Bab 6. Pondasi Langit Yang Runtuh
Boleh banget vote dan komen.
Biar authornya semangat nulisnya.
Happy reading! 💕
.
.
.
Langit tampak tidak seceria biasanya, padahal ini masih bulan musim kemarau. Namun, awan kelabu beriringan di atas kota Jakarta pagi itu. Rumah berpagar putih yang seharusnya terlihat ramai itu justru berada di suasana sebaliknya, sepi dan suram. Pintunya bahkan terkunci rapat.
Di kamarnya, Tari duduk diam di atas tempat tidurnya. Menekuk lututnya dan menunduk diantara kedua lengannya. Rambut panjangnya terurai kusut, belum lagi kedua matanya yang membengkak karena air mata yang tak kunjung berhenti. Bahkan hitam di bawah matanya menandakan berapa banyak waktu tidur yang dilewatkannya. Penampilannya yang berantakan cukup menjelaskan keadaannya.
Hari ini harusnya ia berdiri tegak dengan gaun pengantinnya. Tersenyum dengan berdebar menunggu akad nikah yang diucapkan oleh prianya. Harusnya itu yang terjadi sekarang.
Sayangnya, Tari harus menghadapi kenyataan paling buruk dalam hidupnya. Pernikahannya dibatalkan setelah keluarga mereka bertemu terkait masalah Revan.
Revan.
Menyebut namanya saja membuat hati Tari merasa sakit. Begitu sakit hingga ia harus memukul-mukul dadanya untuk menghilangkan rasanya.
Setelah apa yang terjadi malam itu, Tari seperti hilang akal. Hingga orang tua mereka memutuskan untuk bertemu, membicarakan, dan mengambil keputusan tentang hubungan mereka yang sayangnya tak lagi bisa dilanjutkan.
Ya, orang tua Tari membatalkan pernikahan yang hanya tinggal beberapa hari itu. Mereka tak ingin putri kesayangan mereka disakiti seperti itu. Mereka memilih untuk menanggung malu dengan membatalkan semuanya.
Tari menangisi keputusan itu, bukan semata-mata karena perasaannya pada Revan. Ia sedih, marah, dan kecewa pada Revan. Namun, ia lebih kecewa pada dirinya sendiri yang telah membuat malu kedua orang tuanya. Mencoreng nama orang tuanya di depan keluarga besar mereka, menjatuhkan nama baik mereka dalam lingkungan sosial. Semua itu terjadi karena dirinya.
Isaknya teredam oleh selimut, ia tergugu pilu mengingat dampak akibat batalnya pernikahannya.
...
'Jelaskan kenapa ini semua bisa terjadi, Van. Kenapa?'
'Maaf, Tar. Aku khilaf. Aku melakukannya saat aku merasa capek dengan hubungan kita satu tahun terakhir ini. Kamu terlalu ambisius mengejar karir. Kamu memang bisa meraihnya. Tapi apa kamu sadar kalau itu juga melukai harga diriku, Tar? Kamu mengejar semua itu seolah yang aku lakukan nggak pernah cukup buat kamu. Kamu nggak melihat bahwa akupun juga berusaha melakukan dan mengusahakan yang terbaik untuk kamu. Dengan kamu yang terus menerus melangkah melampaui semua usahaku, aku berpikir apakah kamu benar-benar butuh aku, Tar?'
Dengusan kecil tak percaya keluar dari bibir Tari.
'Van, kita sering membicarakan hal ini dan kamu fine-fine aja. Kenapa sekarang kamu menjadikan semua itu alasan?'
'Karena aku mencoba untuk mengerti kamu, Tar. Tapi kamu nggak sadar dan nggak peduli dengan harga diriku. Harusnya kamu bersandar dan mempercayakan semuanya sama aku. Tapi kamu justru melakukan semuanya sendiri. Kamu nyatanya nggak sepenuhnya percaya sama aku.'
'Aku ngelakuin itu semua bukan untuk merendahkan atau menginjak harga diri kamu, Van. Aku hanya nggak mau menjadi wanita yang manja dan menyusahkan kamu.'
'Aku nggak pernah melarang dan keberatan kamu jadi wanita manja di depan aku, Tar! Memang seharusnya itu yang kamu lakukan di depanku, dan aku nggak pernah keberatan menuruti semua keinginan kamu!'
Tari merasa kepalanya sudah tidak bisa berfungsi dengan baik. Ia tak bisa menerima semua alasan yang Revan katakan. Bukankah selama ini Revan selalu mendukungnya?
'Jadi, ini semua salahku? Karena aku ingin jadi pasangan yang mandiri?'
Tawa hampa keluar dari bibirnya, merasa bodoh.
'Jadi selama setahun ini berhubungan dengan wanita itu di belakangku? Itu yang kamu anggap pembenaran atas semua tuduhan kesalahanku? Iya, Van?'
Hanya kebisuan yang dalam menjadi jawaban atas pertanyaannya.
'Harusnya kamu bilang, Van. Harusnya kita bicarakan semuanya jika kamu memang nggak nyaman. Bukan selingkuh dan tidur dengan wanita lain!'
'Maaf, Tar. Hubungan kita harus berakhir seperti ini.'
'Maaf? Maaf kamu bilang? Apa kamu sadar kalau kata maafmu nggak bisa mengembalikan semuanya? Kita sudah akan menikah, Van! Undangan sudah disebar dan kamu bilang maaf?'
Napasnya tersentak menyadari ingatannya kembali pada malam pertengkaran terakhirnya dengan Revan saat pertemuan keluarga.
Ia tak bisa mengingat apapun lagi setelah itu. Karena ia jatuh pingsan dan tersadar kembali di rumahnya, dalam pelukan sang Mama.
"Tari, Sayang? Keluar kamar dulu, Nak. Jangan mengurung diri di kamar terus. Mama nggak mau kamu sakit."
Suara mamanya terdengar lembut dari balik pintu kamarnya. Hebatnya, kedua orang tuanya memutuskan untuk tidak membicarakan dan mengungkit masalah terkait pembatalan pernikahannya. Hanya saja, mereka menutup rumah mereka rapat-rapat. Mereka memutuskan untuk bersikap biasa saja seolah tak terjadi apa-apa.
"Iya, Ma," jawab Tari pelan, ia mengusap jejak air matanya, menepuk kedua pipinya agar tak terlihat sayu. Disisirnya asal rambutnya lalu ia melangkah keluar menuju ruang makan. Kedua orang tuanya ada di sana menunggunya.
"Mama, kenapa masak banyak?" tanyanya begitu melihat aneka lauk pauk dan sayuran di atas meja.
"Ini tadi papamu minta dibuatkan ayam bakar madu, trus minta urapan juga, mama kepengen sayur tahu tempe pedas, sekalian deh akhirnya mama buat nasi gurih. Ini kesukaan kamu kalau kita pulang ke rumah eyang, kan?" tanya sang Mama lembut dan tenang.
Senyum tipis muncul di bibir Tari, saat ia mengangguk. Ia lalu menatap Papanya yang sejak tadi diam mengamatinya.
"Anak Papa kenapa jelek begitu, sih, mukanya? Mana senyumnya, Nak?"
Kembali Tari menyunggingkan senyum tipisnya. Melihat kedua orang tuanya berusaha tegar membuatnya sedikit lega.
"Iya, Pa."
"Nak, kamu boleh berbagi perasaan berat itu sama Papa atau Mama. Jangan dipendam sendirian, ya."
"Papa dan Mama akan selalu ada untuk kamu."
"Papa tau ini berat dan membuat kamu terpukul. Anak Papa pasti bisa melewati semua ini. Kamu layak mendapatkan hal yang lebih baik dari ini. Jangan menyalahkan diri sendiri, ya?" Elusan lembut di kepalanya kini membuat Tari menunduk diam, sibuk menyeka air matanya yang kembali berjatuhan.
Hingga pelukan hangat dari kedua orang tuanya ia rasakan bagai gelombang kuat yang menyangga tubuhnya.
Mungkin, Revan adalah yang terburuk dalam hidupnya. Namun, ia memiliki orang-orang terbaik yang selalu ada di belakangnya.
.
.
.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top