, juga pasangan kalian," lanjut Bella lagi, "lo jangan seolah kasih harapan sama dia, gue tau niat lo baik dengan menganggapnya temen. Tapi, perasaan orang gak ada yang tau Lan. Berhenti sebelum semuanya tambah rumit, gue gak mau hubungan lo sama Alice berantakan hanya karena lo bingung."
"Gue gak bingung dengan perasaan gue, gue tetep mencintai Alice dan Melody gak lebih dari sekadar orang yang pernah gue sukai sekaligus temen gue sekarang," jelasnya, "Lo tenang aja setelah reuni mungkin gue gak akan berhubungan lagi dengan Melody, jadi reuni ini kesempatan terakhir gue untuk memperbaiki segala hal yang salah di masa lalu. Gue gak mau melanjutkan hidup baru dengan Alice kalau masih belum meluruskan semuanya dengan Melody."
Bella ingin percaya hal itu, tentu saja. Dia takut jika pada akhirnya Dylan akan menyakiti orang yang bersamanya lagi. Ketika dulu bersama Melody pun, Bella tidak menyangka bahwa pemuda itu akan dengan mudahnya mengatakan kalimat perpisahan hanya karena dirinya saat itu.
Sepenuhnya Bella sadar, tapi dia tidak meminta Dylan untuk terus disampingnya ketika dia sakit. Kondisi dia saat itu drop, bahkan sampai tidak sadarkan diri berhari-hari. Orang tuanya yang menghubungi Dylan karena dia hanya memiliki satu orang teman yang dekat dan mengerti akan kondisinya. Tentu saja, Dylan akan meninggalkan segalanya hanya untuk datang dan menunggunya di rumah sakit.
"Kenapa lo pilih gue dibanding Melody, dulu?" tanya Bella tiba-tiba
"Gue gak milih siapapun," jawabnya.
"Ninggalin dia hanya untuk nemenin gue di rumah sakit?"
Dylan diam saja, dia tak menjawabnya.
"Lo pernah nyesel karena lebih milih gue saat itu? Ninggalin dia di malam ulang tahunnya hanya untuk gue?"
Kedua sudut bibir Dylan terangkat, lalu dia menggeleng pelan, "Kalaupun gue balik ke masa itu, gue akan tetep pilih ninggalin dia dan ke rumah sakit untuk lo."
"Kalau seandainya cewek lo saat itu Alice bukan Melody?"
"Sama, gue akan ninggalin dia buat lo."
"Gue lebih penting dari mereka?"
Bella hanya ingin tahu bagaimana perasaan Dylan sekarang, dia tidak mau jika karenanya dia harus kembali berpisah dengan orang yang disa sayang.
Satu tangan Dylan meraih tangan Bella, "Bukan siapa yang lebih penting," katanya pelan, "tapi tentang siapa prioritas gue. Apa yang harus gue utamakan saat itu. Gue jahat, ninggalin Melody di malam ulang tahunnya saat itu gak lama setelah nyokap lo telfon. Gue udah nawarin nganter dia balik, tapi dia gak mau. Pikiran gue kalut, malam itu keadaan lo turun drastis. Yang gue tau, gue harus pergi ke rumah sakit."
"Kenapa gak lo ajak dia ke rumah sakit? Mungkin aja hubungan kalian gak berakhir saat itu."
Dylan mengangguk, "Bisa aja, tapi dia cemburu sama lo. Dia gak suka disaat gue mementingkan lo atau bercerita tentang lo. Dia hanya mencintai gue, tapi enggak dengan dunia gue. Ya wajar, dia tau gue pernah suka sama lo. Tapi, sekarang Melody mengerti dia sudah lebih dewasa. Mungkin kalian bisa berteman sekarang."
Kini Bella paham akan situasinya. Dia tak perlu khawatir lagi Dylan ragu akan perasaannya. Jawaban yang diberikan pemuda itu cukup jelas, bahwa perasaan dia kepada Melody tak lebih dari seorang teman. Yang harus dia pastikan adalah, Dylan tidak melakukan kesalahan bodoh lagi.
"Lo sayang sama Alice?"
"Ya, dia yang gue cari selama ini."
"Gue seneng dengernya. Oh iya, perihal Fathur, Deva belum tau. Tolong rahasiakan sebentar ya?"
"Kenapa? Padahal ini kali pertama dia ditolak cewek, gue pengin tau gimana reaksinya."
"Deva masih suka sama Alice," terang Bella, "alasan gak gue kasih tau masalah Fathur, Deva gak suka Fathur karena gue banyak nangis. Dia nganggep gue sahabat, seperti lo."
"Deva masih suka Alice?" Dylan balik bertanya yang mendapat anggukan singkat dari Bella.
"Gue duluan, kasian Fathur nunggu."
Bella segera pergi meninggalkan Dylan, namun dia tak mendapatkan Fatuur disana. Dugaan Bella sekarang adalah Fathur pergi menemui Melody. Biar saja, terserah Fathur. Bella sudah tidak mau lagi mengaturnya. Peran Melody di hidup Fathur sama dengan peran Dylan dihidupnya. Diminta menjauh pun selalu ada alasan untuk kembali.
Ucqpan terakhir Bella benar-benar mengganggunya. Dia tidak menyangka bahwa Deva masih mencintai kekasihnya, padahal selama ini yang selalu Deva katakan adalah meminta Dylan untuk meninggalkan Alice sebelum Alice meninggalkannya. Deva selalu sensitif terhadap Alice.
Selama ini Dylan hanya menganggap bahwa respons Deva hanya bercandaan saja, dia biasa seperti itu.
Segera Dylan menelpon kekasihnya itu, entah mengapa perasaannya merasa tidak karuan setelah ini. Namun, Alice tidak mengangkat teleponnya. Mungkin dia sibuk, begitu pikirnya. Lalu, Dylan menuliskan sebuah pesan untuk kekasihnya itu.
Dia khawatir, tapi entah apa yang dikhawatirkannya. Ada perasaan tak tenang yang perlahan merasuki perasaannya.
Berpikiran positif saja, mungkin dia seperti itu karena terlalu merindukan kekasihnya itu.
Sejenak, dia memejamkan matanya, menyenderkan kepalanya ke pinggiran sofa. Sampai matanya kembali terbuka karena suara ponselnya, mungkin Alice membalas pesannya. Namun, yang dia terima bukan pesan dari Alice melainkan dari Melody.
Mantan kekasihnya itu bertanya perihal keadaannya. Bisa ditebak, Melody akan selalu melakukan seperti itu. Dia tidak bisa menahan untuk tidak bertanya.
Terkadang kepolosan Melody membuat dirinya terlihat lucu, meski terkadang membuatnya terlihat menyebalkan.
Dylan membalas pesan text yang dikirimkan oleh Melody, ketika mereka tengah balas membalas pesan, dia melihat status Alice pun tengah online saat itu. Segeralah Dylan mengirimkn pesan kepada Alice.
Pemuda itu telah menemukan keberadaan Ibu kandung Alice, tadinya ia ingin memberikn kejutan kepada Alice di hari pertunangan mereka. Tapi, sepertinya dia harus memberitahu Alice terlebih dahulu, agar gadis itu mempersiapkan segalanya sebelum bertemu dengan ibu kandungnya.
***
Terdengar ketukan pintu yang membuat Melody mengalihkan tatapan dari layar ponselnya. Dia selesai berbalas pesan dengan Dylan, kemudian dia berusaha menelepon Louis. Tapi, Louis tidak mengangkat telepon dari dirinya.
Mungkin Louis masih di jalan dan fokus menyetir.
"Mel..."
Melody segera membuka pintu kamarnya, dia mengurungkan niat untuk kembali lebih awal ke pesta reuni mereka. Dia harus membuat perasaannya tenang lebih dulu.
"Kak Fathur."
"Lo gapapa?"
Melody mengangguk kecil.
"Louis?"
"Dia putusin aku," jujur Melody, tidak ada alasan untuk berbohong kepada Fathur mengenai statusnya.
"Perasaan lo?"
"Sakit kak, tapi mungkin itu yang terbaik. Aku sayang dia, tentu saja, dia baik dan memberikan aku perhatian yang belum pernah aku dapatkan. Ketika aku mulai yakin dengan perasaanku, di memilih untuk berhenti. Tapi, itu pilihannya. Dia memberikan aku ruang untuk aku lebih mencintai diri aku sendiri, ternyata putus cinta tak semengerikan yang aku kira."
"Sini." Fathur menarik tangan Melody, membuat jarak mereka lebih dekat, sehingga Fathur dapat merengkuh tubuh mungil Melody dalam dekapannya.
Mengelus rambut gadis itu dan membisikan kalimat semangat. Perlahan Melody membalas pelukan Fathur itu, dia mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja.
Pelukan itu sedikit mengendur, sebelum akhirnya Fathur melepaskan pelukan itu.
"Tapi lo gak baper lagi sama Dylan, kan?"
Melody menggeleng, "Enggak, kali ini aku udah merasa biasa aja."
"Gue seneng dengernya," ujar Fathur
"Gue gak mau ngulang kesalahan yang sama."
"Katanya temen-temen yang lain pada mau main games pernah gak pernah, mau ikutan?" tawar Fathur
"Oke, ayo."
Sepenuhnya Melody sadar bahwa acara ini bukan hanya untuknya. Banyak orang yang terlibat, inti dari reuni ini adalah bernostalgia dengan teman-teman SMAnya, dan tentu saja harus bersenang-senang. Malam ini, dia harus menghabiskan waktu yang mungkin saja gak akan terulang dua kali.
Melody turun dari kamarnya bersama dengan Fathur. Fathur segera meninggalkan Melody ketika dia mendapati Bella yang sudah duduk disana bersama teman-temannya yang lain.
Fathur pun kini sudah memiliki kehidupan yang lain, Melody merasa kehilangan tapi dia bukn siapa-siap Fathur. Setidaknya dia bisa bahagia untuk sahabatnya itu.
Gadis itu segera duduk di antara teman-temannya. Jane menatapnya seolah khawatir, namun Melody menggeleng pelan mengatakan tidak apa-apa.
"Siapa yang ikut main." Raja pesta, Arsen segera mengajak teman-temannya melakukan hal yang seru.
Acara reuni untuk malam ini sudah selesai, mereka memiliki waktu bebas. Tapi, Arsen membuat acara dadakan dengan memainkan games pernah tidak pernah.
Kate langsung merespons, dia semangat mengikuti games. Segera mereka berdua melayangkan tos dengan semangat. Jane mengangguk dia juga mengikuti gamesnya, disusul oleh Melody, Bianca, Jasmine, Angga, Andre, Gery, Fathur, Barra, Bella.
"Na, ikut?" tawar Angga
"Oke.." putus Anna akhirnya, "Lo, Liam?"
Liam mengangguk kecil, dia memilih tempat berada jauh dari Kate. Sementara disisi kiri Kate ada Melody dan di kananya ada Barra. Dia mantan Kate, mereka terlihat senang membicarakan entah apa, terlihat dari raut wajah Kate yang menyunggingkan senyuman manis.
Dia baik-baik saja tanpanya, bahkan lebih baik.
"Oke, mulai." Arsen segera memutar botol itu, sampai kepala botol itu menunjuk ke arah Anna.
"Ah sial," maki Anna kesal, meskipun dia masih tetap tersenyum seperti biasa.
Kate segera mengacungkan tangannya. Memberikan sebuah pernyataan yang mungkin membahayakannya.
"Pernah gak pernah, lo ciuman dengan pacar dari temen lo?"
Pertanyaan Kate membuat teman-temannya menoleh, begitupula dengan Angga. Kerutan di dahinya sangat terlihat jelas, dia bingung. Kemudian Angga menoleh ke arah Anna. Anna hanya diam saja menatap ke arah Kate dengan raut wajah yang tak bisa dijelaskan, sebelum akhirnya dia tersenyum.
Tatapan Kate kepada Anna terlihat serius, sudut bibitnya menyunggingkan smirk kecil. Melody merasa ada aura dingin yang terjadi saat ini.
***
Ini update 3000 words, sengaja biar kalian seneng.
Terima Kasih sudah membaca cerita MeloDylan.
Banyak yang salah paham dari postingan aku kemarin. Yang mengatakan aku lebih suka Alice dibanding Melody. Lalu kenapa aku gak bikin AliceDylan aja?
Hahahaha... Aku tuh tipe yang lebih seneng pemeran kedua dibanding pertama. Aku suka sifatnya Alice. Bukan berati aku gak suka Melody. Tapi, biasanya pemeran utama itu selalu memiliki kekurangan yang menjadi daya tariknya.
Sama seperti aku nulis cerita Shea. Aku lebih suka Amara dibanding Shea. Aku tidak terlalu suka dengan karakter cewek seperti Shea.
Alasan aku suka/kurang suka dengan karakter pemain enggak akan mempengaruhi alur dari ceritanya.
Lalu kalau aku kurang suka kenapa aku buat karakter itu?
Kalau aku membuat karakter yang aku suka semua, ceritanya gak akan menarik. Jadi, aku harus munculin sifat-sifat orang yang aku kurang suka. Seperti orang yang munafik, baperan, egois, mudah menyepelekan orang lain, sok sempurna. Intinya dengan membuat sifat yang membuat aku kesal, cerita itu akan lebih menarik.
Karena setiap cerita gak diisi dengan hal-hal yang kita sukai aja. Ada kalanya yang kurang kita sukai lebih disukai oleh orang lain.
Aku suka tipe cewek yang girlcrush dibanding cutegirl gitu. Aku lebiu suka cewek yang punya pendirian daripada imut, manis dan cute. Semuanya tergantung selera guys:)
dan dimana-mana pemeran utama selalu memiliki permasalahan rumit dibandingkan dengan peran lainnya. Itu udah takdirnya mungkin.
Aku gak berusaha buat kalian suka sama Alice, tapi aku tunjukkin bagaimana karakter Alice untuk kepentingan cerita ini. Jadi, buat kasih alasan mengapa Dylan bisa suka sama Alice. Semua perlu alasan bukan? :)
***
Komen 30k + Vote 50k
***
Jangan lupa follow instagram
asriaci13
melovedy_
aliciamillyrodriguez
dylanarkanaa_
***
With Love,
Aci istri sah dan satu-satunya Oh Sehun
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top