Chapter Empat Puluh Tiga | Semuanya Telah Berakhir
Now Playing | Younha - Its a Rainy Day
Selamat Membaca Cerita MeloDylan
Menurut kalian apa yang berakhir?
Atau Siapa yang berakhir?
Melody dan Louis?
Dylan dan Alice?
Anna dan Angga?
Musical dan Jane?
Kate dan Lima?
Kalau mau tau, baca chapter ini yap wkwkwk
***
Bagian Empat Puluh Tiga | Semuanya Telah Berakhir
Aku masih mencintaimu, bahkan setelah hubungan kita berakhir pun aku masih tetap mencintaimu. Tapi, jika aku dapat memutar waktu ke hari itu, aku tetap memilih berpisah denganmu. Bukan karena kita beda, tapi perpisahan itu adalah yang terbaik untuk kita.
***
ALICE memperhatikan beberapa foto di mejanya, perlahan satu tangannya mengambil salah satu foto itu, menyentuhnya dengan perlahan sebelum senyumnya tercetak di bibirnya. Namun, itu bukanlah senyuman bahagia melainkan senyuman kesedihan. Dia tidak tahu kalau sudah sampai sejauh ini.
Bukankah semuanya hanyalah kesalahan?
Lalu kenapa dia yang harus menerimanya?
Suara bel apartemennya berbunyi. Alice segera membereskan foto-foto itu dan disimpannya kembali ke dalam amplop cokelat. Dia menyembunyikan amplop itu di ruangan yang hanya dapat diakses olehnya sendiri.
Alice melihat sosok pemuda dengan coat berwarna cokelat berdiri di depan apartemennya, satu tangannya memeluk buket bunga tulip berwarna merah. Bukannya langsung membuka pintu apartemennya, Alice justru lebih memilih menatap pemuda itu yang selalu membuat jantungnya berdebar-debar, perasaannya menghangat. Lalu dia membuka pintu apartemennya.
"Kok lama?" tanyanya, dia membuat coatnya dan digantung di gantungan mantel yang ada disana.
Alih-alih menjawab, Alice malah memeluk pemuda itu dengan sangat erat. Mendengarkan debaran jantung pemuda itu, irama yang sangat disukainya.
"Ada apa?"
"Bentar." Alice tetap memeluk pemuda itu dan pemuda itu membiarkan Alice untuk terus memeluknya.
Perlahan tangannya menyentuh surai hitam milik gadisnya itu, sangat lembut dan wangi. Pelukan itu mengendur dan kini Alice menatap kekasihnya itu.
Diluar dugaan, kedua tangan pemuda itu langsung menyentuh pipi Alice.
"Lengket," ujarnya, "habis nangis?"
Alice melepaskan pelukannya, dia berjalan lebih dulu, duduk di sofa diikuti oleh Dylan. Lelaki itu sudah hapal akan gelagat Alice ketika ada hal yang mengganggu kekasihnya. Alice akan selalu memeluknya tanpa alasan.
"Kamu tau artinya bunga tulip merah?" tanya Alice, buket bunga yang dibawa oleh Dylan sebelumnya kini sudah berpindah tangan ke tangannya.
Dylan mengangguk ringan, "Tulip merah melambangkan cinta yang sangat dalam."
Jelas. Alice tahu itu, kekasihnya akan memberikan bunga yang memiliki artian begitu mendalam. Tidak hanya asal beri karena orang lain memberikannya juga. Bahkan Alice belum pernah mendapatkan bunga mawar dari kekasihnya itu.
"Mau aku kasih tau satu hal rahasiaku?" tawar Alice
Satu alis Dylan terangkat, dia bingung akan tawaran barusan. Meskipun kali ini kepalanya mengangguk. Dia ingin tahu bahkan sekecil apapun jika itu tentang kekasihnya dia ingin tahu.
"Selesai makan ya," ujar Alice, "aku barusan pesen makanan online."
"Oke."
Alice meninggalkan Dylan yang masih duduk di sofa, kini pemuda itu tengah menonton televisi, sementara dirinya sibuk menata bunga tulip yang dibawa Dylan di vas. Hidungnya mencium bau wangi yang dikeluarkan oleh bunga tersebut.
"Aku pikir cowok seperti kmu gak terlalu tau urusan bunga."
Dylan menoleh, tapi kini fokusnya kembali ke layar televisi.
"Emang aku cowok seperti apa?"
"Yagitu."
"Dulu enggak," jawab Dylan
"Terus?"
"Semenjak pacaran sama Melody, dulu. Aku jadi cari tau soal bunga," jujur Dylan, dia merasa tak ada yang harus ditutupi dari Alice, gadis itu berhak tau akan jawaban sebenarnya.
Dylan tidak pandai menyenangkan hati kekasihnya itu dengan kebohongan.
Mendengar pernyataan jujur Dylan, Alice tidak menjawab. Bukan karena marah, dia menunggu lanjutan kalimat yang akan dikatakan oleh Dylan selanjutnya.
"Kamu marah?" tanya Dylan hati-hati
Alice menggeleng ringan, kemudian dia tersenyum, "Buat apa? Itu, kan, masa lalu kamu," jawabnya singkat, setelah merapihkan bunga tadi, Alice kembali duduk di samping Dylan. Menyenderkan kepalanya di bahu pemuda itu, memainkan satu tangan Dylan yang kokoh.
Disamping Dylan dia merasa seperti anak kecil, padahal untuk ukuran anak seusianya Alice bukan termasuk kalangan kurang tinggi. Tinggi badannya, ideal untuk anak seusianya.
"Kamu berhak atas masa lalu kamu, begitupula aku," terang Alice, "aku bakalan marah kalau masa lalu kamu bikin kamu bingung akan masa depan kamu." Alice menatap ke arah Dylan, tanpa dia duga ternyata Dylan juga tengah menatap ke arahnya, "Lan, dulu kamu sayang dia, jadi wajar kamu ngelakuin hal yang dia sukai. Aku enggak marah, karena saat ini kamu sama aku, itu udah cukup buat aku."
Jangan ditanya perasaan Dylan bagaimana saat ini, dia benar-benar menyayangi gadis yang sedang berada dalam dekapannya itu. Tak mau melepaskan sedetik pun, dia merasa menjadi orang yang paling beruntung karena memiliki Alice di hidupnya.
Gadis yang cerdas dan tidak selalu mengandalkannya. Alice bukan orang yang akan bergantung kepada orang lain, dia akan melakukan semuanya sendiri ketika dia bisa melakukannya. Namun, gadis itu tak segan-segan akan membantu orang lain yang terlihat kesusahan.
"Tapi kamu gak pernah cemburu sama aku," ujar Dylan
"Kamu aja gak sadar," cibir Alice, "Aku pernah cemburu kok sama Melody, saat aku liat video itu. Karena kamu gak pernah cerita akan masa lalu kamu, lalu bagaimana kalian memiliki selera makan yang sama, kamu begitu perhatian sama dia saat Deva menggodanya. Aku cemburu Dylan, tapi aku bisa ngendaliin emosi aku untuk enggak marah sama kamu. Aku lebih memilih pergi dan kita menenangkan diri, setelah itu aku ngomong lagi sama kamu."
Dylan mencium bibir Alice sekilas, itu bukan ciuman melainkan kecupan singkat yang dia curi dari gadisnya itu. Mendengar penjelasannya, Dylan merasa tenang.
"Kamu gak cemburu sama Bella? Kalau aku prioritasin Bella kadang-kadang dibanding kamu."
"Enggak, karena aku ngerti arti Bella di hidup kamu. Aku sempet kaget sih waktu tau kamu pernah suka sama dia, tapi wajar aja karena kamu sama dia tumbuh dari kecil sama-sama. Maka dari itu aku berusaha untuk mengenal Bella, agar aku bisa paham akan alasan kamu lebih prioritasin dia dibanding aku saat dia sakit. Buktinya sekarang aku bisa berteman baik sama dia dan Bella lebih sering minta tolong aku daripada kamu."
Entah mengapa saat ini yang ada di kepala Dylan adalah membandingkan Alice dengan Melody. Dia benar-benar tak tahu diri. Dua orang itu berbeda dan tak seharusnya Dylan membandingkannya. Lagipula hubungannya yang sekarang tidak lagi ada hubungannya dengan Melody. Seharusnya Dylan tak lagi menyangkutpautkan hubungannya dengan Melody.
Pesanan makanan mereka telah tiba, Alice langsung mengajak Dylan untuk makan bersamanya. Karena setelah ini dia akan memberitahu suatu rahasia terbesar dari hidupnya.
Sudah seharusnya Dylan tahu akan hal ini.
***
Suka-Suka (4)
Anna : Ada yang mau gue omongin sama kalian.
Anna : Kalian ada waktu?
Jane : Yuk, sekalian nongki dah lama kan kita gak nongki bareng. Sibuk-sibuk sih wkwk
Aku lagi jalan sama Louis, kalau nanti malem gimana?
Jane : Mantan apaan coba yang masih jalan bareng.
Kate : Gue juga masih jalan sama Liam
Jane : Lo baikan?
Kate : Entah
Jane : Entah apa yang merasukimuu~~~
Kate : Biduan, najeesss
Anna : Yaudah entar malem aja.
Kate : Dimana?
Anna : Terserah
Kate : Lo yang ngajak, gajelas banget
Jane : Sensi banget Mbak Kate ini
Kate : Bacot
Jane : Jingin sinsi-sinsi ding mbikkit
Kate : Gajelas
Kafe biasa?
Anna : Yang lebih private kalau bisa.
Anna : Rumah gue?
Gue sih oke aja, yang lain?
Jane : Rumah lo ama rumah gue lawan arah bambang
Kate : Punya pacar manfaatin, atau pacar org manfaatin wkwk
Jane : Babi kau
Kate : Gue sih oke aja, punya supir pribadi kok.
Jane : Liam maksud lo?
Jane : Ketek jemput gue dong.
Kate : Ogah
Gue aja yang jemput Jane
Jane : Adik ipar pengertian
Anna : Jam 7 ya di rumah gue.
Oke
Kate : Perlu ajak Liam gak?
Jane : Suruh Liam nunggu di luar, waktunya girlstime wkwk
Anna : Terserah lo Kate.
Melody menutup applikasi chating itu. Dia sudah bisa memprediksi apa yang akan Anna katakan nanti. Bagaimana nasib persahabatannya sekarang? Itu adalah hal yang dia khawatirkan sekarang.
"Mel, Keira ikut makan sama kita gapapa?"
"Hah?"
Saat ini dia sedang makan bersama dengan Louis di salah satu mal di kotanya, selagi menunggu film dimulai mereka menyempatkan untuk makan lebih dulu. Dia ingin menolak dan melarang Keira, tapi terlambat karena kini gadis itu sudah ada di depannya. Menyapanya dengan manis.
"Gapapa, kan, gue join?" tanyanya
Gimana Melody mau melarangnya, sekarang orangnya sudah duduk di kursi. Mengusirnya pun percuma.
"Gapapa," jawab Melody sekenanya.
"Lagian lo juga sama Louis udah putus, jadi gue enggak ngerasa ganggu." Keira tersenyum, lalu dia sibuk mengajak ngobrol Louis. Louis membalasnya dan terkadang mereka tertawa bersama.
Melody seperti orang asing disini, dia tak mengerti akan obrolan Keira dan Louis. Keduanya terlihat menikmati obrolannya. Sebelum akhirnya Louis menatap ke arahnya sambil tersenyum.
Entahlah apa arti dari senyuman itu. Terkadang Melody tak mengerti. Pikiran negatifnya beranggapan bahwa Louis tengah menertawakannya karena merasa asing di tempat ini, tapi pikiran positifnya mengatakan bahwa Louis tersenyum karena menghargainya. Tetap saja, kalau sedang dalam keadaan seperti ini, pikiran negatif selalu menang.
"Mel udah selesai makannya?" tanya Louis
Melody mengangguk, "Iya."
"Kei, gue sama Melody duluan ya. Lo gapapa, kan?"
Keira tersenyum, "Gapapa, temen gue nanti datang. Nanti malem gue telepon Lou."
"Oke. Nanti gue kabarin kalau udah di rumah."
Louis segera menarik tangan Melody dan membawanya ke bioskop di lantai paling atas mal ini. Tetapi Melody hanya diam saja, tak banyak bicara bahkan cenderung pasif. Beberapa kali Louis mengajaknya mengobrol pun, Melody hanya menjawab seperlunya.
Dia terlihat tidak fokus sama sekali.
Pikiran Melody memang sedang tak ada disana, dia memikirkan banyak hal. Dia menentang perasaannya yang merasa tak rela Louis bersama dengan Keira, tapi dia tak punya hak untuk itu. Saat ini, Melody tengah menepis sikap egoisnya. Dia tak ingin Louis merasa terbebani.
"Kamu cocok sama Keira."
Sialan. Kenapa harus kalimat itu yang keluar dari bibirnya. Ketahuan, Louis pasti peka kalau dia menjadi pendiam karena Keira tadi.
"Lalu kalau cocok? Aku harus pacaran sama dia?" Louis balik bertanya.
Melody menaikkan bahunya tanda tak tahu, dia enggan berkomentar lagi. "Aku mau popcorn caramel, kamu?" gadis itu mengalihkan pembicaraan mereka.
"Terserah kamu aja." Louis memilih untuk tidak memperpanjang pembicaraannya tentang Keira.
Dia mengenal Keira, gadis yang baik, ceria dan pengertian. Saat dia masih berpacaran dengan Melody pun, Keira berusaha dekat dengan Melody namun Melody cenderung menjaga jarak dan merasa tak nyaman dengan Keira.
Mungkin dulu Louis beranggapan bahwa Melody merasa tak nyaman karena Keira terlihat menyukainya. Tapi, semakin Louis mengenal Melody, gadis itu memang tak begitu menyukai bergaul atau mengenal orang-orang di sekitarnya. Melody merasa asing dilingkungan baru.
Gadis itu tidak pandai beradaptasi. Bukan. Bukan tidak pandai, melainkan gadis itu enggan beradaptasi dengan lingkungan yang baru terlalu nyaman akan dunianya sendiri.
Satu hal yang Louis bisa ambil kesimpulannya adalah. Pemikiran Melody adalah, ketika dia berpacaran dengan seseorang, dia hanya peduli dengan orang itu tidak dengan orang-orang disekitarnya.
Benar, keputusannya untuk putus kemarin sudah benar. Dia menyukai Melody dan mencintainya, bahkan Louis berusaha mengerti dan masuk ke dalam dunia Melody. Mengenal teman-temannya yang bahkan begitu asing untuknya. Tapi, Melody tak pernah melakukan itu untuknya. Meskipun terakhir kali, dia berusaha untuk masuk ke dalam lingkungannya, Louis tau pasti ada sesuatu yang tak beres dengan Melody dan benar saja perubahan itu disebabkan oleh mantan pacarnya itu. Dylan.
Louis memperhatikan Melody yang duduk di sampingnya. Gadis itu tertawa dan menangis saat menonton film, sesuai dengan keadaan dalam film. Dirinya sendiri tidak menikmati film tersebut, justru dia malah menikmati memperhatikan mantan pacarnya itu.
Cup
Louis mencuri ciuman singkat di pipi Melody, tindakannya barusan membuat Melody langsung menoleh dan meminta penjelasan dari Louis.
"Maaf..." bisik Louis, "Gak seharusnya ya."
"Kita udah berakhir, gue pun tau itu," imbuh Louis
"Ya, benar, kita berakhir." Kini Louis tersenyum, meskipun terlihat dipaksakan.
"Maksud kamu?"
"Sttttt.."
Keduanya mendapat teguran dari orang-orang disekitarnya, lalu Melody bangkit berdiri mengajak Louis untuk membicarakan hal itu di luar bioskop. Sebelumnya, Louis menolak dan meminta mereka menyelesaikan film mereka lebih dulu, tapi Melody tetap melangkahkan kakinya menuju luar. Mau tak mau Louis pun ikut mengejar Melody.
"Ada apa Lou?" tanya Melody
"Gak ada apa-apa," jawab Louis, "Kamu kenapa?"
"Maksud kamu apa kalau kita udah berakhir?"
"Bukannya emang udah berakhir, Mel," jelas Louis, meskipun suaranya pelan tapi Melody dapat mendengarnya dengan jelas, "Itu kenyataannya, kan?"
Tak percaya dengan apa yang didengarnya. Kedua mata Melody begitu panas dan bahkan mungkin saja dia akan meneteskan air mata di depan Louis. Dia pun tau kalau hubungannya telah berakhir, tapi tidak perlu diperjelas seperti itu.
Melody mengangguk, "Iya, maaf, akunya aja baperan."
"Aku sayang kamu, kamu pun tau itu," ungkap Louis, "tapi aku rasa kita gak bisa sama-sama. Bukan karena kepercayaan kita beda, meskipun sama kita memang harus berpisah."
"Mel." Satu tangan Louis meraih tangan Melody, "Ketika kamu memutuskan untuk mencintai seseorang, cintai semua hal tentang dirinya, lingkungannya, keluarganya dan teman-temannya bukan hanya orang itu saja. Hanya mencintai orangnya saja gak cukup, itu yang kamu harus tau."
Melody tak dapat berbicara lagi sekarang, dia di hancurkan oleh kenyataan yang ada di depannya. Pada akhirnya dia yang akan selalu disalahkan, dia yang selalu dianggap tak mengerti. Lagipula apa salahnya jika dia hanya mencintai orangnya saja.
"Oh begitu, oke, maaf Lou." Melody berusaha tersenyum, "Aku pulang duluan ya."
"Aku anter kamu pulang."
"Gak usah, aku butuh waktu sendiri."
"Kamu bisa pulang sendiri?"
"Lou, kalau kamu gini terus kapan aku bisa terbiasa tanpa kamu?"
"Hati-hati, kabarin kalau ada apa-apa."
Setelah itu Melody langsung meninggalkan Louis, dia berjalan ke luar mal, cuaca tengah hujan deras. Tak terasa air matanya mengalir begitu saja, dengan cepat dia langsung mengusap air matanya.
"Jangan cengeng, jangan nangis, masih diluar rumah, malu," hiburnya pada dirinya sendiri.
Dia menelepon Fathur, namun Fathur mengtakan bahwa dia sedang bersama dengan Bella. Melody tak enak kalau meminta Fathur datang untuk menjemputnya, David pun tak diangkat. Entah kemana orang itu. Dia bisa saja naik taxi online, tapi
malam ini dia butuh orang untuk mengobrol di perjalanan.
Terpaksa, dia harus naik taxi online. Tak lupa dia mengabari Jane, kalau dia tidak bisa menjemput Jane. Jane tak masalah, dia sudah berangkat ke rumah Anna dengan Musical.
Abangnya itu meskipun sibuk terkadang selalu bisa diandalkan disaat dibutuhkan. Kalau abangnya tau, dia menangis di mal sendirian, Melody yakin dia akan menjemputnya.
"Jangan nyusahin, Abang lagi sama Jane, mereka butuh quality time."
Kalimat-kalimat positif dia terus lontar kan untuk dirinya sendiri. Hujan semakin deras, Melody kembali masuk ke dalam mal, dia membeli donat untuk teman-temannya. Setelah itu, Melody kembali keluar mal, susah sekali mendapatkan taxi online disaat hujan deras, dia hanya menunggu dan terus menunggu, sampai kakinya ikut basah terkena air.
Dia lupa mengenakan jaket, selalu saja ceroboh.
"Mel..."
Mendengar namanya dipanggil, Melody langsung menoleh, jaket pemuda itu kini berpindah ke tubuhnya.
"Lo ngapain disini sendirian?" tanyanya
"Ah... aku, aku nunggu taxi online."
"Oh."
"Tapi di cancel terus," ujar Melody, "Kak Dylan ngapain?"
Dylan menperlihatkan paperbag salah satu restoran, "Mama mau makan ini, tadi gue pikir bukan lo makanya gue susulin ke luar."
"Hujan," kata Melody
"Kata siapa panas," ketus Dylan
"Basah."
"Ya masa hujan kering," cibir Dylan
"Mau balik? Gue anterin ayo."
Melody tersenyum, "Dulu, waktu pertemuan pertama kita aku minta nebeng pas ujan kak Dylan gak mau. Kak Dylan udah banyak berubah ya, terus kita selalu ketemu disaat seperti ini terus."
"Dulu gue gak kenal lo." Dylan menarik tangan Melody, "Ayo."
Melody tak berbicara sedikitpun begitupula degan Dylan. Jangan harap pemuda itu akan membuka suara lebih dulu. Tapi, Melody sangat berterima kasih karena Dylan ada malam ini.
Dia ingin bercerita, tapi bukan dengan Dylan.
"Kak, anterin aku ke rumah Anna ya."
Dylan mengangguk.
"Makasih."
Lagi-lagi Dylan mengangguk.
"Aku putus sama Louis, dia yang mutusin," jujur Melody, "dari saat reuni pun kita udah putus."
Dylan melirik sekilas ke arah Melody, "Oh, bagus."
"Aku lagi yang salah, aku lagi yang egois, aku yang gak bisa jaga orang yang sayang sama aku."
"Bukan salah lo," kata Dylan, "Louis bukan cowok yang tepat untuk lo."
"Maksud kak Dylan?"
"Kalau dia cowok yang tepat kalian gak akan putus."
Ya. Benar juga sih. Melody sedikit tersenyum setelah mendengar ucapan Dylan barusan, pemuda itu tetap perhatian sesuai dengan gayanya. Tsundere banget. Tapi, entahlah, dia baik-baik saja sekarang meskipun Dylan mengatakan kalimat-kalimat menyakitkan.
Mereka telah sampai di halaman rumah Anna.
"Makasih kak." Melody berniat membuka pintu mobil Dylan, namun Dylan menahannya.
"Kenapa kak?" tanya Melody
"Buka blockiran WA, ya?" pintanya
"Aku udah gak blockir WA kak Dylan kok," jawabnya
"Tapi Display Picturenya masih kosong," ujar Dylan
"Aku emang gak pasang foto."
"Lagi ada masalah?"
"Hahahahaha...." Melody tertawa, "Enggak, bukan. Lagi gak ada foto bagus aja."
"Padahal sama aja ya? Muka lo ga beda mau foto gimana juga."
"Hahaha, udah, aku duluan ya kak."
"Mau dijemput?" tawar Dylan
Melody melotot, kaget mendengar tawaran Dylan barusan.
"Eh lupa, gak ada waktu."
"Ih ngeselin. Udah, kan?"
Dylan mengangguk, dia kali ini membiarkan Melody turun dari mobilnya. Cerita Alice tadi siang masih mengganggunya. Kenyataan yang membuatnya terkejut, itu adalah hal yang membuat Dylan sulit berpikir jernih. Kali ini fokusnya benar-benar terbagi. Dia bingung harus bersikap dan melakukan apa setelah mengetahui kenyataannya.
Ternyata di kamar Anna, Jane dan Kate sudah sampai lebih dulu dan Melody menjadi orang terakhir yang datang. Dia memberikan donat yang dia beli untuk teman-temannya itu.
Jane langsung mencomot donat itu, "Dari Lou?" tanyanya
"Gue belu sendiri," jawab Melody
Anna memperhatikan teman-temannya satu persatu, sebelum dia menghela napasnya secara perlahan.
"Gue putus sama Angga," ungkapnya
"WHAT?!" Donat yang masih ada dimulut Jane, terlempar begitu saja.
"Jorok banget lo anjir." Meskipun begitu, Kate tetap memberikan air minum untuk Jane.
"Kaget gue babi," balas Jane
"Kenapa?" tanya Melody
"Kenyataan lain yang harus kalian tau adalah, gue pernah ciuman sama Liam dan ada affair sama dia."
***
Terima Kasih Sudah Membaca Cerita MeloDylan
Btw, kalian pernah gak sih berada di posisi kaya Melody. Yang susah banget deket sama orang-orang yang ada disekitar pacar kita. Kaya canggung aja gitu, terus terkadang ngerasa asing dan beda aja apa yang dibahas jadi jatohnya kaya sombong dan gak mau deket, jaga jarak. Sebenernya gak niat kaya gitu, cuman bingung aja harus mulainya gimana, takut disangka SKSD terus malah dinyinyirin. Mikirin kaya gitu karena pernah digosipin yang gak baik di masa lalu.
Terus menurut kalian rahasia apa yang Alice kasih tau sama Dylan sampe dia kaget gitu?
Aku dulu gak suka tiktok, bahkan buka videonya aja enggak, tau videonya aja enggak. Palingan yang hitz di instagram aja. Terus waktu itu, Putri Suruh instal, terus aku instal, eh malah keasikan liat video-videonya hahaha. Meski belum ke tahap bikin video sih wkwk. Ada yang sama kaya aku? Cuman karena diracunin temen?
***
Jangan lupa follow instagram :
asriaci13
aliciamillyrodriguez
melovedy_
dylanarkanaa_
***
with love,
aci istri sah dan satu-satunya Oh Sehun
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top