When You Say Nothing At All

inspired by Ronan Keating - when you say nothing at all


It's amazing how you can speak right to my heart.

Without saying a word, you can light up the dark.

White day.

Sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman tipis. Pandangannya masih belum beralih dari gadis yang kini tengah melakukan sesuatu di dapurnya, bersikeras menyiapkan sarapan terlepas dari fakta bahwa hari ini adalah hari spesialnya. Hari dimana ia membalas pemberian valentine gadisnya. Walau sudah beberapa menawarkan diri untuk membuat sarapan, [Name] tetap menggeleng. Lucien mengalah. Apa boleh buat, hatinya jatuh pada gadis yang keras kepala.

Setelah dua minggu sulit bertemu dan menghabiskan waktu bersama akibat pekerjaan yang menumpuk, Lucien bertekad menyelesaikan semua pekerjaannya lebih awal untuk meluangkan hari ini dengan memanjakan gadisnya. Rencananya sudah tersusun rapi.

Ia berniat mengajak gadisnya ke toko buku di pinggir kota dengan pemandangan yang menyejukkan mata—tahu bahwa gadisnya sangat menyukai pemandangan indah yang alami, setelah itu makan siang di kafe populer yang beberapa hari belakangan dibicarakan oleh rekan kerjanya, kemudian membiarkan [Name] menentukan sisa kencannya. Namun, gadis itu menolak idenya secara blak-blakan.

Perasaan geli menggelitik benaknya mengingat [Name] yang bersikukuh untuk bersantai di rumah, menanggalkan rencana yang sudah ia susun. Wajahnya yang merona juga sikapnya yang tidak menerima penolakan, mengutarakan argumen dengan nada tidak ingin dibantah mengingatkan Lucien pada kucing liar yang ia temukan di universitas beberapa waktu lalu.

"Tidak perlu pergi keluar. Profesor Lucien sudah terlalu lama bekerja keras, di hari libur kau harus beristirahat yang cukup," cetus [Name] sambil melipat kedua tangan di depan dada. "Bersantai sambil menonton film di apartemen bukan ide yang buruk, kan?"

Lucien memperhatikan gadisnya dengan seksama. Matanya yang enggan beradu tatap dengannya menyiratkan bahwa [Name] telah merencanakan sesuatu. Ia terdiam sejenak tapi tidak melepaskan pandangan. Tanpa sadar, Lucien menahan senyum ketika [Name] bergerak gelisah dengan wajah memerah di bawah tatapannya.

"Kalau begitu kau harus berisirahat bersamaku," matanya berkilat jahil. "Karena seseorang juga tidak memperhatikan jadwal tidurnya saat sibuk bekerja."

"Tentu saja," [Name] mengangguk antusias, senang mendapatkan persetujuan. "Aku akan mendedikasikan hari liburku untuk menjaga profesor Lucien dan memastikan agar kau mendapatkan waktu istirahat yang nyaman."

Menggemaskan. Hanya itu kata yang mampu mendeskripsikan sosok [Name] di matanya saat ini. Terlalu menggemaskan hingga Lucien tidak bisa menahan diri untuk menggoda gadisnya.

"Oh... apakah seseorang sudah tidak sabar berduaan denganku?" Lucien menyembunyikan seringai dibalik tangan ketika wajah gadisnya merona hingga ke telinga. Ekspresinya memberitahu isi hatinya. "Silly girl, aku tidak keberatan. Bukankah sudah kukatakan agar jangan sungkan mengungkapkan yang kauinginkan? Jika yang kauinginkan adalah waktuku, akan kuberikan untukmu tanpa ragu."

Lucien terkekeh, tidak melawan ketika [Name] berseru tentang ia yang terlalu sering mengerjai dan menggodanya.

Pikirannya tersadar ketika gadisnya kembali dari dapur, membawa dua piring berisi roti panggang dengan telur dan irisan daging. Dua mug berisi kopi dengan asap mengepul di letakkan di atas meja. [Name] duduk di sebelahnya, kini memusatkan seluruh perhatiannya pada Lucien.

"Ada apa?" tanya [Name] dengan sebelah alis terangkat. "Kenapa menatapku begitu?"

Lucien menggeleng, senyumnya belum luntur. "Hanya terharu karena seseorang berhasil memanggang roti tanpa membuatnya gosong."

"Aku hanya melakukannya sekali!" [Name] berdecak. Ia mengambil sepotong roti lalu menggigit kasar sebagai pelampiasan. "Lagipula saat itu aku tidak sengaja."

Ia terkekeh pelan, menyukai ekspresi yang kini ditampakkan oleh gadis favoritnya. Tangannya mengusak rambut gadis itu lembut sebelum menyantap sarapan.

Sejenak, segalanya tampak berwarna. Dalam dunianya yang monokrom, kehadiran gadisnya bagai cat yang tergores di atas kanvas. Sejenak, saat bersama [Name], beban di bahunya seolah menguap. Bahkan hanya dengan kehadirannya, [Name] mampu mengusir kegelapan dalam hatinya.

Try as I may, I could never explain

What I hear when you don't say a thing.

Lebih dari apapun, Lucien membanggakan kemampuannya untuk mengobservasi orang lain dan mengontrol emosi. Keduanya dibutuhkan mengingat bagaimana ia menjalani hidup. Tempat dimana belas kasih tidak boleh diperlihatkan. Logika mengalahkan perasaan. Segalanya harus terencana, tidak peduli mengorbankan nyawa, demi mencapai tujuan. Namun, saat ini kemampuannya bagai bumerang.

Berkas tidak lagi menjadi fokusnya. Saat [Name] duduk di seberang sofa seraya bermandikan cahaya oranye dari matahari pagi, otaknya memutuskan bahwa grafik penelitiannya tidak lagi penting. Angin musim semi membawa aroma plum yang tertanam di depan apartemen sesekali berembus melalui balkon.

[Name] tidak menyadari tatapannya yang masih belum berpaling, tenggelam dalam alur cerita. Rambutnya tidak terikat, dibiarkan tergerai untuk melindungi lehernya dari hawa dingin. Binar di matanya selalu berubah, tergantung dengan adegan yang tengah ia baca. Sudut bibirnya berkedut menahan senyum atau kesal dengan apa yang dilakukan karakter dalam buku. Gadis yang sebelumnya berencana menonton film, kini tampak hanyut dalam alur novel fantasi.

Setelah sekian lama mengamati [Name], Lucien menyadari sesuatu. Hanya dengan melihat gadis itu, perasaannya mampu berubah dengan cepat. Ekspresi sedih [Name] mengganggunya. Senyum senang [Name] kala mengalami sesuatu yang menyenangkan, menenangkannya. Kerutan di dahi saat mendengar istilah ilmiah yang asing dapat memancing senyumnya. Ia tidak mengerti bagaimana sesuatu yang begitu sepele memengaruhi suasana hatinya. Seolah ia mampu mendengar sesuatu yang tidak pernah diucapkan.

"Kau melakukannya lagi, Lucien. Kenapa menatapku begitu?" tanya [Name]. Gadis itu menoleh ke arahnya dengan sebagian wajah tertutup oleh buku, tersipu. "Apa ada sesuatu di wajahku?"

Mata Lucien turun, mengamati pakaian [Name] yang belum diganti sejak tiba di apartemennya. Sesuatu dalam dirinya senang dengan pilihan pakaian [Name] pagi ini. Kemeja yang ia tinggalkan beberapa hari lalu saat makan malam di apartemen gadis itu. Bagian dirinya yang teritorial puas dengan keputusan [Name].

"Tidak ada," Lucien menggeleng. "Aku hanya penasaran. Apa yang membuatmu begitu tertarik dengan buku itu?"

Iris kecokelatan itu berbinar antusias. "Aku mengagumi karakter utamanya. Ia tampan dan lembut, sabar juga percaya dengan protagonis perempuannya. Saat protagonis perempuannya berada dalam bahaya, ia tidak ragu untuk segera pergi ke sisinya. Karakter utamanya sangat hebat dan aku menyukainya."

Dahinya mengerut dengan penjelasan [Name]. Ia tidak mengelak saat [Name] menyentuh keningnya.

"Apa kau cemburu?"

"Tidak," sangkal Lucien. Ia termenung beberapa saat, membalas pandangan penuh tanya gadisnya. "Kau tidak pernah berkata padaku kalau standar idealmu tinggi."

[Name] melongo. Gadis itu tampak terkejut lalu tertawa kecil. "Apa kau khawatir karena tidak bisa memenuhi standar idealku?"

"Tentu saja," Lucien berdehem pelan. "Tentu aku khawatir tidak bisa memenuhi standarmu."

The smile on your face, lets me know that you need me.

There's a truth in your eyes, saying you'll never leave me.

The touch of your hand says you'll catch me wherever I fall.

You say it best when you say nothing at all.

"Tidak bisa memenuhi standarku?" seru [Name] tidak percaya. "Kau sudah memenuhinya, Lucien. Baik wajah atau karaktermu sudah mencapai standarku. Lagipula kau lebih sabar daripada karakter utamanya. Bahkan setelah bertemu dengan murid yang lamban sepertiku, kau masih menuntunku langkah demi langkah. Ditambah lagi, kau adalah pria yang cerdas. Profesor Lucien sangatlah bertalenta.

"Lebih dari siapapun, kaulah yang pantas menjadi karakter utama dalam ceritaku."

Senyum itu. Senyuman itulah yang memikat hatinya, memenjarakan logikanya hingga ia rela melakukan apapun demi keselamatan gadisnya. Senyum yang berujar bahwa dalam keadaan apapun, [Name] selalu membutuhkannya.

Lucien menggenggam jemari [Name] yang menangkup wajahnya, menarik lengannya lembut dan membiarkan gadis itu jatuh dalam kukungan lengannya. Tangannya menekan kepala [Name] ringan, menuntun gadisnya menyembunyikan wajah di dada. Sebelah tangannya yang lain merangkul pinggul [Name]. Setelah apa yang baru saja [Name] ungkapkan, ia butuh dekat dengan gadisnya.

Sudah lama sejak terakhir kali beban di hatinya terasa ringan. Sudah terlalu lama ia tinggal dalam dunianya yang monokrom, terhimpit oleh kesepian. Sejak ia menerima pelukan hangat yang tanpa sadar selalu ia dambakan. Sudah terlalu lama.

All day long I can hear people talking out loud,

But when you hold me near, you drown out the crowd

Matanya terpejam. Pikirannya kembali pada saat ia, dengan berat hati, mengkhianati gadisnya. Saat ia meninggalkan gadis dalam rengkuhannya di saat genting. Saat takdir nyaris memutuskan hidup dan mati [Name]. Saat ia berulang kali memperingatkan gadis itu, namun tidak digubris. Bahkan setelah kepedihan yang harus [Name] alami karena dirinya, gadis itu masih mampu berdiri tegak. Tidak peduli seberapa sakit dirinya, walau berhadapan sebagai musuh, selalu ada kebenaran dalam iris cokelat kesukaannya.

Kebenaran bahwa [Name] tidak akan meninggalkannya.

"Lucien?"

"Ya, my little butterfly?"

"Kau baik-baik saja?"

Lucien terkekeh pelan. Ironis. Ia yang telah menyakiti [Name], tapi gadis itulah yang bertanya apakah ia baik-baik saja.

"Tentu," gumam Lucien. Ia mendaratkan kecupan ringan di pelipis gadisnya. "Aku hanya ingin memberi hadiah untuk seseorang karena telah berkata jujur tentang perasaannya."

[Name] menarik diri, memberi jarak di antara tubuh mereka. Pandangan Lucien tidak berpaling dari gadisnya. Sudut bibirnya tertarik lebih dalam, menunggu [Name] siap untuk mengutarakan isi pikirannya.

"Apa kau tahu kalau matamu memancarkan perasaanmu, Lucien?" ia menyandarkan pipinya pada tangan lembut [Name], menikmati sensasi hangat yang tertinggal saat ibu jari kecil membelai wajahnya. "Bahkan saat ekspresimu datar dan mulutmu berbicara sebaliknya, matamu mengungkapkan isi hatimu."

"Benarkah?" sebelah alisnya terangkat, tertarik dengan fakta yang baru ia ketahui tentang dirinya.

[Name] mengangguk. Mereka beradu tatap seakan mencari sesuatu dalam mata bagai menyibak perasaan yang diam-diam dipendam.

"Kalau begitu, menurutmu apa yang kurasakan sekarang?"

"Sedikit cemburu," cetus [Name] jahil. Lucien mendengus mengiyakan. "Lalu... aku tidak bisa memastikannya, tapi kau merasa... tenang? Mungkin nyaman? Atau senang ya?"

Lucien menyentil dahi [Name] jengah, masih tersenyum. Ia tahu bahwa bukan itu yang ingin gadisnya utarakan. "Langsung saja katakan. Jangan bertele-tele."

"Sebenarnya... aku hanya ingin menghabiskan waktu berdua denganmu saja hari ini," [Name] menundukkan wajah, mengintip dari balik helaian rambut. "Maaf karena memaksamu menuruti keinginanku. Padahal kau sudah susah payah mengatur agar kita bisa pergi bersama, tapi—"

Lucien mengusap bibir [Name] dengan ibu jarinya, spontan menghentikan racauan gadisnya. Ia tersenyum geli dengan kekhawatiran yang ditunjukkan gadis favoritnya. Bagaimana bisa ia marah dengan sosok menggemaskan yang menawan hatinya? Saat yang diinginkan oleh [Name] hanyalah perhatian tanpa batasnya?

"Silly girl," [Name] mengaduh saat ia mencubit pipinya. "Bukankah sudah kubilang? Kau bisa bersikap egois. Kau boleh meminta apapun dariku. Jika waktu yang kau inginkan, maka seluruhnya adalah milikmu. Waktuku adalah milikmu."

"Kalau begitu, boleh seperti ini dulu?" [Name] meliriknya penuh harap sedikit tersipu atas permintaannya yang terlalu 'berani'.

Lucien mengangguk, tidak sampai hati menolak permintaan [Name]. Ia menyandarkan diri di lengan sofa dengan [Name] berada dalam rengkuhannya. Punggung beradu dengan dada. Aroma plum yang bercampur dengan parfum [Name] menyapa indra penciumannya.

Ekor matanya menangkap [Name] yang menguap lalu menggesekkan wajah di lengan sweaternya. "Sepertinya telah seseorang berubah menjadi anak kucing."

"Habisnya pelukanmu nyaman," cibir [Name] setengah mengejek.

Kekehan lolos dari bibirnya, tapi tidak membalas. Ia mengambil berkas penelitiannya, kembali memfokuskan diri dengan pekerjaan. Tangannya menyisir rambut [Name] dengan gerakan pelan seakan terbiasa melakukannya. Gadisnya tidak keberatan, ia sudah terbuai dengan intensnya untaian kata yang tertuang, imajinasinya melayang liar.

Pada momen itu, baik ia maupun [Name], merasa bahwa tidak ada perasaan yang lebih hebat dari saat-saat mereka bersama.

Try as they may, they can never define

What's been said between your heart and mine.

Matahari mulai meninggi saat Lucien selesai dengan pekerjaannya. Ia melepas kacamata lalu menghela napas panjang. Penelitiannya masih belum rampung, masih ada beberapa variabel yang butuh penyesuaian agar mendapatkan hasil yang diinginkan. Ia mengingatkan diri untuk meminta mahasiswanya agar mempersiapkan bahan yang diperlukan untuk percobaan berikutnya.

Perhatiannya langsung teralih saat [Name] menggeliat, berganti posisi. Sebelah tangannya yang menggenggam buku menggantung melewati sofa. Kini sisi tubuh gadis itu bersandar padanya. Irama napasnya yang stabil dan konstan menyiratkan bahwa [Name] sudah tertidur selama kurang lebih tiga puluh menit. Rambut yang menutupi wajahnya tersibak tiap kali gadisnya mengembuskan napas.

Senyum geli tersungging di wajahnya saat [Name] mengigau. Ia terkekeh saat nama menu makanan dari restoran favorit mereka yang diucapkan [Name] dalam tidurnya. Lucien mengingatkan diri untuk memesan menu itu saat makan siang nanti.

"Bahkan saat tidur hanya makanan yang kau pikirkan," ujar Lucien seraya menyibak rambut yang membingkai wajah [Name], menyelipkannya di belakang telinga.

Tidak ada balasan yang berarti. Hanya alunan lagu lembut diiringi dengan musik klasik juga deru pendingin ruangan yang menemaninya. Lucien tidak bisa menahan diri. Jemarinya menyisir helaian rambut gelap [Name], membuai gadisnya untuk tenggelam lebih dalam ke dunia mimpinya.

"Kebahagiaan bukan sesuatu yang biasa terjadi padaku," bisik Lucien. Ia melayangkan ciuman ringan di puncak kepala gadisnya. "Tapi kau memberikannya tanpa ragu."

Ia takjub dengan kepekaan [Name]. Tidak menyangka bahwa dinding kokoh yang bertahun-tahun telah dibangun untuk melindungi emosi juga isi hatinya mudah terlihat oleh gadis yang baru memasuki hidupnya kurang dari setahun terakhir. Atau... mungkin juga kewaspadaannya menurun drastis jika bersama dengan kekasihnya hingga gadis itu dengan mudah membaca perasaannya. Walau demikian, Lucien tidak keberatan. Jika [Name], ia tidak pernah keberatan untuk memperlihatkan sisi dirinya yang lain.

"Sebelum bertemu denganmu, aku tidak tahu rasanya menatap seseorang lalu tersenyum tanpa alasan yang jelas," lanjutnya. Lucien menangkup wajah [Name] dengan hati-hati, ujung jemarinya menelusuri tiap jengkal yang bisa diraih. "Dan sekarang aku mengerti."

Iya. Sekarang ia mengerti bahwa desakan untuk tersenyum setiap kali bersama dengan [Name] berasal dari dalam dirinya. Dirinya yang bahagia hanya dengan eksistensi [Name] berada dalam jarak pandangnya juga gejolak emosi maupun suara dalam pikirannya yang mereda hanya dengan keberadaan [Name] di sisinya.

Bagai mengetahui apa yang Lucien ucapkan, sebelah lengan [Name] melingkari tubuhnya. Ia terkekeh saat pelukannya mengerat. Bagaimana bisa gadisnya meluruhkan semua pertahanannya pada pria yang berulang kali menyakiti dan memanfaatkannya? Sampai kapanpun ia tidak akan mengerti. Namun, ia bersyukur dengan kepercayaan yang [Name] berikan padanya.

Seperti biasa, ia selalu mengerti apa yang ingin diucapkan [Name] bahkan tanpa gadis itu perlu mengatakan apapun. Kini, ia paham apa yang gadisnya sampaikan dalam tidurnya.

Aku percaya padamu. Aku menyayangimu, Lucien.

Dan ia merasakan hal yang sama.

The smile on your face, lets me know that you need me.

There's a truth in your eyes, saying you'll never leave me.

The touch of your hand says you'll catch me wherever I fall.

You say it best when you say nothing at all.



Author's Note:

Ini pertama kalinya aku bikin cerita MLDD. Walaupun udah sering bucin sama Lucien dan empat karakter  lainnya, tapi pas nulis tuh rasanya beda banget. Aku berusaha supaya karakter Luciennya gak terlalu OOC, tapi karena ini penafsiran pribadiku tentang karakternya Lucien, pasti ada beberapa hal yang gak sreg sama kalian.

Aku minta maaf banget kalau memang Lucien di cerita ini agak-agak OOC. I'll do better next time.

Happy reading guys!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top