Bab 9. Distraksi
Boleh banget vote dan komen.
Biar authornya semangat nulisnya.
Happy reading! 💕
.
.
.
Tari meringis ketika melihat Nadia berlarian heboh di parkiran begitu melihatnya baru sampai menggunakan ojek.
"Tari! Ya ampun, sorry banget gue baru tadi pagi ngecek ponsel dan liat jejak lo telepon gue!" teriaknya heboh sambil memegangi lengan Tari sampai tubuh Tari ikut terhentak.
"Nggak apa-apa kok, Nad. Gue yang harusnya tau kalo jam segitu emang orang udah tidur."
"Nggak! Lo tau kalo gue suka begadang buat nonton, tapi semalem beneran gue udah tidur. Maaf ya, Tar?" Kemudian Nadia memutar tubuh Tari dan meniliknya dari atas ke bawah.
"Lo nggak kenapa-napa kan semalam?"
"Gue nggak apa-apa, cuma semalem ban mobil gue kempes. Jadi gue bingung gimana, niatnya minta tolong lo untuk nyariin bengkel atau jemput gue."
"Kempes? Terus gimana lo pulang?" Suara Nadia yang heboh kini mulai menarik perhatian beberapa orang yang ada di parkiran, membuat Tari harus mengangguk meminta maklum lalu membawa Nadia pergi.
"Harusnya lo teleponin sampe gue bangun, Tar. Gue beneran nyesel gak bisa jemput lo di keadaan lo yang sedang nggak bagus."
"Nggak apa-apa, Nad. Buktinya gue di hadapan lo sekarang, nggak kurang satu pun," jawab Tari tersenyum lebar pada Nadia.
Mereka berjalan masuk ke gedung dengan saling bergandengan. Beberapa orang menyapa Tari, juga ada yang tiba-tiba berbisik saat melihatnya. Beberapa orang dari divisi lain jelas-jelas menatapnya ingin tahu.
Oh, itu yang gagal nikah?
Kok nggak malu ya, masih bisa kerja.
Denger-denger dia orangnya ambis, makanya ditinggalin.
Bukannya tak mendengar, Tari memilih untuk pura-pura tak mendengar dan melihat. Ini hari keduanya kembali bekerja, wajar jika masih banyak yang membicarakannya.
Ia tak kenal banyak orang di kantor, namun ia mengenal tiap kepala di semua divisi. Jaďi, sudah pasti gosipnya sampai ke semua orang.
"Itu orang-orang daripada nyinyir pagi begini mendingan cepetan kerja deh. Heran banget gue, masih pagi juga," omel Nadia yang juga menyadari keberadaan orang-orang kepo itu.
"Biarin aja, Nad. Emang drama hidup gue kayaknya seru buat diperbincangkan. Jarang-jarang ada orang gagal nikah beberapa hari sebelum akad," jawab Tari tersenyum masam, berusaha untuk tidak baper dengan kondisinya sendiri.
"Jangan gitu, Tar. Nggak ada orang yang mau gagal. Harusnya mereka tau hal itu dan nggak sembarangan nyinyir." Nadia meletakkan satu tangannya di bahu Tari, menepuknya ringan berusaha untuk menghibur.
"Em, jadi kemarin lo pulangnya gimana? Ada ojol jam segitu, lo nggak takut?" Nadia berusaha mengalihkan topik agar Tari tidak kembali murung.
"Gue kemarin pulang sama orang yang kebetulan juga ada di My I, karena nggak ada pilih yan mending gue ikut dia daripada nungguin ojol."
"Lo kenal?"
"Nggak."
"Sama aja dong, orang asing juga! Duh, Tari kenapa lo polos gini sih? Pantesan Revan over protektif sama lo selama ini!" Nadia mengatakannya dengan cepat, saat menyadari kesalahannya, ia buru-buru memeluk Tari.
"Eh! Sorry, Tar, gue nggak bermaksud mengungkit, gue keceplosan karena udah biasa. Maaf, Tari."
Nadia aja yang merupakan orang asing masih mengingat presensi Revan dengan baik.
Lalu bagaimana dengan dirinya yang hampir setiap hari menghabiskan waktu dengan Revan?
Tari hanya mengangguk sebagai jawaban atas permintaan maaf Nadia.
Sekarang, ia harus terbiasa tanpa Revan.
***
"Bu Tari nanti ada meeting ya, untuk persiapan program baru bulan depan."
"Iya, Pak."
Tari sedang meneliti kembali data-data dari tim marketing ketika pak Dion memberitahunya untuk meeting. Salah satu cara melupakan patah hatinya adalah menyibukkan diri dengan pekerjaannya.
"Bu Tari, ini ada data susulan dari tim lapangan. Katanya harus masuk sistem supaya bisa disertakan dalam evaluasi."
"Oke, kirim saja datanya ke surel. Nanti saya kerjakan."
"Bu, bagian keuangan minta laporan minggu kemarin."
"Iya, sebentar lagi saya kirim."
Meja kerjanya yang semula rapi kini sudah dipenuhi banyak buku dan kertas. Sampai-sampai Nadia yang duduk di seberangnya hanya bisa menatapnya sambil geleng kepala.
"Tar, istirahat bentar. Lo udah skip makan siang, jangan kayak gini," tegur Nadia mengingatkan.
"Nanti aja, Nad. Nanggung ini kurang dikit," jawab Tari tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar komputernya.
"Biar saya bantu, Bu. Ini kerjaan saya udah selesai kok," tawar Serin, salah satu tim divisi Tari.
"Nggak apa-apa, Serin. Ini saya nggak lama kok, makasih tawarannya."
Nadia hanya mendengus kecil melihat sikap Tari. Ia tahu, temannya itu hanya berusaha mengalihkan pikirannya dari hal-hal buruk yang mengganggu.
Tari sadar, ia sedang memaksa dirinya untuk kembali normal. Padahal di setiap apa yang ia lakukan, selalu ada bayangan Revan. Seperti saat ini, ia rindu bagaimana Revan akan mengiriminya pesan untuk menyemangati atau mengomeli dirinya yang lupa makan. Sekarang tak ada lagi yang melakukan itu untuknya.
Ia menatap nanar pada meja sebelah kananya yang biasanya ada frame dengan fotonya bersama Revan. Kemarin, ia menyingkirkan bendanyang sudah beberapa tahun menghiasi mejanya itu. Menoleh ke kiri, ada gelas dengan ukiran kalimat penyemangat yang diberikan oleh Revan untuknya sebagai hadiah.
Menghela napasnya panjang, Tari menutup wajah dengan kedua tangannya. Revan ada di setiap detiknya, bahkan memorinya akan sulit untuk dihilangkan.
***
"
Nad? Lo nungguin gue?"
Tari berseru kaget ketika mendapati mobil Nadia masih ada di tempat parkir meski jam pulang kantor sudah terlewat dua jam yang lalu.
"Udah selesai meetingnya?" Nadia tersenyum, menyuruh Tari masuk.
"Iya, ternyata lama."
"Nih, gue tadi sempet ke minimarket bentar. Gue beliin roti sama susu, makan gih."
Tari menatap Nadia dengan perasan menghangat. Temannya ini selalu baik padanya. "Thanks, ya, Nad. Lo temen terbaik yang pernah gue punya. Makasih banyak ya."
Nadia tertawa kecil sambil mengemudikan mobilnya keluar kantor menuju rumah Tari. "Lo tuh kalo kerja galaknya minta ampun, kali gini kayak bocah ya."
Tari ikut tersenyum mendengar pendapat Nadia terhadapnya. Ia mengunyah rotinya perlahan, menahan harunya agar tak berubah menjadi air mata, tidak saat boleh, apalagi di depan Nadia.
"Eh, Nad. Anterin gue ke My I aja, ya. Mau ambil mobil gue kemarin."
"Oh, oke. Tapi kalo lo sekalian mampir, gue nggak bisa temenin ya. Soalnya nyokap ngajakin grocery, nih."
"Iya, aman. Gue mau ambil mobil aja."
Begitu Nadia berlalu, Tari memutuskan untuk menghabiskan waktunya di sini. Ia perlu distraksi, ia butuh dialihkan.
Setelah memesan, ia memilih untuk duduk di tempat yang sama seperti kemarin. Meja paling ujung yang jauh dari keramaian. Mengeluarkan catatannya, ia mulai menuliskan apa yang menjadi unek-uneknya dalam tarian penanya.
.
.
.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top