Bagian Tujuh Puluh | Sebuah Pemberitahuan
Now Playing | Lauv - Changes
Selamat hari Senin
Harusnya update sabtu
Sorry lagi fokus ngerjain naskahnya.
Jangan lupa untuk vote yaaa
Jangan lupa komentar di setiap paragraf dan baca sampai akhir karena ada pertanyaan dibawah yang harus kalian jawab!
***
Selamat membaca cerita MeloDylan
Bagian Tujuh Puluh
Bagaimana aku bisa bertaruh untuk sebuah perasaan yang belum tau bagaimana ujungnya. Bermain-main dengan perasaan dan bisa saja aku yang terjbak dalam permainan itu sendiri.
***
Sudah beberapa hari terakhir ini Melody menjadi lebih sering menghabiskan waktunya bersama Alice, meskipun ada beberapa hal dari gadis itu yang menurut Melody berlebihan.
Seperti, Alicia sangat maniak dalam kebersihan. Dia tidak bisa melihat barang kotor atau berantakan sedikit saja, jadi ketika Melody pergi ke apartemennya ada saja yang dia lakukan.
Bahkan apa yang dia makan pun diperhatikan, jika seperti ini Melody seakan melihat Dylan dari versi cewek. Pantas saja mereka bisa menjalin hubungan dengan sangat lama.
Dan cocok.
"Mel gue perlu bantuan lo," ujar Alice
"Masa lo orang yang bisa ngelakuin apa aja minta bantuan gue," jawab Melody
"Gue bukan Tuhan yang bisa ngelakuin apa aja."
"Hmm... minta bantuan apa? Asal jangan minta duit aja, gue masih belum kerja dan masih minta orang tua."
"Bisa lo temani Dylan selama gue pergi nanti?"
Melody yang tengah minum langsung tersedak saat mendengar permintaan Alice barusan, pasalnya permintaan itu cukup aneh dan sedikit mencurigakan.
"Maksud lo?"
"Lo paham maksud gue kan?"
"Enggak. Banyak hal Alice, gak semua maksud lo gue paham, jelasin dulu."
"Gue gak bisa ada di samping Dylan dan gue mau titipin dia sama lo."
"Kak Dylan bukan bayi yang harus dititipin Lice. Dia udah gede, udah tau mana yang terbaik dan yang enggak buat hidupnya. Lagian kalau gue yang nemenin dia, malah gue yang merepotkan dia." Jelas Melody.
"Lo gak setuju?"
"Mmm ya, gak setuju."
Melody melihat raut wajah Alice sedih, tapi dia jangan goyah. Sifat tidakenakan kepada orang lain semakin menggebu-gebu, tapi Melody takut jika dia membantu Alice akan menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.
Akan banyak kemungkinan yang terjadi.
Bisa saja dia bawa perasaan lagi dan untuk menghindari hal itu, sebaiknya Melody menjaga jarak agar tetap aman dan batasan tertentu.
Meskipun bisa saja rasa cinta itu tidak akan datang kembali, tapi untuk berjaga-jaga tidak ada yang salah, kan?
"Kalau gue kasih beberapa penawaran, gimana?"
"Lice...gue tetap gak setuju."
"Kalau lo setuju dan seandainya lo suka lagi sama Dylan, gue akan lepasin Dylan untuk lo."
Semakin terkejut dengan penuturan Alice barusan, tapi Melody tak habis pikir dengan cara berpikirnya Alice. Bagaimana gadis itu dengan sangat mudah merelakan orang yang dia sayang.
Bahkan Melody dulu pun merasa menyesal karena mengambil keputusan disaat sedang emosi, maka dari itu dia berusaha memperbaiki sikapnya. Meskipun pada akhirnya dia tetap ditinggalkan. Hanya saja yang terpenting dia sudah berusaha lebih baik.
Lagipula perihal perasaan tidak bisa sesederhana itu tidak bisa dibuat bercandaan.
"No. Tetep enggak, kesannya lo manfaatin gue."
"Lo merasa gitu?" Alice balas bertanya, "anggaplah begitu, jadi lo tinggal manfaatin gue balik kan?"
"Alice gue tuh mau temenan sama lo, gak ada manfaatin orang seperti ini. Kalau permintaan lo yang lain gak melibatkan kak Dylan mungkin gue bsia bantu, Alice urusan perasaan gak bisa dibuat main-main."
"Gue gak main-main Mel," tegas Alice, "gue serius."
"Kalau seandainya gue yang jatuh sendirian dan kak Dylan enggak, itu akan membuat perasaan gue sakit, kan? Rugi di gue."
"Kalau seperti itu gue gak akan kembali sama Dylan."
"Alice apa masalahnya? Lo tau kan gimana sayangnya kak Dylan sama lo? Jangan dibuat ribet dong, gue udah fine loh kalian berdua. Gue gak ada perasaan lagi, tapi kalau lo nyuruh gue nemenin kak Dylan itu bukan sesuatu hal yang baik, biar bagaimana pun gue dan kak Dylan pernah bersama dan pernah saling sayang. Lo juga akan terluka."
Alice menghela napasnya, lalu dia menjelaskan bahwa permasalahan yang sebenarnya terjadi. Dari Mama Dylan yang berselingkuh dan meminta Alice pergi di hari pertunangan mereka, dia menceritakan setiap detail permasalahan antara dirinya dengan Dylan. Hinggal orang tua Dylan yang memilih untuk bercerai tanpa menunggu hasil tes DNA itu.
"Jadi kenapa harus gue?" tanya Melody, "gue bakalan support kak Dylan kok, kan temen."
"Mel, lo tau kan Dylan itu dibesarkan oleh keluarga yang sayang sama dia? Segala hal dia bisa dapatin dengan mudah?"
Melody mengangguk pelan, "Tapi enggak selamanya hidup dia enak, kalau sekarang hidup gak sesuai kemauan dia harus dia terima dong."
"Lo tau kan gimana berantakannya dia saat gue pergi di hari pertunangan itu? Lo bisa bayangin gak saat orang tuanya bercerai dan gue gak ada buat dia di hari itu?"
"Lice... gue peduli, sungguh. Gue peduli sama kak Dylan, tapi kalau begini gue gak bisa..."
"Kenapa?"
"Masih ada kak Bella atau siapapun itu, enggak harus gue."
"Kenapa lo gak mau? Takut baper lagi? Gue udah kasih penawaran."
"Perasaan bukan buat bercandaan, lo kenapa gak bisa ada di samping kak Dylan? Sepenting apa itu?"
"Gue udah jelasin kan, kalau gue harus mengurus project besar keluarga gue. Gue gak bisa melakukan keduanya dan gue memilih bokap gue, keluarga gue. Tapi, gue gak mau Dylan menderita. Gue sayang dia." Penjelasan Alice membuat pendirian Melody sedikit goyah.
Melody menjadi tak tega jika Alice memohon seperti ini padanya, bahkan dia menceritakan duduk permasalahannya. Cukup make sense penjelasannya mengapa dia pergi dan alasan mengapa Dylan tidak melepaskan Alice padahal dia sudah meninggalkannya.
Selain memang Dylan benar mencintai Alice, permasalahan kemarin juga bukan disebabkan oleh Alice secara keseluruhan. Tapi, untuk terlibat lagi, Melody ragu.
Padahal dia ingin terlepas dari segala apapun hal yang melibatkan Dylan, tapi ternyata semesta tidak berpihak padanya. Selalu ada cara dan jalan untuk mereka kembali berhubungan. Meskipun bisa saja Melody menolaknya seperti sekarang.
"Jelasin sama Kak Dylan mungkin dia ngerti."
"Gue akan jelasin, tapi gue tetep butuu lo buat nemenin dia."
"Gue bukan pelarian atau pelampiasan kak Dylan doang Lice, dijadiin pilihan itu bukan hal yang menyenangkan. Lo gak akan pernah ngerti karena lo selalu menjadi pusatnya."
"No, gue pastiin lo gak akan dijadiin pelampiasan."
"Caranya?"
"Gue gak akan kembali kalau lo mencintai Dylan, gue akan relain dia buat lo."
"Kalau seandainya hanya gue yang kembali memiliki perasaan, gimana?"
"Gue gak akan kembali juga."
"Then..."
"Gue akan kembali kalau lo dan Dylan tidak memiliki perasaan apapun setelah itu, adil? Gue akan kembali kalau lo mengatakan lo gak memiliki perasaan sama sekali. Jadi semua ini tergantung lo."
Bagaimana ini, Melody seolah menjadi penentu dari hubungan orang lain padahal dia tidak merasa seperti itu. Menjadi pemeran utama yang memainkan takdir setiap orang.
Bisa saja Melody bersikap jahat dengan mengatakan bahwa dia memiliki perasaan kembali pada Dylan meskipun pada kenyataannya tidak, hanya agar Dylan menderita. Tapi, Melody bukan orang yang seperti itu.
"Kalau seandainya hanya kak Dylan yang suka?"
"Terserah lo. Lo mau gue kembali atau pergi."
"Hanya sesimpel itu? Perasaan lo sama kak Dylan gak sedalam itu ya?"
"Gue sayang dia, sangat. Tapi rasa sayang itu gak sebanding dengan rasa sayang gue ke Daddy. Melody, jika pada akhirnya gue kehilangan Dylan gue enggak masalah untuk itu, dan kalau kebahagiaan Dylan pada akhirnya berakhir di lo gue turut bahagia."
"Apa jaminan kalau lo gak akan kembali?" tanya Melody
"Perjanjian diatas materai," kata Alice
"Alice gue gak masalah kalau lo kembali, kak Dylan masih bisa jadi milik lo. Lo gak perlu pikirin perasaan gue," ujar Melody
"No, lo udah berkorban dan lo berhak untuk itu."
"Tapi, kalau kak Dylan tau dia akan benci gue... mungkin..."
"Dylan harus tau, perjanjiannya melinatkan lo, gue dan Dylan. Lebih baik?"
"Jadi lo akan jujur sama kak Dylan?"
"Hmm... ya, lebih baik diberitahu kenyataannya bukan?"
"Kalau dia gak setuju?"
"Paksa sampai dia setuju."
"Sesuatu hal yang dipaksakan gak baik," ujar Melody
"Lo setuju?"
"Umm... ya, oke."
"Tapi Melody, lo harus jujur oke? Ketika lo suka lo bilang suka, jangan mementingkan perasaan orang lain, oke?"
"Uhh... ya, gue usahakan. Gue boleh minta sesuatu hal lagi?"
"Ya, apa itu?"
"Kalau seandainya kak Dylan yang hanya jatuh lagi, bisa gak lo gak usah datang lagi? Jadi lo kembali kalau perasaan gue dan kak Dylan gak berubah, bisa kan?
"Oke."
Meskipun permintaan Melody cukup egois. Tapi, dia tidak akan membiarkan jika Alice datang dan pergi sesukanya memainkan perasaan mereka. Ketika Alice memiliki kendali atas hidup Dylan, maka dari itu Melody harus memiliki kendali atas hidup Alice.
Bukannya Alice mengajarkan Melody seperti itu?
Melody tidak mengerti mengapa Alice bisa tidak egois dan berlapang dada atas permasalahan ini. Tapi kini Melody mengerti, dia paham sebuah arti prioritas. Dan Dylan bukan prioritas utama untuk gadis itu.
Entah mengapa Melody merasa sedikit senang mengetahui faktanya, dimana pemuda menyebalkan itu tidak selalu mendapatkan keinginannya.
"Oh iya Alice, Sagara orangnya gimana? Dia bukan om-om mesum dan aneh kan?"
"Bukan. Kenapa?"
"Siapa tau aja."
"Jadi, kapan lo bakalan jalan bareng dia?"
"Mmm besok, katanya mau jemput di kampus. Oh iya Alice, kak Dylan juga ada kirim pesan sama gue buat hati-hati sama Sagara."
"Tapi Melody kalau lo gak mau sama Sagara gapapa ya?"
"Enggak kok, gue mau-mau aja. Tenang aja, lo gak maksa gue lagian cuman temenan gak ada yang salah."
"Lo harus inget, ketika lo jatuh cinta sama Dylan lagi. Lo yang harus punya kendali di hubungan itu."
"Enggak Alice, gue gak akan seperti itu. Karena nanti yang dia cintai bukan gue, gue akan tetap jadi diri gue sendiri. Buktinya dulu aja gue bisa buat dia jatuh cinta, kan? Mungkin gue akan sedikit berubah dengn enggak selalu mengiyakan permintaan dia."
"Umm... sound good..."
***
Awalnya Melody pikir ketika Sagara mengatakan akan menjemputnya di kampus, pemuda itu secara normal menunggunya di parkiran. Tapi, ternyata tidak. Bagaimana siang itu Melody mendapati Sagara berdiri sambil bersandar ke mobilnya di depan pintu gedung fakultas dia. Menjadi tontonan banyak orang.
Gayanya yang fancy, membuat pemuda itu menjadi sorotan. Bisa dipastikan ketika kaca mata hitam bertengger di hidung mancungnya dan rambutnya yang berwarna coklat itu.
Tapi, yang memalukan adalah ketika pemuda itu memanggilnya setengah berteriak. Alhasil, Melody menjadi sorotan juga saat itu.
Tak jauh beda dengan tatapan yang ia dapatkan saat di sekolah dulu ketika bersama dengan Dylan.
Pemuda itu mentraktir Melody banyak hal, dari beberapa cup es krim, cake kesukaan Melody dan permen kapas. Semua hal yang Melody ucapkan, diwujudkannya.
Hanya saja dia merasa tidak enak. Seolah dia memanfaatkan pemuda itu, padahal bukan seperti itu maksudnya.
"Sagara..." panggilnya
"Ya?"
"Jangan terlalu baik sama gue, takutnya gue gak bisa balas apa yang lo kasih."
"Hmm... bukannya harus selalu berbuat baik pada sesama?"
"Duduk dulu yuk?" Ajak Melody dan Sagara hanya menuruti permintaan gadis itu.
"Kenapa? Laper? Atau mau beli sesuatu?"
"Enggak, pegel kalau ngobrol sama lo. Lo ketinggian."
"Bukan gue yang tinggi, lo yang pendek."
"Gapapa lucu."
"Siapa?"
"Gue."
"Iya lo emang lucu kok."
"Gue gak enak, jadi lain kali kalau kita jalan lagi gue yang traktir ya? Tapi jangan mahal-mahal, boleh gak?"
"Mahal tuh segimana? Mahalnya gue sama mahalnya lo beda loh, kaya murahnya gue sama murahnya lo."
"Gue masakin aja gimana?"
"Bisa masak?"
"Bisa indomi."
"Yaaah..."
"Bisa kok, bikin makanan manis doang tapi."
"Jangan manis-manis, lo udah manis, gak takut diabetes?"
"Gue orang Sagara, bukan manis. Kalau manis kaya nama kucing."
"Tapi lo manis kok sama lucu..."
"Makasih tapi lo gak manis dan gak lucu," ujar Melody
"Jadi gue gimana?" tanya Sagara
"Lo banyak duitnya dan mobilnya bagus juga ganteng."
"Baik?"
"Baik kok kan udah jajanin gue."
"Lo seneng hari ini?"
"Seneng."
"Karena jalan sama gue?"
"Enggak, karena makan es krim hehe..."
***
Mendapati Dylan berada di rumahnya Melody mengerutkan dahinya bingung, pasalnya mereka tidak memiliki janji apapun untuk bertemu hari itu. Kelihatan dari raut wajahnya Dylan sepertinya marah dan emosi.
"Kita ada janjian kah?" tanya Melody hati-hati.
Entah mengapa dia ingin mengutuk dirinya sendiri, ketika berhadapan dengan Dylan. Aura dominan Dylan sangat kuat, terkadang membuat Melody takut dan tak berani membantah apa yang dikatakan oleh Dylan.
"Punya handphone gunanya untuk apa?"
"Oh... kak Dylan chat?"
Dylan berdecak kesal, bahkan ketika Melody mengecek ponselnya gadis itu masih berekspresi biasa saja.
"Maaf aku gak tau," ujarnya
"Lo habis darimana sama si Sagara itu?"
"Gak ada urusannya sama kak Dylan," ketus Melody, "jadi ada apa?"
"Kenapa lo setuju buat ngegantiin peran Alice saat dia pergi nanti?"
"Alice udah ngejelasin masalahnya kan?" Melody balas bertanya
"Ya project, kenapa dia libatin lo dan lo kenapa setuju-setuju aja? Gak bisa move on lo dari gue?"
Sepertinya Alice tidak menjelaskan secara keseluruhan, apalagi mengenai perceraian orang tua Dylan. Kasihan sekali, dia tidak tahu apa-apa dan marah-marah seperti ini. Kaya orang bodoh.
"Kak, jangan kepedean dong."
"Loh emang iya? Baru kemarin lo bilang jangan ikut campur urusan lo dan sekarang lo ikut campur urusan gue."
Aduh, memang mulut Dylan sialan.
"Coba bilang kalau lo udah gak suka gue!"
"Aku gak suka sama kak Dylan! Udah. Puas?"
"Terus kenapa lo setuju?"
"Aku hanya setuju bantu Alice bukan untuk kak Dylan."
"Kalau begitu kenapa lo mau aja dengan panawarannya, lo masih berharap sama gue kan?"
"Gak kak! Ngeselin banget sih, kakak kali yang masih berharap sama aku."
"Dih enggak."
"Yaudah kenapa kakak repot banget sih, kalau kak Dylan sebegitu yakinnya gak akan jatuh lagi sama aku harusnya tenang aja. Gak usah ribet. Atau kak Dylan takut jatuh lagi sama aku? Kalau gitu aku ketawain nanti."
Entah keberanian dari mana Melody mengatakan hal itu, tapi dia benar-benar kesal dengan sikap menyebalkan Dylan malam ini. Dia tidak jelas, marah-marah seperti ini.
Tempramen, menyebalkan dan selalu paling benar:
Kenapa coba dia bisa menyukai pemuda itu.
Oh iya lupa, sifat dinginnya kadang membuat bahagia.
"Lo tuh ya..."
"Taruhan aja kak, siapapun yang jatuh duluan dia yang kalah."
"Lo semenjak bergaul sama Alice jadi begini."
"Kenapa? Kakak mau bilang pergaulan Alice gak bener? Dia pacar kak Dylan loh, masa kak Dylan suka sama cewek gak bener."
"Kok jadi ngeselin banget. Sumpah."
"Jadi gimana? Taruhannya oke?"
Bodoh Melody, malah mengajak taruhan urusan perasaan.
"Oke."
***
Spoiler : Sisa chapter selanjutnya akan fokus ke Melody dan Dylan, jadi selamat bersenang2 :)
***
Terima Kasih sudah membaca Cerita MeloDylan
Btw cerita ini akan segera menuju ending.
Cerita di wattpad sama di Novel beda banget.
Aku udah vote kemarin katanya gapapa.
Banyak banget perubahannya, seperti karakter dan lainnya juga beda.
Coba ada yang mau ditanyakan gak? Disini ya, nanti aku jawab sebisa aku.
Buat bocoran di versi Novel.
Kisah Melody > 80% (Ini udah mencakup, permasalahan Melody pribadi, Melody dan Dylan juga Melody dan teman-temannya. Maksud pribadi itu seperti permasalahan Melody dan pacarnya.)
Kisah Dylan > 80% (Ini udah mencakup permasalahan Dylan pribadi, Melody dan Dylan dan juga Dylan dan teman-temannya)
Kisah Melody&Dylan = 60% (Sisanya bahas urusan pribadi masing-masing dan pertemanan mereka)
Kisah pertemanan mereka : 40% (Pembahasan mengenai persahabatan mereka yang udah lama, permasalahan dan urusan couple yang lain)
Kisah Louis : <40% Ini sudah mencakup permasalahannya dengan Melody ataupun lainnya)
Kisah Alice <25% (Ini sudah mencakup keseluruhan cerita)
Bahkan dari chapter 1 sampe 15 gak ada adegan yang sama dengan di wattpad.
Jadi menurut kalian gimana?
***
Jangan lupa follow instagram
Asriaci13
Dylanarkanaa_
Melodyalexaa
***
With Love,
Aci istri sah dan satu-satunya Oh Sehun
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top