Bab 8. Si Penyelamat Yang Menyebalkan

Boleh banget vote dan komen.

Biar authornya semangat nulisnya.
Happy reading! 💕

.
.
.

Rutukan tertahan dirasakan Tari ketika mendapati ban mobilnya kempes saat akan pulang dari My I. Masalahnya, sekarang pukul sebelas malam, bengkel mana yang masih buka? Ia tak punya kenalan perbengkelan atau apapun, biasanya Revan yang mengurusi kondisi mobilnya selama ini.

Revan lagi. Betapa kontribusi pria itu begitu besar di hidup Tari. Bagaimana ia akan lupa?

Sial, bukan saatnya kembali memikirkan Revan. Sekarang ia harus memikirkan bagaimana caranya pulang.

Apa iya, gue tinggal mobilnya di sini?
Kalo ilang atau di derek, gimana?

Tari menggigiti bibir dalamnya, berpikir keras apakah ia harus menghubungi Nadia atau Papanya. Mereka berdua pasti sudah beristirahat, keterlaluan jika ia mengganggu.

Tari berjongkok di samping mobilnya, merasa kesal karena urusan sederhana begini saja ia kebingungan tanpa Revan.

"Hidung lo nggak kehilangan fungsinya cuma karena kepentok gitar, kan?"

Sebuah suara asing dengan nada mencibir terdengar di belakangnya. Tari menoleh cepat, mendapati si cowok bergitar menyebalkan itu berdiri di belakangnya dengan tatapan menyebalkan.

"Ngapain lo jongkok-jongkok di samping tempat sampah?"

Tari menoleh, memang mobilnya terparkir di dekat tempat sampah. Ia bahkan tidak menyadarinya.

"Lo ngomong sama gue?"

"Oh, budeg ternyata?"

Tari langsung berdiri dan menghadap si cowok menyebalkan itu. Ia tidak butuh tambahan rasa kesal saat ini.

"Lo tuh, bisa kan ngomong sopan dikit. Sebagai orang asing, lo itu ngeselin dan nggak sopan dari tadi," kekesalan Tari akhirnya ia luapkan pada si cowok yang menatapnya datar.

"Kenapa gue harus sopan? Lo tadi ngomelin gue di depan toilet. Yang kayak begitu sama orang asing, sopan?"

Kening Tari berkerut tak suka mendengar balasan cowok di hadapannya itu. Sepertinya, mood-nya diuji malam ini oleh orang yang sama.

"Itu karena lo salah, berdiri di depan pintu bawa gitar segala ke toilet." Tari menarik napas panjang, berusaha tidak meledak karena ia berada di tempat umum.

"Gue nggak ada waktu meladeni cowok kayak lo. Lebih baik gue mikir gimana caranya gue bawa mobil ini ke bengkel dan pulang dengan selamat." Setelah memgatakan itu Tari berbalik menuju mobilnya lagi, memutuskan untuk menghubungi Nadia, berharap temannya itu belum tidur.

"Oh, kempes?"

Cowok itu tiba-tiba sudah berdiri di belakang Tari dan mengintip kondisi mobilnya dari balik bahu Tari. Tentu saja, Tari refleks menjauh karena kaget.

"Ngapain lo, mau berbuat jahat?" tuduhnya tajam pada si cowok.

"Lo liat gue bawa sesuatu untuk berbuat jahat?" tanyanya sambil merentangkan tangan, yang kemudian ia masukkan ke saku celananya.

"Emang dasar cewek, negatif thinking mulu," decihnya, "Jam segini nggak ada bengkel buka. Tinggal aja mobil lo di sini. Besok baru bawa ke bengkel."

"Lo mau maling mobil gue?"

"Buset, pikiran lo nggak ada positifnya, ya?" Cowok itu mendengus tak percaya. "Gue cuma kasih saran. Emang gak bisa dibaikin, dasar cewek."

"Cakra! Gue balik duluan, ya!"

Belum sempat Tari menjawab, cowok itu berbalik dan melangkah pergi menghampiri teman-temannya yang berpamitan. Meninggalkan Tari begitu saja dengan kekesalannya.

Nadia tidak menjawab panggilannya, yang berarti temannya itu sudah tidur. Lalu, dengan takut-takut Tari menghubungi kontak Papanya. Namun setelah deringan berulang, tidak ada jawaban juga.

Udah tidur semua kayaknya.
Gimana ya? Sial banget, astaga.

Ingin menangis kesal rasanya. Mungkin, satu-satunya jalan adalah ia memang harus meninggalkan mobilnya. Ia harus mencari petugas keamanan kafe dan minta tolong.

Baru akan beranjak pergi, ia dikagetkan dengan keberadaan si cowok menyebalkan tadi yang berjalan ke arahnya bersama seorang satpam.

"Tuh, pak orangnya." Tunjuknya pada Tari dengan tak acuh.

"Ada apa, Neng?"

Tari agak terkejut, tak menyangka. "Eh, ini pak, ban mobil saya kempes."

"Kalau jam segini, bengkel di ujung perempatan sana udah tutup, Neng. Apa mau dititip sini aja? Bapak yang jaga malam di sini," ucap si bapak pada Tari yang masih terlihat bingung.

"Aman, pak?"

"Kalau Neng percaya sama bapak, insyallah aman."

Ragu namun tak punya pilihan lain, Tari akhirnya mengangguk. "Kalau gitu, saya minta tolong nitip di sini ya, Pak. Besok pagi saya ambil."

"Iya, Neng. Bapak jagain, insyallah aman,"

Setelah berterima kasih pada si bapak, Tari menoleh pada si cowok menyebalkan, tetapi ia sudah tidak ada.

Udah pergi duluan?
Dasar nyebelin emang, padahal mau bilang makasih.

Tari melihat aplikasi ojek online nya, ia harus memesan untuk mengantarnya pulang. Jam segini pasti mahal.

Bunyi klakson mengagetkannya, ia menoleh mendapati mobil Civic Turbo berwarna hitam berhenti tepat di sampingnya. Membuatnya was-was.

Siapa?

Kaca mobil diturunkan, wajah tak asing yang beberapa menit lalu dilihatnya muncul dari baliknya.

"Lo ikut gue, atau nyari ojol di jam segini? Serem sih, di berita-berita banyak begal ojol," ucapnya santai. "Lo otaknya negatif mulu, kan. Kalo bareng gue minimal lo tau muka gue, beda cerita sama driver ojol."

Tari berpikir keras, ragu sebenarnya.

"Yaudah, gue balik duluan."

Melihat kaca mobik naik, Tari buru-buru mengetuk jendelanya. "Tunggu! Gue bareng!" teriaknya sambil berlari mengitari mobil ke bangku penumpang.

Tanpa bicara lagi, Tari duduk di samping si cowok yang kemudian melajukan mobilnya.

Di sepanjang jalan, hanya keheningan yang menemani mereka. Tak ada yang bicara seperti awal tadi, hanya ada pembicaraan singkat saat si cowok menanyakan alamat rumahnya. Bunyi dering ponsel mengagetkan Tari yang duduk dengan tegang.

"Hm, apaan?" sahut si cowok begitu menjawab panggilan di ponselnya menggunakan earphone di telinganya.

"Yang agak normal dikit nggak ada? Ini jam berapa?"

Nada bicara menyebalkan itu kembali terdengar. Tari tak berniat menguping, tetapi keadaan membuatnya mau tak mau mendengar pembicaraan pribadi itu.

"Jam segini nyari penjual jambu air di mana, Manda? Kalo ngidam yang masuk akal dikit, kenapa?"

Oh, udah punya istri ternyata? Lagi ngidam pula.

"Ah, lo tuh suka nyusahin gue."

Kok jahat banget sama istrinya.

"Iya-iya, bawel. Gue bakal cariin."

Mulutnya emang pedes kayaknya.

Asyik bermonolog dan berpendapat dalam hati, Tari tidak sadar mereka sudah sampai di depan rumahnya.

"Yang mana rumah lo? Bener di daerah sini?" tanya si cowok yang juga sudah selesai bertelepon.

"O-oh, iya, ini bener." Tari tergagap malu karena melamun. Ia buru-buru membuka pintu, namun baru satu kakinya melangkah ke luar, ia membalikkan badan.

"Eh, makasih banyak ya. Udah mau menolong dan anterin gue begini. Thanks," ucapnya.

"Oke."

Satu kata itu saja yang diucapkan oleh si cowok, sehingga Tari buru-buru keluar. Namun, ia teringat sesuatu.

"Eh, tunggu bentar!" Ia mengetuk kembali dengan buru-buru sebelum mobilnya melaju.

Si cowok menurunkan kaca mobilnya, "Ada apa?"

"Tunggu bentar di sini, bentar aja!"

Setelahnya Tari berlari tergesa membuka pagar rumahnya. Menghilang ke dalam, membiarkan si cowok bertanya-tanya.

Tak sampai lima menit, Tari sudah kembali dengan sebuah kantong kresek di tangannya yang ia berikan melalui jendela mobil pada si cowok.

"Ini, kebetulan gue punya buah jambu air dan tadi baru dipanen. Maaf, tadi nggak sengaja denger kayaknya lo butuh. Ambil aja, buat istri lo."

"Hah?"

Tari menyunggingkan senyum dan memaksa si cowok menerima satu kantong jambu. Mengangguk sekali lagi, Tari kemudian masuk ke dalam rumahnya setelah mengucapkan terima kasih.

Senyum mengembang di bibirnya tanpa sadar. Entah kenapa ia merasa senang sudah membantu si cowok menyebalkan itu.

Sesekali membantu orang di waktu yang tepat, ternyata rasanya menyenangkan.

Yah, dia menyebalkan tapi dia udah nolong gue. Impas kan?

.
.
.

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top