Chapter 5

Sakura tak mampu menyembunyikan kebahagiaannya ketika ia mendapati surat kontrak buatannya telah ditandatangani oleh Sasuke.

Ia merasa begitu aneh dengan kehidupannya hingga ia merasa takut. Dalam satu bulan, banyak hal telah terjadi, mulai dari mendapat pekerjaan dengan gaji besar di korporat hingga bisa meninggalkan rumah bibinya dan tinggal di tempat yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Apakah sesudah kebahagiaan yang bertubi-tubi akan ada hal yang jauh lebih menyakitkan ketimbang yang selama ini ia rasakan? Rasanya memikirkannya saja membuatnya merasa takut.

Sakura berjalan dengan langkah cepat dan panjang, memperlihatkan dengan jelas bahwa ia sangat tergesa-gesa meski biasanya ia cenderung melangkah dengan langkah pendek dan cepat.

Ia ingin tiba di rumah sesegera mungkin dan mengabari soal kepindahannya. Ketika ia tiba di rumah bibinya, ia segera mempercepat langkah untuk masuk ke dalam.

Ia segera melepas alas kaki dan menuju ruang keluarga serta berkata, "Aku pulang."

Sang paman yang sedang berbaring dengan meletakkan bantal di bawah tubuhnya seraya menonton TV segera berkata, "Selamat datang."

Bibinya yang sedang mengetik pesan di ponsel hanya menoleh sekilas dan memperlihatkan raut wajah tidak ramah seraya mengucapkan selamat datang dengan setengah hati.

"Kau sudah mencari rumah? Kulihat kau bahkan hanya bersantai di rumah saat akhir pekan dan selalu pulang malam," ucap sang bibi tanpa basa-basi.

Sakura merasa heran. Apakah berada di kamar dan mengerjakan setumpuk pekerjaan bisa disebut bersantai? Mungkin definisi bersantai menurut bibinya berbeda dengan kebanyakan orang.

"Sudah. Aku akan pindah hari sabtu dua minggu lagi," jawab Sakura dengan tegas.

Sang bibi terlihat senang dan berusaha menyembunyikan senyuman. Namun wanita itu segera berkata, "Ke mana?"

Sakura tersenyum tipis. Kalau kusebutkan, kalian pasti sangat terkejut. Bisa jadi malah berpikir aneh-aneh soal diriku.

Ia menatap bibinya sejenak, merasa heran mengapa wanita itu ingin tahu ke mana ia pindah.

Di benak orang yang merasa iri, pasti ada saja kecurigaan negatif. Bisa jadi soal dirinya yang bisa langsung pindah di bulan pertama bekerja juga akan menimbulkan kecurigaan.

"Bosku memiliki satu apartemen kosong yang tidak dihuni. Aku diminta merawat apartemennya sebagai ganti biaya sewa," ujar Sakura seraya memperlihatkan surat kontraknya.

Ia sengaja melakukan hal ini dan sang bibi segera melirik isinya. Tatapannya tertuju pada kop surat perusahaan pada kertas dan seketika wajahnya memperlihatkan keterkejutan.

"Isi kontrakmya, soal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan terhadap rumah maupun pemilik dan penghuninya. Aku memasukkan soal larangan pelecehan seksual maupun hal apapun yang melanggar hukum dan etika secara spesifik," jelas Sakura seraya memasukkan kertas itu ke tasnya sebelum sang bibi membaca  lebih banyak.

Sang bibi tidak memperhatikan alamatnya dan malah tertuju pada tanda tangan Uchiha Sasuke di sana.

Perempuan itu merasa lemas seketika. Putranya hanya bekerja sebagai staf biasa di perusahaan afiliasi U&C Company sehingga bahkan tidak pernah melihat apalagi berinteraksi langsung dengan Uchiha Sasuke. Sedangkan Sakura langsung berinteraksi dengan lelaki yang tak terjangkau itu.

"Ah, kau pindah di pinggir kota, ya?" tanya sang bibi yang jelas-jelas terlihat iri.

Sakura tak menjawab apapun. Di mana tempat tinggalnya nanti jelas bukan urusan mereka. Kalau boleh jujur, ia tak berharap memiliki relasi dengan keluarga itu lagi.

"Shiori, jangan begitu," tegur lelaki paruh baya itu seraya berpaling pada Sakura.

"Waktu cepat sekali, ya. Ternyata keponakanku sudah dewasa. Berhati-hatilah saat tinggal sendiri nanti. Hubungi aku kalau membutuhkan bantuan," ujar lelaki berambut merah itu dengan nada yang lebih lembut.

Sakura tersenyum dan segera kembali ke kamar sesudahnya. Ia membuka pintu dan menatap kamarnya.

Dua minggu lagi, ia akan menempati hunian yang jauh lebih besar. Namun ruangan itu merupakan saksi tempatnya berjuang mati-matian mulai dari bekerja paruh waktu hingga belajar.

Di kamar itulah ia pernah menangis diam-diam karena merasa terasing akibat tindakan cuek sang paman dan tindakan kurang bersahabat dari bibi dan sepupunya.

Sekarang ia tidak menangis lagi. Meskipun ia memaksakan diri untuk menangis, tidak ada air mata yang keluar. Namun hatinya terasa nyeri dan ketika mengingat kesedihan, bibirnya malah memperlihatkan senyuman secara refleks akibat ia menahan sedih dengan memaksakan diri tersenyum.

Sakura menatap sekeliling ruangan. Ia hanya memiliki baju dan beberapa barang pribadi di sana. Semua furniture dan bahkan futon di dalamnya bukan miliknya.

Sepertinya ia tak membutuhkan jasa pindahan sama sekali. Mungkin ia juga bisa pindah dalam waktu satu atau dua jam, seolah sedang pergi berlibur.

.
.

"Aku pulang."

Lelaki itu terdiam sejenak sebelum teringat seketika bahwa tentu saja tak akan ada orang yang menyambutnya dengan ucapan selamat datang. Sebaliknya malah akan sangat mengerikan jika ada seseorang yang menjawab ucapannya.

Sudah dua tahun berlalu sejak ia memutuskan pindah dari rumah sang ayah dan memutuskan untuk tinggal sendiri di apartemen yang dibeli dengan uang pribadinya. Ia yang saat itu merasa jengah berada di rumah dengan selusin pelayan memutuskan untuk tinggal sendiri di apartemen yang tidak terlalu besar dibanding rumah lamanya dan menyewa pelayan yang datang membersihkan rumah setiap hari ketika ia sedang berangkat kerja.

Ia yang saat itu menginginkan privasi bahkan sengaja membeli apartemen lain tepat di samping apartemennya sendiri serta mengosongkannya. Ia tak berniat menyewakan pada siapapun, terlebih pada perempuan.

Perempuan. Ketika mengingatnya, ia terbayang akan sosok perempuan ber-makeup tebal dengan parfum semerbak berlebihan dan sikap ramah yang terkesan sangat tidak tulus. Ia tahu bahwa perempuan bukanlah mahluk yang akan berada di sisinya setiap saat, karena itulah ia memutuskan untuk tak bersama dengan satu pun perempuan ketimbang terluka.

Ya, di suatu masa ia pernah bertemu perempuan yang berbeda dan pernah membuatnya jatuh cinta akan kebaikan hatinya serta sosoknya yang positif. Ia beruntung karena gagal mendapatkan gadis itu dan perempuan itu malah menghancurkan lelaki yang berhasil mendapatkannya.

Sasuke menarik napas dan menghembuskannya perlahan serta berjalan menuju dapurnya. Rumahnya terasa sunyi seperti biasa dan ia mulai merasa sedikit sepi meski ia tak mau mengakuinya. Bukankah ini hal yang ia inginkan? Inilah konsekuensi keinginannya dan sangat aneh jika ia malah mengeluh.

Ia mengambil cangkir di atas lemari dan berjalan menuju dispenser berisi wine pilihannya. Malam ini ia ingin menikmati segelas alkohol sambi memandang pemandangan langit di malam hari yang terlihat dari jendela kaca besar untuk kesekian kalinya.

Ia menyesap cairan merah itu setelah menghisap aromanya dan menatap gedung-gedung tinggi dengan lampu berkerlap-kerlip seolah hendak mengalahkan cahaya sang rembulan.Di kejauhan, ia mendapati layar besar yang memperlihatkan iklan di bagian atas gedung. Pemandangan tersebut bukanlah hal yang aneh mengingat apartemennya terletak di distrik populer di pusat kota.

Bagaimana bisa kau berubah dalam waktu secepat ini?

Pertanyaan yang diajukan Naruto kemarin sebetulnya ia ajukan pada dirinya sendiri. Bagaimana bisa hatinya yang sebelumnya seolah membeku abadi kini mulai merasakan perasaan yang berbeda. Ia mulai menyadari bahwa hidupnya kosong dan ia merasa kesepian. Apakah ini karena teman terdekatnya juga hanya Naruto seorang?

Ia baru saja akan menyesap alkoholnya lagi ketika mendadak ponselnya berdering, memainkan musik default dari ponselnya yang bahkan terlalu malas untuk ia ubah. Sang ayah menelponnya secara tiba-tiba dan ini sedikit tidak biasa. Ia segera menekan tombol untuk menerima telepon.

"Halo."

"Halo, Sasuke. Bagaimana kabarmu?"

Sasuke segera meneguk ludah dan berpikir sesaat sebelum berkata, "Baik. Bagaimana dengan Ayah? Kuharap kau sehat-sehat saja."

Sebetulnya ia dengan sengaja menyebutkan harapan bahwa ayahnya akan sehat-sehat saja karena ia tak ingin mendengar hal lain selain soal kesehatan sang ayah. Namun sang ayah yang entah tidak sadar atau tidak peduli malah berencana membahas topik yang tidak disukai Sasuke.

"Begitulah. Hari sabtu depan kau kosong?" tanya Fugaku di seberang telepon dengan nada berharap.

"Memangnya kenapa?" tanya Sasuke tanpa basa-basi. Perasaannya mulai tidak enak dan ia segera berkata, "Kau mau mengajakku bertemu dengan kekasih barumu?"

Terdengar suara tawa di seberang telepon dan Fugaku segera berkata, "Putraku sekarang bisa membaca pikiran, hn? Aku ingin mengenalkanmu dengan Mei, kekasihku."

Nada suara Sasuke yang berusaha dibuatnya terdengar sedatar mungkin sedikit mengesankan ketidakramahan. Ia bahkan hampir menghembuskan napas lelah secara refleks.

"Jangan perkenalkan aku dengan perempuan manapun kecuali kau sudah berhubungan dengannya selama setengah tahun."

Fugaku mengetahui arah pembicaraan Sasuke dan ia segera protes, "Yang ini berbeda dengan yang sebelumnya, Sasuke. Kau akan tahu kalau kau menemuinya."

Sasuke yang sudah merasa lelah karena begitu sering dipertemukan dengan perempuan sang ayah sudah membuat aturan ini setidaknya selama dua tahun terakhir. Ia segera menyahut, "Enam bulan. Itu aturanku. Waktuku juga berharga, Ayah."

Fugaku mendesah lelah. Jika Sasuke sudah begini, ia tak bisa memaksa putranya. Toh Sasuke mengurus perusahaan dengan baik dan sejauh ini merupakan putranya yang paling bisa diandalkan. Sedangkan Itachi --putra dari istri keduanya-- juga tak kalah pintar, namun sayangnya memilih bekerja di kepolisian sebagai detektif.

"Aku benar-benar mencintainya. Dia bahkan tidak menginginkan uangku, bahkan kemarin mentraktirku makan."

"Terserah. Aku tidak peduli dengan urusan pribadimu," ujar Sasuke dengan tegas. Ia tak mau mendengar lebih banyak cerita yang membuatnya ingin memaki sang ayah. Lelaki itu adalah pria yang pandai, tetapi menjadi idiot jika sudah berkaitan dengan cinta.

Fugaku segera berkata, "Kalau begitu kita makan malam berdua saja. Bagaimana?"

"Tentukan saja restorannya. Kabari aku waktu dan tempatnya."

"Oke," ucap Fugaku dan ia segera mematikan telepon sesudahnya.

Sasuke segera meletakkan ponselnya dan ia segera meraih gelasnya serta kembali menyesapnya lagi. 

Benar-benar bodoh. Memangnya perempuan mana yang menginginkanmu kalau kau tidak punya uang?

Sasuke membatin sendiri seraya kembali memandang gedung-gedung pencakar langit. Ia sudah mengalami bagaimana rasanya ditinggalkan dan bersumpah tak akan terjebak pada kebodohan yang sama.

-TBC-

---------------------

Author's Note :

---------------------

Mungkin kalian ada yang merasa familiar dengan beberapa bagian dialog di chapter ini? Sesungguhnya aku mengambil bagian dari dialog Jumin Han di Mystic Messenger. 

Jumin Han sendiri merupakan salah satu karakter favoritku dan aku bahkan menjadikan sebagai refrensi dari karakter Sasuke di fanfict ini.

Dan untuk karya kali ini sejujurnya aku berusaha membuat kurang dari 25 chapter sehingga lebih singkat ketimbang  biasanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top