Bagian Tujuh Puluh Satu | Kamu, Lucu Sedunia
Now Playing | Delaney Bailey - Loving & Losing
Selamat Membaca Cerita MeloDylan
WARNING⚠️⚠️⚠️⚠️
Chapter ini mengandung...
Jangan lupa untuk vote cerita ini
Jangan lupa komentar di setiap paragraf
Harusnya aku update besok, tapi besok aku ada kerjaan jadi sekarang.
***
Bagian Tujuh Puluh Satu
Ketika gue menginginkan sesuatu, gue gak pernah mengalah untuk mendapatkannya. Kecuali lo sendiri yang menolak kehadiran gue.
***
Jika menimbang permintaan Alice dan penawaran yang diberikan oleh Alice kepadanya, itu sangat memanfaatkan Melody. Meskipun begitu, dia tidak akan rugi karena dia bisa saja membuat ending sesuai keinginannya.
Tapi, alasan Melody menyetujui hal itu bukan karena jika perasaannya jatuh kembali kepada Dylan.
Dia menyetujuinya hanya untuk membantu Alice atau Dylan, karena keduanya sudah menjadi teman Melody.
Alice itu selalu memberikan penawaran atas apapun, dia selalu memberi dan menerima disaat yang bersamaan. Tapi, untuk Melody hidup itu tidak selalu tentang memberi dan menerima. Karena, jika setelah kita memberi dan berharap menerima, ketika yang diterima tidak sesuai akan meminta lebih.
Menurut Melody apa yang di lakukan Alice tentu tidak salah, melihat bagaimana latar belakang keluarga gadis itu. Dia selalu ditanamkan apa yang dia berikan itulah yang dia terima, tidak ada yang gratis di dunia ini. Berbeda dengan dirinya, yang ketika memberi sesuatu tidak berharap mendapat imbalan.
Dibesarkan di keluarga yang harmonis membuat perbedaan karakter dia dan Alice. Memang tidak bisa dibandingkan sih.
Perlahan diraihnya ponsel dari atas nakas, dia mengetikan sebuah pesan kepada seseorang.
Kak Dylan
Kak, besok bisa ketemu?
Kafe biasa, jam 3 sore.
Aku tunggu.
Pesan itu dikirimkannya dan tidak mendapat jawaban sama sekali, biarkan saja. Yang terpenting Melody sudah mencoba membuka pembicaraan untuk meluruskan.
Saat kemarin dia emosi karena pemuda itu emosi lebih dulu. Sampai-sampai gadis itu melayangkan kesepakatan yang mungkin bisa menjerumuskan keduanya.
Jangan pernah bermain-main dengan perasaan, karena tidak ada yang tahu bagaimana akhir dari perasaan itu sendiri.
Sesuai dengan kesepakatan, Melody duduk di meja paling ujung, dia dengan setia menunggu kehadiran mantan kekasihnya itu disana. Cukup lama, gadis itu menunggu. Setengah jam berlalu, namun Melody enggan meninggalkn tempat itu.
Biasanya Dylan selalu tepat waktu. Bahkan pemuda itu membenci orang yang tidak menghargai waktu.
Mungkinkah dia tidak datang?
Melody kembali membuka ponselnya, tadi sebelum dia berangkat ke kafe ini dia memberitahu Dylan. Pesan itu hanya dibaca tidak dibalas sama sekali.
Apasih yang Melody harapkan sekarang.
Hampir dua jam Melody menunggu, bahkan gadis itu sudah memesan dua gelas minuman dan makanan, tapi tanda-tanda kemunculan Dylan belum terlihat.
Sampai pada titik Melody memutuskan untuk pulang saja, dia baru melihat pintu kafe terbuka dan pria jangkung itu muncul disana. Wajah datarnya, mata tajamnya masih sama. Melody melambaikan tangan dan memanggilnya, pemuda bernama Dylan itu hanya melirik sekilas dan menghampiri Melody.
Kini keduanya sudah duduk berhadapan. Melody belum membuka obrolan di antara mereka, dia malah meminta Dylan untuk memesan makanan dan minuman terlenih dahulu. Pemuda itu menurut, tanpa bertanya lebih lanjut.
"So, ada apa?"
"Mmm... soal taruhan kemarin yang aku bilang sama kak Dylan, bisa dibatalin aja gak?" tanya Melody takut-takut.
Tetap saja berbicara dengan Dylan sekarang membuat Melody sedikit tertekan, terkadang di dalam otaknya sudah menyusun apa saja yang ingin dia bicarakan dengan Dylan. Tapi, saat berada di depan pemuda itu, semua itu blank dan Melody menjadi sedikit takut berbicara mengenai pendapatnya.
Seringai kecil di bibir Dylan tercetak dengan jelas, dia menatap lurus ke arah Melody. Tatapan tajam yang membuat Melody merasa tak nyaman ketika ditatap seperti itu.
"Why? Lo udah ngaku kalah dan lo jatuh cinta lagi sama gue?"
Sabar Melody, jangan emosi. Anggap saja sedang menabung pahala dengan bersabar menghadapi pemuda bermulut tajam dan menyakitkan seperti Dylan.
"Bukan gitu kak..."
"Terus?"
"Iya ini aku jelasin, jangan ngegas terus."
"Jangan nangis dong."
"Enggak."
"Itu nada suaranya mau nangis," tukas Dylan
Melody mengerucutkan bibirnya, obrolan mereka terjeda karena makanan dan minuman yang dipesan oleh Dylan sudah datang.
"Jadi...?" tanya Dylan
"Kak alasan aku setuju sama permintaan Alice..."
Belum saja Melody menyelesaikan kalimatnya, Dylan sudah memotongnya.
"Karena lo masih suka gue, kan?"
Melody menggeleng, "Bukan."
"Terus? Lo mau ngetawain gue karena ditinggalin Alice lagi?"
"Enggak juga kak."
"Terus kenapa?"
"Sebagai teman aku gapapa nemenin kak Dylan, kalau kak Dylan butuh temen gapapa hubungin aku," ujar Melody, "tapi aku setuju sama penawaran Alice, bukan berarti aku nemenin kak Dylan karena aku mau balik sama kak Dylan, bukan karena aku masih berharap lebih sama kak Dylan. Enggak sama sekali."
Jeda. Melody belum melanjutkan kalimatnya lagi, dia perlahan menatap ke arah Dylan yang terdiam di depannya. Sepertinya pemuda itu menunggu kalimat selanjutnya. Meskipun ada rasa takut, selalu saja overthinking disaat yang seperti ini.
Kebiasaan itu sangat sulit dihilangkan.
"Jadi, kak Dylan gak perlu merasa tanggung jawab kalau misalnya aku baper sama kak Dylan," tambah Melody
"Lo berniat baper sama gue?"
"Ya maunya enggak."
"Lalu?"
"Kak, perasaan itu gak bisa dipaksa. Kalau kak Dylan emang masih mau menunggu Alice, itu bukan urusanku. Tapi, aku setuju supaya Alice gak bersikap seenaknya dan menganggap bahwa dia memiliki kekuasaan atas apapun."
"Oh, seperti itu," respons Dylan singkat.
Melody dibuat kehabisan akal saat mengobrol dengan Dylan, menjelaskan maksud dari ucapannya barusan. Hari ini Melody terlalu banyak bicara dan Dylan banyak mendengar, meskipun responsnya seperti orang yang tidak berminat mendengarkan.
Tapi, setidaknya Melody sudah bisa mengungkapkan apa maksud dari keinginannya, apa yang ada dipikirannya tidak selalu dipendam seperti biasanya.
"Tapi aku percaya kok Alice sayang sama kak Dylan, kak Dylan jangan nganggep Alice gak sayang karena pergi, ya."
"I know, dia sayang gue. Tapi gue enggak ada di prioritas utama dia dan gue gak masalah dengan itu."
"Syukurlah aku lega dengernya." Melody menghela napasnya perlahan, kembali menatap ke arah Dylan, "Jadi, dibatalin aja ya taruhannya."
"Padahal kemarin lo nantangin," cibir Dylan
"Ya karena emosi."
"Bisa emosi juga ternyata, dikira enggak."
"Ya bisalah!"
"Ngegas."
"Oh iya, kenapa kak Dylan telat datengnya? Aku nunggu dua jam loh, gak biasanya. Sekarang jilat ludah sendiri jadi suka telat?"
"Abis nganterin Alice ke Bandara, dia balik ke NY. Awalnya gue gak mau ketemu lo, tapi gue tau lo pasti nungguin gue."
"Ih pede bener."
"Bener gak tapi?" tanya Dylan
"Ya bener sih."
"Terus hubungan lo sama Sagara gimana?"
Senyum Melody merekah saat itu, "Baik, dia suka jajanin. Dia kasih banyak susu stroberi, dia mau ke NY juga terus kasih susu stroberi sedus."
"Lo suka dia?"
"Enggak kok, cuman temen."
"Tadi dianter siapa kesini?"
"Taxi online."
"Tumben berani."
"Iya, dikasih tau sama Alice jangan parnoan, jangan negatif thinking. Ternyata gak seburuk itu, meskipun ada rasa was-was."
"Lo berteman baik sama Alice?" tanya Dylan memastikan.
Melody mengangguk pelan, "Iya, aku jadi paham kenapa kak Dylan sayang banget sama Alice."
"Tapi Melody..."
"Kenapa kak?"
"Meskipun lo bilang perjanjian dengan Alice gue gak perlu tanggung jawab, tapi itu sepertinya gak fair."
"Jadi gimana?" tanya Melody
"Gue akan tetap tanggung jawab kalau lo baper lagi," ujar Dylan
"Hah?"
"Lo ngerti apa maksud gue, gue pernah bilang kalimat seperti itu juga dulu."
"Gak perlu kak, aku gak mau perasaan aku dianggap beban aja. Perasaan kak Dylan kan milik kak Dylan sendiri, gak harus terpaku sama orang lain. Kan gak selalu saat ada orang yang suka kita, kita harus suka balik sama mereka."
"Jatuh cinta sendirian emang enak?"
Gadis itu kini menggeleng, jatuh cinta sendirian itu tudak enak. Apapun yang melibatkan kata sendiri itu bukan sesuatu yang menyenangkan.
"Enggak, gak ada yang mau jatuh cinta sendirian. Tapi, memaksakan perasaan juga bukan pilihan yang bagus."
"Kan enggak dipaksain," ujar Dylan
"Maksudnya?"
"Kalau lo suka gue, lo bisa buat gue suka lo lagi, kan?"
Deg. Pipi Melody sepertinya merona akibat perkataan Dylan barusan. Damagenya bukan main. Pemuda bernama Dylan itu tak pernah berpikir apa dampak dari ucapannya barusan.
"Kalau gue yang suka duluan sama lo, gue akan membuat lo jatuh cinta sama gue."
Harus di respons seperti apa?
"Lo tau, gue gak pernah mengalah untuk apapun kecuali kalau lo emang menolak kehadiran gue itu beda lagi."
Gugup. Canggung. Melody menggigit bibir bawahnya, menundukkan kepalanya. Pipinya merah. Tetap saja efek dari mantan pacarnya itu masih sangat hebat.
Entah kebetulan atau bagaimana, siapa yang merequest lagu Coboy Junior pada saat ini. Tapi, penggalan liriknya sangat pas dengan apa yang barusan dikatakan oleh Dylan.
Jika kau tak mau kan ku buat kamu mau
Jika kau tak cinta kan ku buat kamu cinta
Tenang saja... tenang saja... ku pastikan kau jadi pacarku...
"Karena Alice udah bilang gitu, artinya bukan salah gue kalau gue terlalu deket sama lo. Tapi, sebelum itu lo harus tau apa aja yang terjadi antara gue dan Alice, setelah itu lo bisa nentuin untuk tetap lanjut atau mundur," jelas Dylan
Menelan saliva dengan susah payah.
"Liat sini..." pinta Dylan dan Melody menatap ke arah Dylan.
"Jadi gue boleh chat lo setelah ini?"
Melody mengangguk, padahal sebelumnya juga boleh-boleh saja mau chat apapun.
"Maksud gue menanyakan hal-hal yang lebih privasi."
Melody kembali mengangguk.
"Boleh gue ajak makan bareng?"
Lagi-lagi gadis itu mengangguk kembali.
"Boleh antar jemput lo?"
Jawabannya? Mengangguk lagi.
"Jangan deket sama cowok lain?"
"Hah?"
"Maksudnya gue lagi pedekatein lo lagi, dengan cara yang benar."
Entah bagaimana rasanya seperti melayang sendirian. Melody tak percaya dengan orang yang di depannya sekarang adalah Dylan. Bagaimana mungkin pemuda ketus dan datar itu berubah menjadi pemuda manis seperti sekarang.
"Pipi lo merah..."
"Hah..." panik Melody, dia langsung menutup kedua pipinya dengan tangan. Dan menggeleng pelan.
"Lucu," ujar Dylan, "lo tau gak sih kalau lo itu lucu banget."
"Tau, tapi kak Dylan salah bukan lucu banget tapi lucu bing-bing."
"Hah apaan tuh."
"Bukan apa-apa, coba ngomong lucu bing-bing."
"Gak mau."
"Pweaseeee..." memperlihatkan tatapan memohon membuat Dylan berdecak pelan dan menuruti permintaan random dari gadis itu.
"Lucu bing-bing, udah?"
"Tambahin, Melody lucu bing-bing."
"Banyak maunya."
"Ayo dong."
"Melody, lucu bing bing sedunia."
"Kalau aku gak boleh sama cowok lain, kak Dylan juga gak boleh sama cewek lain, deal?"
"Bella termasuk gak?"
"Nanti dipikirkan," jawab Melody
"Masih cemburu sama dia?"
"Pertanyaannya diluar konteks, kalau aku marah harus apa?"
"Minta maaf."
"Cewek selalu benar?" tanya Melody
"Gak berlaku."
"Ih."
"Loh masa lo salah gue benerin, menyesatkan."
Iya lupa. Gak berlaku kalau sama Dylan. Yang benar ada Dylan selalu benar dan Melody selalu salah.
"Kalau gak suka itu bilang," kata Dylan
"Gak suka apa?"
"Iya kalau lo gak suka sama apa yang gue lakuin."
"Umm... kaya misalnya, kak Dylan jangan terlalu perhatian sama kak Bella."
"Ya, seperti itu."
"Oke, aku gak suka kak Dylan sedih. Jadi, selalu bahagia ya?"
***
Terima Kasih Sudah Membaca Cerita MeloDylan
Sudah lama tidak membuat konten uwu, ada yang kangen????
Jangan lupa follow instagram
Asriaci13
Dylanarkanaa_
Melodyalexaa
***
With Love,
Aci istri sah dan satu-satunya Oh Sehun
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top