Chapter 9
Atensi Sakura tertuju pada sebuah piring dengan beberapa lembar roti tawar dengan isian coklat yang cukup banyak di bagian tengahnya. Ia sungguh merasa heran dengan jalan pikir lelaki itu.
Ketika ia kembali ke apartemen yang ditempatinya sesudah selesai makan dan membersihkan seluruh peralatan makan yang dipakai dan memutuskan menikmati sofa yang empuk itu, mendadak terdengar suara bel dan ia begitu terkejut. Kemudian ia malah mendapati Sasuke di depan pintu seraya membawakan roti.
"Loh Bapak jadi membuat roti?"
"Soalnya seorang maniak roti di depanku terlihat begitu menginginkannya," jawab Sasuke hampir tanpa jeda ketika Sakura menghentikan pertanyaan.
Sakura terkejut. Ada apa dengan pria es batu satu ini? Karena ia tertarik dengan rori lantas langsung membuatkannya?
Sasuke menyadari ucapannya bisa membuat seseorang salah paham, jadi ia cepat-cepat menambahkan, "Maksudnya aku juga ingin makan roti. Butuh seseorang untuk membantu menghabiskannya."
"Oh, oke. Terima kasih, Pak."
Sasuke segera mengangguk dan hendak beranjak pergi. Namun sebelum ia beranjak dari pintu, mendadak ia bertanya, "Kau suka tempatnya?"
Perempuan itu tergugu sejenak sebelum menyahut, "Apartemennya? Sangat. Saya tidak menyangka diperbolehkan tinggal di tempat sebagus ini. Terima kasih, Pak."
Reaksi Sakura adalah reaksi jujur yang berasal dari lubuk hati terdalamnya. Perempuan itu bahkan tersenyum tipis sesudahnya.
Sasuke terkejut akan perasaannya sendiri. Kenapa ia merasa senang karena perempuan itu menyukai tempat tinggal barunya? Ia merasa diapresiasi oleh seseorang.
Ia cepat-cepat mengalihkan topik dan berkata, "Aku berangkat kantor pukul 7 kurang seperempat. Jangan telat."
"Ah, iya. Tapi kurasa sebaiknya kita berangkat terpisah saja, Pak. Tidak enak kalau dilihat orang."
Kening Sasuke sedikit berkerut dan Sakura bertanya-tanya dalam hati. Ia baru menyadari bahwa ia sudah salah bicara. Karena lelaki itu selalu memakai bahasa yang tidak seformal dirinya dan saat ini juga bukan di kantor, Sakura tanpa sadar ikut berbicara informal.
"Eh, astaga. Maaf mendadak jadi bicara informal."
"Aku tidak peduli kalau kau bicara informal selama bukan di situasi formal. Aku lebih peduli pada konerjamu."
"Syukurlah. Kukira Bapak marah," jawab Sakura seraya memperlihatkan ekspresi kelegaan yang nampak jelas di wajahnya.
"Kau sebegitu takutnya membuat atasanmu marah?"
Tanpa menunggu Sakura mengangguk, "Begitupun dengan rekan kerja. Sebisa mungkin jangan membuat orang lain tidak nyaman."
"Aku tidak peduli bagaimanapun perasaan rekan kerjaku, termasuk para direktur itu. Yang penting kinerja mereka."
Sakura beruntung karena ia bukan orang yang sangat emosional. Jika iya maka ucapan lelaki itu baru saja membuatnya terluka. Ia segera menyahut, "Tentu saja, bapak kan CEO-nya. Lagipula keluarga bapak juga memiliki sebagian besar persentase saham. Tidak seorangpun bisa memecat bapak."
Sasuke sedikit terkejut. Betapa beraninya perempuan ini dalam bertutur kata. Sejujurnya ini kali pertama ia bertemu perempuan seperti Sakura yang berbeda jauh dengan kekasih-kekasih ayahnya. Ketika perempuan lain berusaha menyenangkan hatinya dan mengiyakan saja segala perkataannya serta menunjukkan ketertarikan terhadap uang, perempuan ini tidak sama sekali.
Sakura begitu terus terang, juga tidak menunjukkan ketertarikan terhadap uangnya. Sebaliknya malah merasa sungkan dan begitu jelas menarik batas antara mereka berdua. Ia menyukai kepribadian Sakura yang lugas dan mudah dipahami.
"Kita berangkat bersama demi efisiensi sekaligus memastikan kau tidak akan terlambat. Jangan pedulikan ucapan orang lain. Kalau kau sampai kehilangan pekerjaanmu, aku sendiri yang akan memecatmu berdasarkan evaluasi kinerja atau kalau kau melanggar kontrak, bukan karena ucapan siapapun," ujar Sasuke seraya menatap perempuan itu.
Sakura mengangguk. Ucapan lelaki ini bisa dipegang, kan? Sepertinya ia akan segera menjadi bahan gosip di kantor.
.
.
Dugaan Sakura menjadi kenyataan keesokan harinya. Ia pikir setidaknya akan memerlukan beberapa waktu hingga seseorang menyadarinya, namun gosip bahkan sudah menyebar meski hari ini adalah hari pertamanya berangkat kerja bersama Sasuke.
Lelaki itu memiliki tempat parkir khusus di mana para direktur juga memiliki tempat parkir di area yang sama. Sasuke mengemudi sendiri pagi ini dan ia terpaksa duduk di bangku depan, merasakan keheningan yang membuatnya canggung sepanjang perjalanan. Seseorang yang melihatnya turun dari mobil pasti segera menyebarkan gosip dengan cepat.
"Wah, wah, kau berangkat kerja dengan si Tuan Es?" goda Ino seraya menyeringai tepat ketika sedang makan siang.
Siang ini hanya mereka berdua saja yang makan bersama. Terkadang mereka makan berempat atau bertiga. Namun kali ini hanya mereka berdua karena atasan mereka sedang di kantor dan tidak bertemu siapapun.
Selain mereka, ada beberapa karyawan lainnya yang makan bersama mereka. Entah siapa yang memprakarsai, namun kantor ini memiliki grup chat untuk makan siang bersama dan setiap siang ada saja seseorang yang mengajak makan siang.
"Memang benar, ya? Katanya Pak Mitsuki melihat kalian berdua di tempat parkir," ucap salah seorang lelaki di divisi penjualan.
Sakura meneguk ludah. Pak Mitsuki, si lelaki albino itu memang sangat banyak mulut. Lelaki muda itu adalah penggosip di kantor yang menyebarkan gosip apa saja. Benar-benar mengerikan sekali orang yang menyebarkan apa saja seperti itu. Apa tidak bisa menyimpan informasi untuk diri sendiri saja?
"Itu karena rumah kami searah. Agar tidak telat, pak Sasuke menjemputku," jawab Sakura seraya tersenyum.
"Wah, manis sekali. Kalau kau sampai bisa menjadi kekasihnya, ini akan menjadi berita besar di kantor," sahut Kurenai, perempuan berumur tiga puluhan yang ikut makan bersama mereka.
Sakura cepat-cepat menggeleng. Tujuan ia masuk ke kantor ini adalah cepat-cepat mengumpulkan uang banyak dan membalas dendam dengan menunjukkan bahwa ia bisa sukses. Suatu saat nanti ia ingin membeli properti sendiri dengan kerja kerasnya.
"Di kontrakku katanya tidak boleh berpacaran selama sekian tahun. Jadi itu tidak mungkin."
Ino tersenyum lebar. Sudah lebih dari 2 tahun ia bekerja di kantor ini dan tak pernah sekalipun mendengar selentigan soal CEO muda mereka yang memiliki kekasih. Pria itu adalah orang yang sangat serius dan banyak yang penasaran apakah lelaki itu akan lebih lembut ketika jatuh cinta?
"Aku benar-benar ingin melihat si Tuan Es itu jatuh cinta. Apakah ia akan berubah menjadi es krim?"
Terdengar suara tawa Kurenai, Kakashi dan lelaki muda lainnya yang mendengar ucapan Ino. Kurenai segera menimpali sambil melirik Kakashi, "Apalagi kita. Iya, kan?"
Kakashi menganggukan kepala, mengamini ucapan Kurenai. Sebetulnya ia tidak peduli, namun di sisi lain ia juga sedikit penasaran.
"Intinya tetap es, kan?" balas Sakura.
Ino menyahut, "Karena dasarnya es yang pasti akan tetap menjadi es. Namun es krim itu dingin di luar manis di dalam. Jadi tidak sama, dong."
Lagi-lagi terdengar suara tawa ketika mendengar penjelasan analogi perbandingan Sasuke dengan es krim. Sakura pun ikut tertawa, harus ia akui bahwa ia merasa senang mendengar gosip-gosip soal lelaki itu. Namun di sisi lain ia mulai merasa was-was. Geng penggosip ini tidak akan menyebarkan gosip aneh-aneh, kan?
.
.
Sasuke membuka bento yang dipesannya dari salah satu restoran dan mendapati nasi dengan aneka macam lauk di dalamnya. Tanpa berkata apapun ia segera meraih sumpit dan mulai mengambil salah satu lauk.
Seharusnya ia menikmati makan siang dalam keheningan di jam yang normal. Tak ada siapapun yang harus ditemui dan ia menolak ajakan makan siang dari salah seorang direktur. Ia pikir, ia perlu mengisi energi dengan sendirian.
Namun ia malah merasa aneh. Biasanya ia pasti bersama klien, atau kalau tidak makan bersama Sakura. Kali ini ia benar-benar sendirian di ruangannya yang hening.
Ah, ia butuh musik. Ia segera menyalakan musik yang tersambung dengan speaker yang terpasang di dalam ruangannya. Ia memutuskan menikmati alunan musik jazz di tengah makan siangnya, membuat suasana terasa seperti di lounge ketimbang kantor.
Sakura ... perempuan itu sungguh aneh. Ia merasa penasaran akan perempuan itu. Ia menyukai kinerja perempuan itu yang berhasil memenuhi ekspektasinya yang berlebihan menurut kebanyakan orang. Ia pun tanpa sadar menaruh ekspetasi yang besar pula, hingga meminta perempuan itu mencari informasi untuk kepentingan pribadinya, misalnya soal keinginannya untuk berbisnis judi online di salah satu negara. Perempuan itu bahkan memberi rekomendasi ketika ia tidak meminta, dan setelah melalui berbagai pertimbangan, ia mengurungkan niatnya,
Sesungguhnya, ia tidak serasional yang orang-orang pikirkan. Terkadang ia pun bersikap impulsif. Ia yang selama ini hidup di bawah bayang-bayang nama besar keluarganya berusaha sebaik mungkin untuk membuktikan bahwa ia pun bisa melakukan hal lain tanpa harus menggunakan perusahaan keluarga hingga terpikir membuat bisnis judi online. Kemarin ia juga membuat roti hanya karena perempuan itu sepertinya ingin makan roti. Padahal untuk apa ia menyenangkan perempuan itu?
Sasuke berusaha menjustifikasi dirinya sendiri. Kalau suasana hati perempuan itu bagus, kinerjanya juga bisa lebih bagus, kan? Ia hanya melakukan sedikit usaha demi dirinya sendiri dan hasilnya jelas akan jauh lebih menguntungkan baginya.
Tapi ... kenapa dia malah tidak keberatan menghabiskan sebagian besar hari dengan perempuan itu dan malah ingin mengenalnya di kehidupan pribadi? Ah, rasanya ia tak mengerti dirinya sendiri.
-TBC-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top