Chapter Dua Belas | Tanpa Sengaja
Update : Sabtu, 24 Agustus 2019
Jangan lupa follow instagram supaya tak ketinggalan update :
asriaci13
***
NOW PLAYING | Astrid - Aku Bisa Apa
BAGIAN DUA BELAS | Tanpa Sengaja
Tanpa sengaja kamu membuka luka lama itu lagi. Aku tidak mengerti, apa maksud dari semua ini? Kamu kembali, dan kini ada dia di sini seolah semesta bersikap jahat padaku. Kehadiran kamu dan dia seperti niat untuk pamer, bahwa kini tak ada lagi ruang meski selama apapun aku menunggu.
***
TATAPAN mata Dylan kini lurus menatap ke arah Melody yang duduk di depannya. Entahlah, Melody merasa tatapan Dylan itu seperti tengah menilainya, sia risi, tentu saja. Dylan seperti tengah menelanjanginya diam-diam, mempermalukannya hanya dengan tatapasan saja.
Gadis itu bodoh! Mengapa dirinya setuju saja latihan bernyanyi di rumah Dylan, cowok yang membuat dia merasa bahwa takdir itu akan berpihak kepada dia.
Melody kini sadar, bahwa dia masih lemah. Lemah akan semua tentang Dylan, dia merasa usahanya kini sia-sia. Usaha untuk melupakan dan mengikhlaskan orang dengan semua kenangannya.
Mengapa Dylan tidak pernah memberikan Melody celah agar Melody mampu melepas dan melupakan Dylan dengan rasa ikhlas?
Namun, beberapa detik kemudian dua sudut bibir Dylan melengkungkan senyum tipis.
"Suara lo bagus, gue gak tau lo suka nyanyi," ujar Dylan, jujur.
"Ah... ya... aku suka nyanyi dari dulu, cuman baru sekarang lebih serius dan lebih fokus."
Dylan mengangguk dua kali saat itu, sepertinya dia paham. Jelas, dia tidak bodoh seperti Melody. Lalu kini Dylan berpindah, duduk di samping Melody, menyandarkan kepalanya di pinggiran sofa, kemudian dia memejamkan matanya.
"Kenapa lo masih berharap akan gue, Mel?" tanya Dylan dengan suara datar.
Dari beribu pertanyaan yang ada di dunia ini, mengapa Dylan menanyakan hal itu. Pertanyaan yang Melody sendiri tidak tahu akan jawabannya. Debaran jantung Melody berpacu dengan sangat cepat, pelipisnya mengeluarkan keringat dingin. Jangan katakan Melody lebay, karena nyatanya dia bingung harus mengatakan apa, dia gelisah dan mulai memainkan kuku-kukunyanya, tatapan matanya berlarian kesana kemari. Sebelum akhirnya, Dylan membuka matanya dan tersenyum ke arah Melody.
"Kenapa?" tanyanya lagi.
"Aku menolak menjawab," ujar Melody dengn tatapan mata mengarah ke arah lain, enggan menatap Dylan.
"Ya, lo punya hak untuk nggak jawab."
"Kenapa kak Dylan bersikap dingin sama aku saat awal kita ketemu?"
Akhirnya, Melody punya keberanian untuk bertanya akan hal itu. Biasanya dia akan lebih menghindar dan membiarkannya begitu saja, tak peduli masalah itu berlarut-larut, karena yang ada dipikirannya adalah masalah akan selesai dengan sendirinya.
"Entah, pengin aja," jawabnya simpel.
Gadis itu tidak mendapatkan jawaban yang dia inginkan. Itu bukan alasan, melainkan jawaban yang mengambang, ada banyak kemungkinan yang mungkin menjadi alasan Dylan bersikap seperti itu. Sepertinya, Dylan tidak ingin memberitahunya.
"Mel...," panggil Dylan dengan suara pelan, namun Melody bisa dengan jelas mendengarnya, dia menoleh dan menatap Dylan dengan seksama.
"Gimana kabar lo?" tanyanya
"Hmmm kabar baik, tapi kadang aku berpikir yang dimaksud baik itu gimana? Hanya sehat fisik kah, atau bukan."
Dylan menghela napasnya perlahan, dia kembali menatap langit-langit kamarnya. Banyak hal yang harusnya dibicarakan dengan gadis di sampingnya itu, tapi untuk sekarang diam saja sudah cukup, waktu mereka masih panjang dan dia pikir tidak harus semuanya sekarang. Perlahan.
"Kak Dylan bahagia?"
Karena pertanyaan itu, Dylan mengalihkan tatapannya kembali ke arah Melody dan mengangguk kecil.
"Ya, gue bahagia. Alice sumber kebahagiaan gue," jawabnya tanpa ragu, "Lo?"
Melody balas mengangguk, "Aku juga bahagia, mendapatkan Louis, dia sangat baik dan mengerti aku."
"Pada akhirnya kita tetap akan menemukan seseorang yang lebih baik ya kak," ucap Melody diselingi dengan senyuman, manis.
"Ya, begitulah seharusnya kehidupan berjalan. Mendapatkn seseorang yang lebih baik dari masa lalu."
Mereka tidak saling berbicara setelah itu, namun akhirnya Dylan lah yang meredakan egonya, Dia mengajak Melody untuk latihan dan menyeimbangkan suara mereka. Berkali-kali mereka tidak seimbang, entah Dylan yang nadanya ketinggian dan Melody yang terlalu rendah. Mereka saling menyalahkan satu sama lain. Tanpa sengaja Dylan tertawa, itu adalah hal yang paling tidak pernah terlihat dari sosok Dylan yang dingin.
Tawa Dylan mungkin hanya akan ditemui satu kali dalam satu tahun, dan itu tidak banyak. Dylan adalah orang yang kurang bersyukur karena selalu menampilkan wajah menyebalkan seperti itu, tanpa senyum dan hanya tatapan tajam.
"Coba kak Dylan turunin nadanya, aku gak bisa seimbangin," pinta Melody
"Lo aja yang naikkin sih, repot amat," omel Dylan
"Suara aku udah segini, mau di naikkin berapa lagi?" Melody jadi kesal sendiri oleh sikap Dylan yang seperti itu.
"Oh ternyata bukan tinggi lo doang yang rendah tapi suara lo juga ya."
"Ternyata bukan suara aja yang tinggi tapi ego sama kerasa kepala kak Dylan juga tinggi."
"Pokoknya gue gak mau tau suara lo harus bisa nyeimbangin gue!"
"Dih, harusnya cowok yang ngikut kemauan cewek!"
"Emang lo cewek gue?"
Jleb. Pertanyaan Dylan barusan membuat Melody terdiam, Melody akan selalu kalah adu mulut dengan Dylan. Entah dulu ataupun sekarang, dia tetap tidak bisa menyeimbangkan dirinya saat berjalan dengan Dylan. Selalu saja ada rasa tidak pantas saat Melody berharap bahwa semuanya kembali ke semula, Dylan terlalu tinggi untuk di gapai sedangkan Melody hanya ada di bawah dan mungkin saja Dylan tidak melihatnya karena banyak orang yang ada di bawah.
"Aku emang bukan cewek kak Dylan tapi aku juga seorang cewek."
Dylan mengeluarkan coklat dari saku jaketnya, lalu di berikannya kepada Melody.
"Buat lo." Dylan memberikan coklat yang ada di saku jaketnya itu untuk Melody.
"Hah?" Melody tidak mengerti dengan sikap Dylan yang mudah berubah.
"Reaksi lo dulu sama sekarang masih sama aja." Dylan hanya mengatakan itu lalu dia kembali dengan lirik-liriknya, dan menyanyikan bagiannya dengan sempurna.
Melody tersenyum, Dylan masih mengingatnya. Coklat pertama yang Dylan beri sebagai tanda permintan maaf, tapi setelah itu coklatnya di buang kembali oleh Dylan. Cowok yang benar-benar ajaib menurut Melody.
Melody menatap Dylan dengan seksama, seandainya dia bisa seperti ini terus menatap Dylan dan menikmati senyum Dylan setiap hari pasti dia akan merasa bahagia.
"Kak Dylan suka musik?" tanya Melody
Dylan menaikkan tatapannya, mereka bertatapan kembali. Entah sudah berapa kali mereka bertatapan sekarang, rasanya terlalu sering dan itu membuat rasa baru dan luka lama hadir di perasaan Melody.
"Enggak."
"Kenapa? Tapi kak Dylan serius banget sekarang?"
"Gue gak suka ngecewain orang yang udah naruh ekspetasi tinggi sama gue."
"Tapi kak Dylan kecewain aku," ucap Melody, meskipun suaranya hampir menyerupai embusan.
"Ternyata kamu lagi sibuk ya sayang, aku hubungin kamu berkali-kali gak kamu jawab."
Suara itu membuat Melody dan Dylan mengalihkan tatapannya ke arah pintu, di sana sudah ada Alice dan Deva. Kedua tangan Alice di lipat di dadanya, menatap ke arah Dylan dengan tatapan sedih.
Tanpa sengaja, Melody telah menyakiti perasaan Alice.
Dylan bangkit berdiri dan menghampiri Alice, "Aku cuma latihan sama dia, kamu kan tau aku harus nyanyi bareng sama dia di reuni nanti," ujar Dylan, dia mengatakan yang sebenarnya.
"Aku tau Lan. Boleh kita ngobrol sebentar?" pinta Alice dengan suara lembut, "ada hal penting yang harus kita bicarakan."
Dylan menoleh ke arah Melody sebentar, gadis itu mengangguk setuju. Alice tersenyum ramah ke arah Melody.
"Dipinjam dulu teman duetnya sebentar ya," ucapnya dengan kekehan kecil.
Entahlah. Saat itu Melody merasa ucapan Alice seperti tengah menyindirnya, seolah ingin memperingatkan Melody bahwa dia harus diam di tempatnya dan tak ada ruang lagi untuk Melody di hati Dylan.
Dasar gadis sombong. Melody pernah ada di tempat itu, meski hanya sementara.
"Buka pintu kamar gue, selagi sama Deva,"
Masih sempat saja Dylan memberikan luka lagi kepada Melody, perhatian seperti itu membuat Melody seakan penting bagi Dylan, namun Melody tak lebih dari sekedar masa lalu Dylan sekarang.
Dylan pergi meninggalkan kamarnya untuk berbicara serius dengan Alice.
Deva masuk ke dalam kamar Dylan, lalu dia menatap ke arah Melody, tatapan yang membuat Melody takut, begitu menyeramkan apalagi setelah insiden Melody memberi Deva nomor tukang sedot WC itu.
"Ada yang mau lo jelaskan sama gue?" tanya Deva
"Gak ada," jawab Melody
"Tentang nomor tukang sedot wc dan lo gak ada kelas kuliah," sindir Deva
"Gue minta maaf tentang hal itu."
"Lo melukai harga diri gue, baru kali ini ada cewek yang memperlakukan gue seperti ini."
"Lalu, kak Deva akan menyerah dan gak menganggu lagi kan?"
Deva tersenyum menyeringai, seringai yang lebih seram daripada Dylan. Melody benar-benar takut jika Deva melakukan hal yang tidak menyenangkan kepadanya. Berdoa saja semoga Dylan cepat kembali, dan membuat Deva tidak akan mendekatinya lagi.
"Dylan bilang kalau lo cewek yang membosankan," ujar Deva
"Memang," jawab Melody
"Kenapa lo hanya bersikap lembut di depan Dylan, Fathur? Lalu di depan gue lo seperti ini?"
"Emangnya kak Deva siapa gue?"
"Harus jadi siapa-siapa dulu biar gue di perlakuin lembut?" Deva menaikkan sebelah alisnya, dan itu membuat Melody menggeleng.
Melody menyadari bahwa dia salah berbicara seperti yang dia lakukan kepada Dylan dulu. Namun rasanya berbeda saat bersama Dylan dan Deva, entah saat bersama Dylan Melody menjadi tidak bisa bicara dan menuruti semua apa yang di katakan Dylan, namun bersama Deva rasanya Melody tidak ingin berbicara terlalu lama dengan Deva itu membuatnya tidak nyaman.
"Apasih sebenarnya daya tarik lo?" Deva mengerutkan dahinya, "Sampai lo bisa menarik perhatian dua orang sekaligus, bahkan membuat Bella ada di pilihan kedua?"
Melody mencoba mengabaikannya, berusaha tak terganggu dengan perkataan Deva. Mengapa selalu saja dibanding-bandingkan dengan Bella. Bella tak pernah menjadi pilihan kedua untuk Dylan, sampai detik ini Bella masih prioritas utama cowok itu. Putusnya hubungan mereka dulu, hanya karena hal itu. Masalah sepele yang berakhir dengan panjang, kesalahahaman karena mereka masih remaja.
Meskipun sedikitnya sekarang Melody cukup sadar mengapa Dylan melakukan hal seperti itu kepada Bella, Bella membutuhkan seseorang yang selalu siap ada di sampingnya. Hierarki prioritas Dylan adalah sahabat dulu baru pacar. Bagus sih, hanya saja terkadang hal itu membuat Melody yang pernah berstatus sebagai pacarnya merasa kadang tak dianggap.
"Lo gak tau apa yang terjadi di masa lalu, jangan sok tau. Lo gak pernah terlibat disana," sinis Melody
Sebagian dari mereka hanya tau cerita dari orang lain dan terkadang hal itu membuatnya menjadi orang sok tau, sehingga bisa mengklaim seseorang salah atau tidak hanya dengan cerita saja.
Menyebalkan.
"Hebat ya udah di sakitin aja lo masih bela Dylan, itu hati beli di matrial mana? Kuat amat ya?" cibir Deva
Melody mengabaikan Deva untuk kesekian kalinya, lalu dia mengeluarkan earphonenya dan memaskan ke telinganya.
***
"Ada apa?" tanya Dylan saat keduanya sudah duduk di kursi balkon, tempat favorite Alice di rumah Dylan. Katanya disana dia merasakan hal ternyaman di hidupnya.
Alice menghela napasnya sebentar, sebelum dia menatap kekasihnya itu, tatapan Dylan masih sama tetap lembut tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda.
"Aku gak pernah tau kamu suka menyanyi," ujar Alice diselingi senyum manisnya, "Aku gak pernah tau kalau kamu pernah menyukai Bella," lanjut Alice, "Aku juga gak pernah tau kalau hubungan kamu dan teman-temanmu seperti itu."
"Inti dari pembicaraan ini apa?" potong Dylan, dia merasa Alice bertele-tele dan dia yakin sepenuhnya, bahwa yang akan dikatakan oleh Alice bukan itu. Itu bukan karakter Alice sama sekali.
"Aku salah ya cemburu?" Alice menundukkan kepalanya dalam-dalam, "gadis itu lebih tau tentang kamu daripada aku."
"Aku gak pernah suka menyanyi, setidaknya sekarang. Masalah aku menyukai Bella di masa lalu, itu sudah berakhir dan aku pikir itu hanya karena kami sering bersama. Lalu, untuk teman-teman, menurutku wajar kalau mereka menginginkan kisah sesuai kemauan mereka. Itu haknya, kan, sayang?"
Anggukan manis Alice membuat Dylan tersenyum lega.
"Ah, ya... seperti itu, kamu selalu bisa menjelaskannya dan membuat aku mengerti."
"Kamu adalah orang pertama yang aku masakin, bukannya itu spesial?"
"Setidaknya aku pernah menjadi orang pertama di hidupmu."
"Lalu, apa yang ingin kamu bicarakan, aku yakin bukan hal yang tadi inti pembicaraannya," ujar Dylan
"Daddy minta aku balik ke Amerika, kamu tau benar kan kalau Daddy merestui hubungan kita karena keluargamu kaya? Karena kita berada di satu level yang sama? Ah, aku kadang gak ngerti, sifat matrealistisnya itu cukup berlebihan." Alice sudah memulai inti pembicaraan mereka, alasan dia datang ke rumah Dylan dan menculik Dylan saat dia tengah berlatih menyanyi dengan mantannya itu.
Sebelum Dylan menjawab, dia menatap lekat-lekat ke aeah Alice. Tak ada kebohongan disana, dia tau bagaimana keluarga Alice. Ayahnya Aice adalah orang yang berpikir sangat realistis, beliau tidak ingin anak yang sudah ia besarkan dengan susah pauah nanti hidup menderita.
"Lalu?"
"Ya... aku bilang, aku akan kesana, gapapa, kan?"
"Kapan?" tanya Dylan
"Saat kamu pergi reuni, aku pulang. Daddy bilang gak lama, hanya untuk ikut menghadiri pembukaan hotel kolega Daddy."
"Oke..."
Satu hal yang membuat Dylan senang akan Alice, gadis itu selalu memberitahu apapun yang akan dia kerjakan kepadanya tanpa perlu bertanya. Tapi, saat ini entahlah Dylan merasa aneh, dia ragu melepas kepulangan Alice ke Amerika sendirian. Banyak hal yang dia takutkan sebenarnya, tapi jika dia memberitahu Alice, gadis itu pasti tidak akan jadi berangkat dan memilih menetap di Indonesia.
"Lan... aku ada permintaan satu hal sama kamu," ucap Alice
"Apa?"
"Bersenang-senanglah di reuni, selesaiin apa yang belum selesai di masa lalu. Tapi setelah reuni itu selesai, aku berharap masalah kamu udah selesai dan kita bisa meneruskan semuanya seperti sebelumnya."
"Oke."
"Ah, sebaiknya aku pulang sekarang, kamu masih lama latihan?" tanya Alice
"Hmmm, aku antar kamu pulang," putus Dylan, pemuda itu langsung berdiri dari tempatnya dan mengajak kekasihnya untuk pulang.
Setidaknya untuk saat ini, prioritas utama pemuda itu adalah Alice. Dirinya berusaha melakukan yang terbaik agar menjadi pacar yang sempurna.
Tanpa dia sadar, dirinya telah meninggalkan Melody berduaan dengan Deva. Setiap orang terkadang seperti itu, meninggalkan seseorang demi orang yang lain.
Itu seperti sudah hukum alam.
***
TERIMA KASIH TELAH MEMBACA CERITA MeloDylan
Bagiamana komentar kalian untuk chapter ini?
Bagiamana perasaan kalian di chapter ini?
Terasa menyenangkan, melihat dirimu bahagia
hidup bersamanya, ku doakan untuk selamanya
walaupun hatiku tak mampu untuk memiliki hatimu
jika kau bahagia aku bisa apa.
[Astrid - Aku Bisa Apa]
***
With Love,
Aci istri sah dan satu-satunya Oh Sehun
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top