Bagian Tujuh Puluh Empat | Pernah Gak sih?
Hai, apa kabar?
Kalian baca cerita ini jam berapa?
Kalian umur berapa?
Now Playing | Arsy Widianto ft Brisia Jodie - Rindu dalam Hati
Selamat Membaca Cerita MeloDylan
Bagian Tujuh Puluh Empat
Kalau tidak dicoba kita tidak akan pernah tau rasa kita untuk siapa. Kalau kita terlalu takut pada akhirnya akan kehilangan segalanya.
***
Pernah gak sih lo mau mundur dan balik arah karena ngerasa cape tapi tiba-tiba dia berubah tanpa alasan dan membuat pertahanan runtuh?
Karena ini yang dirasakan oleh Melody.
Muak dengan kalimat manis dan lainnya dan dia ingin menjalani hidupnya seperti biasa.
Lebih dari tiga bulan setelah Alice pergi, gadis itu benar-benar tak kembali bahkan untuk memberi kabar pun tidak. Setidaknya dia menepati janji, jadi Melody tidak perlu khawatir.
Apa yang dikatakan Alice memang benar, orang tua Dylan bercerai. Tapi, perceraian itu ditunda karena Mamanya Dylan sedang hamil.
Oh god. Tak ada yang lebih dari drama daripada ini?
Namun, Melody dengan baik hati menemani Dylan, menguatkan pemuda itu bahwa semuanya akan baik-baik saja. Melody tidak tau bagaimana rasanya jika keluarganya berantakan, tapi dia tau pasti sakit, sedih dan kecewa.
Entah harus menyalahkan siapa saat ini. Satu tangan Melody mengelus rambut Dylan, menemaninya sampai pemuda itu tertidur, Melody yang mengecek apakah dia benar-benar makan atau tidak.
Tapi, lama-lama dia cape. Seolah apa yang dia lakukan ini tak berbuah apa-apa.
Jelas, Dylan mengatakan dia perlu waktu. Tapi, pertanyaannya sampai kapan? Semua orang juga bisa mengatakan itu, jika tanpa kepastian lebih baik masing-masing, saja, kan?
Beberapa hari terakhir ini Melody sibuk menghindari Dylan, seperti dia lebih memilih berangkat bersama Kakaknya, tak peduli jika dia jadi nyamuk saat disitu ada Jane. Ini lebih baik.
Hubungan yang kemarin sempat dekat kembali menjadi lebih awkward daripada sebelumnya.
Melody yang lelah dan Dylan belum bisa mengambil keputusan.
Katanya, masih ragu, takut menyakiti, dia gamau menjadikan Melody pelampiasan.
Oh ayolah itu hanya kalimat pembelaan diri dan kalimat teregois yang pernah Melody dengar beberapa bulan terakhir ini.
Kalau dia masih ragu kenapa harus memberi harapan? Jangan salahkan Melody jika dia terlalu membawa perasaan, namanya perempuan akan seperti itu kebanyakan. Seperti, dikasih perhatian, antar jemput, jalan.
Ya. Seperti itu. Awal-awal mungkin menyenangkan tapi lama-lama dia bingung.
Hubungan mereka itu apa?
Dibilang teman pun nyatanya mereka lebih daripada teman.
Intinya begini, jika Dylan masih ragu dengan Melody, ya jaga jarak. Jangan datang sampai perasaan itu benar-benar nyata dan tak menyakiti pihak manapun. Kalau begini Melody yang cape, Dylan yang ingin dekat dan butuh teman tapi tidak mau memberi kepastian hubungan mereka itu apa.
Melody menyerah.
Dia tak peduli lagi.
Terserah.
Dia akan fokus dengan hidupnya saja.
"Sampe kapan lo mau ngehindarin Dylan?" tanya Bella
Oke, ada yang harus dijelaskan lagi. Hubungan Melody dan Bella, benar-benar baik sekarang. Mereka sering pergi bersama dan juga sering menjenguk Fathur. Entah mengapa Fathur lebih ceria dari biasanya, katanya dia diberi pengacara oleh Alice untuk mendapinginya.
Memang, menilai orang tidak bisa hanya dari satu sisi saja.
"Entahlah... kalau kak Bella jadi gue cape gak?"
Bella menggeleng, "Enggak..." jawabnya, "gue pernah ngalamin berapa tahun tuh gue ke Fathur kaya gitu."
"Oh iya kan kak Bella bucin," ledek Melody.
Bella tak mengelak, memang seperti itu dia mengakuinya. Bucin. Budak cinta.
"Mel, daripada ngehindar lo mending harus tegas sih sama dia. Lo tau sendiri, kalau ngomong ama Dylan gak bisa pake kode harus tegas dan lo ngomong yang sejujurnya."
Melody menghela napasnya perlahan. Dia sudah memberikan beberapa macam kode, namun sepertinya pemuda itu tidak sadar atau bahkan berpura-pura.
"Harus ngomong ya?"
Bella mengangguk, "Iya, yang tegas. Lo maunya apa. Kan, lo cape yaudah mending lo sudahi. Kalau bertahan malah buat lo tersiksa, kan, buat apa?"
Benar. Saat ini yang harus diutamakan bukan kebahagiaan orang lain, melainkan kebahagiaan dirinya sendiri.
"Akan gue coba," ujar Melody pada akhirnya
"Pelan-pelan aja," imbuh Bella, "Mel, gue tau lo akan selalu goyah dengan apa yang dilakukan Dylan, jadi, lo minta syarat sebelum lo selesai ngomong dia gak boleh motong."
Melody mengangguk.
"Tapi..."
"Kenapa lagi?" tanya Bella
"Gimana kak Dylan...? Dia lagi butuh teman, kan? Gue..."
"Dylan bukan tanggung jawab lo Mel." Bella tersenyum, "Kalau bertahan dengan Dylan nyakitin, mending di lepas. Lo deserve better Mel. Jadi...pentingin dulu kebahagiaan lo ya?"
Rasanya Melody seperti ditampar kenyataan. Dulu Bella adalah orang yang sangat dia benci, lebih tepatnya dia iri dengan Bella yang bisa menjadi prioritas Dylan. Dia merasa insecure karena jika dibandingkan Bella, jelas Bella lebih cantik dan lebih mengerti Dylan. Tapi, ternyata Bella tidak sejahat yang dipikirannya. Dia baik.
Wajar saat itu Bella marah karena posisinya Dylan masih bersama dengan Alice. Bella tidak mau jika mereka saling mengkhianati satu sama lain.
"Gue masih ada, gue pasti akan selalu ada buat Dylan kok. Lo jangan khawatir."
Tetap saja Bella sudah baik padanya, tapi tetap ada pikiran negatif. Seperti, Bella mengambil kesempatan ini agar dia dan Bella bisa kembali atau perasaan Dylan akan kembali mencintainya.
Oh shit. Hilangkan pikiran itu, overthinking akan merusak segalanya.
"Thanks Kak."
"Anytime Mel, lo kalau mau cerita sama gue juga gapapa kok. Gue tau, hubungan pertemanan kalian meskipun katanya udah kembali ga akan pernah sama, kan?"
"Lagi beradaptasi, pelan-pelan sih kak," ujar Melody, "luka Kate juga gak akan semudah itu sembuh. Gue juga gak bisa menghakimi Kak Liam atau Anna. Anna belajar dan juga dia memperbaiki diri, gue tau yang mereka lakukan salah. Tapi, keputusan Anna dengan enggak bareng keduanya udah benar."
"Dia akhirnya nyakitin Angga ya?"
Melody mengangguk, "Lagi. Tapi kak Angga tetep nunggu Anna kayanya."
"Mungkin..."
"Entahlah, kalau nanti Anna kembali dan emang takdir dia salah satu dari mereka, gue berharap semua luka itu sudah sembuh."
"Ya, harus belajar. Jadi lo kapan akan ketemu Dylan?"
"Malem ini, mungkin..." gantungnya, "Lebih cepat lebih baik, kan?"
"Iya. Biar dia sadar, perasaannya buat lo itu nyata atau enggak, atau lo hanya teman disaat orang yang dia sayang gak ada aja."
***
Niatnya tuh Melody mau yang nyamperin Dylan tapi akhirnya Dylan yang menjemputnya dan membawa Melody ke tempat makan. Ini diluar skenario, perlakuan manis Dylan membuat Melody goyah. Dia terus menanamkan di hatinya bahwa yang mereka lakukan itu gak baik. Ini hanya akan semakin menyakiti keduanya.
"Gue seneng, akhirnya lo mau ngomong dan pergi lagi sama gue," ujar Dylan, wajahnya tidak berseri tetap datar.
Katanya senang tapi tetap tidak bereskpresi.
"Oh yaa...?" Melody tersenyum simpul, meskipun perasaannya sakit. Jelas perasaan dia masih berfungsi tidak seperti orang di depannya ini, "Aku sibuk akhir-akhir ini."
"Jangan kecapean." Kini sudut bibir Dylan melengkung, dia tersenyum.
Ikhlas gak sih senyumnya?
Duh overthinking.
Melody mengangguk, "Iya."
"Lo, apa kabar?" tanyanya
"Baik, kak Dylan baik-baik aja?"
"Mmm, ya."
"Oke."
"Lo mau ngomong apa?"
Diam, Melody tengah mengumpulkan keberaniannya. Dia tidak ingin kalah lagi dengan perasaannya. Karena jika terlalu terbawa perasaan akan kembali terluka.
Jangan. Dia jangan bodoh lagi. Saatnya membalikan keadaan.
"Boleh gak kak, aku nanya dulu."
Dylan mengangguk.
"Perasaan Kak Dylan buat Alice gimana?"
Jeda, hening seolah telinga Melody kini tidak berfungsi dengan baik. Dylan pun hanya diam menatap Melody.
Lagi-lagi dia tidak bisa menjawab.
"Gue sedang berusaha," jawabnya.
Itu bukan jawaban yang dia inginkan.
"Aku tau jawabannya dan aku tau harus apa," ujar Melody
"Maksud lo?"
"Kita akhiri aja ya kak, aku cape."
"Hah? Kenapa? Mel?"
"Tunggu..." cegah Melody, "biarin aku ngomong dan jelasin dulu semuanya ya?"
"Oke."
"Mungkin ini yang terbaik buat kita, kak Dylan bisa yakinin dulu perasaan kak Dylan untuk siapa dan aku juga begitu. Aku gak mau jatuh sendirian kak, dan aku gak mau kak Dylan terbebani karena hal itu. Kita berhak bahagia dengan pilihan kita masing-masing. Gak harus selalu bersama."
"Intinya aja Mel. Lo mau ninggalin gue? Lo mau nyerah?"
Melody mengangguk, "Iya. Maaf, gak sampe akhir, aku gak bisa."
"Kenapa? Karena gue belum bisa kasih lo kepastian? Gue gak mau lo jadi pelampiasan Mel, gue gak mau jadiin lo cuman teman sekedar singgah aja."
"I know..." Melody paham, Dylan akan mengatakan itu, kemudian dia menggelengkan kepalanya pelan. Tangannya merenas ujung jaket yang dia kenakan sekarang, menahan agar air matanya tidak jatuh.
Cengeng.
Selalu mudah menangis hanya karena hal sepele.
"Itu hak kak Dylan dan aku juga punya hak untuk enggak stay..." jeda, Melody menatap ke arah Dylan yang kini tengah menatapnya.
Anjing. Tatapannya masih bisa membuat perasaannya berdebar-debar. Dylan sudah melakukan apa sih, sampai Melody menjadi bucin tolol seperti ini.
"Selama tiga bulan terakhir ini kak Dylan selalu bilang akan coba, belajar dan lainnya dan minta aku nunggu. Tapi sampe kapan? Kak Dylan bisa kasih aku kepastian? Cape kak, nunggu tapi enggak ada yang pasti. Sekarang aku tanya, kak Dylan punya jawaban gak kalau aku nanya sampe kapan kak Dylan minta aku nunggu?"
"Mel... gue..."
"Iya, kak Dylan gak mau jadiin aku pelampiasan. Itu bagus, tapi kalau kak Dylan gak coba gak akan tau perasaan kak Dylan masih di Alice atau udah berpindah. Kak Dylan hanya takut dengan kenyataan. Hanya meyakini apa yang ingin kak Dylan yakini, kak Dylan mikir aku akan sama seperti Alice? Enggak kak, kita berbeda."
"Lo maunya gimana? Kita pacaran dengan perasaan gue belum jelas untuk siapa? Gue gak mau bikin lo nangis Mel."
"Tapi nyatanya kak Dylan yang sering bikin aku nangis. Lucu ya?"
"Gue harus gimana?"
"Gak harus gimana-gimana, kita akhiri aja, meskipun aku juga bingung apa yang harus diakhiri karena kita belum memulai apapun. Tapi, setidaknya aku ingin menegaskan, udah ya aku cape, aku gak akan nunggu lagi dan kak Dylan gak harus yakinin lagi. Aku cape, aku menyerah."
"Mel, sebentar lagi ya...?" Pintanya
Kan, pasti akan seperti ini. Tapi Melody tetap menggeleng dia harus tegas dengan pendiriannya.
"Enggak, kak, aku bener-bener cape, udah ya? Sekarang kak Dylan bebas, mau kembali sama Alice atau mau gimana terserah kak Dylan. Aku gak peduli. Aku bener-bener cape. Makasih ya, kak Dylan udah kasih setidaknya kenangan manis lagi, kak Dylan memperlakukan aku dengan baik, kak Dylan udah jauh lebih baik daripada sebelumnya."
"Mel, bukannya lo larang gue untuk gak kembali dengan Alice...?"
"Iya awalnya, tapi aku egois, sekarang terserah kak Dylan itu hak kak Dylan dan tolong setelah ini jangan hubungin aku lagi. Maaf ya, kontak kak Dylan aku blokir semua. Aku gak mau goyah, tolong kak Dylan hargai keputusanku."
"Iya."
Serius? Cuman itu responsnya? Emang Dylan definisi lelaki kurang ajar dan biadab.
"Aku pulang ya...?"
"Gue anter," ujar Dylan
"Gak perlu."
"Terakhir kali, biarin gue nganterin lo sebelum besok kita jadi orang asing."
Melody juga tidak bisa pulang sendiri, akhirnya dengan sedikit perdebatan Melody pulang dengan Dylan. Tidak pernah secanggung ini sebelumnya, Melody bahkan enggan menatap ke arah Dylan dan Dylan juga bukan orang yang pintar membuka obrolan.
Di sepanjang perjalanan tak ada obrolan sama sekali, benar-benar hening dan bahkan Melody pun tidak memainkan ponselnya hanya melihat ke arah jalananan dari kaca.
Perjalanan dari kafe ke rumahnya jauh lebih lama daripada biasanya, seperti berjam-jam. Dan akhirnya dia sampai, mobil Dylan berhenti.
"Thanks."
Disaat Melody akan membuka pintu mobil, Dylan menahannya. Sebentar.
"Mel, bentar..."
Melody hanya menatapnya.
"Gue akan yakinin perasaan gue."
Oke.
"Lo gak perlu nunggu."
Hah, gimana?
"Terserah lo kemana akan berlari, atau lo akan pergi kemana karena gue tau gue akan selalu menemukan jalan pulang ke arah lo."
Ini manusia bisa musnah enggak sih.
"For the last time, gue tau ini berlebihan tapi gue harus mastiin sesuatu." Satu tangan Dylan sedikit menangkat dagu Melody dan mencium bibir Melody. Manis dan Melody masih belum bisa kembali ke dunianya.
Terlalu tiba-tiba. Tapi dia ikut memejamkan matanya. Terakhir kalinya. Anggap aja ciuman perpisahan.
Pelan dan tidak menunutut. Tapi, air mata Melody mengalir tanpa diundang dan segera Dylan menyudahi ciuman itu.
"Pasti sakit banget ya? Maaf, setelah ini gue akan biarin lo hidup bahagia. Baik-baik ya?"
Kenapa berat rasanya tapi Melody mengangguk.
"Iya, kak Dylan juga."
Sebentar, Dylan mendaratkan kecupan lumayan lama di dahi Melody. Seperti dia sedang berpikir banyak hal sebelum dia kembali menatap Melody sambil tersenyum simpul.
"Gue lepasin lo, tapi kalau lo ingin kembali gue akan selalu ada untuk lo."
Tak ada jawaban.
"Satu hal yang harus lo inget, gue akan selalu memperjuangkan apa yang harus diperjuangkan. Meski lo gak merespons hal itu, gue akan tetap melakukan itu. Jadi, biarin gue buktiin dengan cara gue ya? Sampe lo bener-bener lelah dan gue juga."
Dylan mengelus rambut Melody, "Masuk gih udah malem, istirahat yang cukup. Selamat tinggal."
"Iya, kak. Sampai jumpa kembali di lain kesempatan kak disaat kita benar-bener siap dengan semuanya."
"Iya."
***
Terima Kasih Sudah Membaca Cerita MeloDylan
Maafin ya agak lama, lagi banyak problem huhu
Tapi semoga bisa mengobati rasa rindunya ya.
Btw aku ada kejutan lucu buat kalian.
Jadi, gambar depan itu gambar yang ramean, gambar belakang quotes. Jd sablonnya dua sisi, bagi kalian yang ga suka rame ya pake yang quotesnya.
Lucu gak sih?
***
Jangan lupa follow instagram untuk info PO Buku nantinya dan lainnya.
Asriaci13
Melodyalexaa
Dylanarkanaa_
Asriacireadres
***
With Love,
Aci istri sah dan satu-satunya Oh Sehun
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top